Gugat Konsep Keserentakan
Minta MK Pisahkan Pemilu Nasional dengan Daerah
JAKARTA, Jawa Pos – Upaya untuk memperbaiki sistem pemilu kembali dilakukan kalangan masyarakat sipil. UndangUndang (UU) Pemilu yang mengatur keserentakan pelaksanaan pemilu dengan lima surat suara mulai diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, pemilu serentak begitu rumit, merepotkan, melelahkan, dan teramat tidak wajar untuk dilaksanakan.
Penggugat aturan keserentakan pemilu itu adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Sedikitnya ada dua pasal yang mengatur keserentakan pemilu (khususnya pemungutan suara) yang digugat, yakni pasal 167 dan 347. Juga UU Pilkada yang mengatur keserentakan pelaksanaannya di pasal 3 (lihat grafis).
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyatakan, Pemilu Serentak 2019 sudah terbukti menimbulkan banyak persoalan. ”Persoalannya terkait langsung dengan kerangka hukum pemilu yang tidak disiapkan secara baik,” ucapnya kemarin.
Dengan lima kotak suara untuk sekali pemungutan suara, sulit bagi penyelenggara mengelolanya dengan baik. Terbukti, ada 2.249 TPS yang harus melakukan pemungutan suara susulan karena urusan logistik. Baik terlambat, rusak, ataupun tertukar. Padahal, logistik merupakan persoalan krusial dalam pemilu.
Kemudian, pemilu serentak dengan lima kotak suara membuat teknis pemungutan dan penghitungan suara menjadi panjang dan melelahkan. ”Ada 527 orang anggota KPPS yang meninggal dan 11.239 yang sakit setelah bertugas,” lanjut perempuan asal Palembang, Sumsel, itu. Bahkan, MK sampai memberikan waktu tambahan bagi KPPS karena penghitungan suara tidak bisa selesai pada hari yang sama.
Selain itu, pemilu lima kotak suara membuat suara tidak sah meningkat. Total untuk pileg mencapai 17,5 juta. Hanya perolehan suara PDIP dan Partai Gerindra yang mampu melampaui total jumlah suara tidak sah. Partaipartai lainnya berada di bawah angka itu. ”Salah satunya disebabkan kebingungan pemilih untuk memberikan pilihan pada lima surat suara sekaligus,” jelas Titi.
Karena itu, pihaknya membuat permohonan agar MK membikin penafsiran atas keserentakan pemilu. Yakni dengan membagi pemilu serentak menjadi dua jenis: pemilu nasional dan daerah. Pemilu nasional dilaksanakan dengan tiga surat suara untuk memilih presiden dan wakilnya, DPR, serta DPD. Sementara pemilu serentak daerah melibatkan empat surat suara. Untuk DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan bupati/wali kota.
Selain menggugat keserentakan pemilu, Titi bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) memohon uji materi UU pilkada. Yakni pasal yang mengizinkan eks terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan syarat mengumumkan kepada publik bahwa dirinya adalah eks terpidana.
Pasal itu terbukti tidak mampu mencegah Muhammad Tamzil terpilih kembali sebagai bupati Kudus setelah bebas dari penjara. Alhasil, dia kembali tertangkap KPK atas dugaan korupsi. Kali ini dengan status residivis.
Publikasi status eks terpidana tidak diatur spesifik sehingga kerap kali disalahgunakan. Misalnya dengan memasang iklan yang sangat kecil di koran daerah. KPU tidak bisa berbuat banyak karena memang ada bukti publikasi. Padahal, saking kecilnya, publikasi tersebut juga tidak berpengaruh.
Karena itu, Titi dan ICW memohon kepada MK untuk menambahkan klausul pada ketentuan diperbolehkannya eks terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Si bekas terpidana harus mengambil jeda lima tahun sejak bebas dari penjara. Setelah itu barulah berlaku ketentuan wajib memublikasikan statusnya sebagai bekas terpidana.
Titi dan ICW juga meminta ada dua tambahan syarat. Pertama, eks terpidana tersebut tidak mendapatkan pencabutan hak politik dari pengadilan. Kedua, bekas terpidana yang akan mencalonkan diri tidak boleh berlatar belakang residivis alias pelaku kejahatan yang berulang.
Titi berharap MK bisa memutus perkara-perkara itu dengan cepat. Dengan demikian, ada kepastian hukum bagi pelaksanaan pemilu maupun pilkada. Terlebih, puncak pilkada serentak akan berlangsung pada 23 September 2020.