Jawa Pos

Kaji Ulang Juga UU KPK dan RUU Pemasyarak­atan

Setelah Presiden Tunda Pengesahan RUU KUHP

- ERIE DINI/JAWA POS

JAKARTA, Jawa Pos – Konsistens­i Presiden Joko Widodo ditunggu. Setelah menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), sikap serupa diharapkan muncul untuk RUU lain yang menimbulka­n pro dan kontra

Terutama UU Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK) yang belum lama disahkan dan RUU Pemasyarak­atan.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, ada kesan inkonsiste­nsi dari Presiden Joko Widodo dalam menyikapi polemik pembahasan RUU yang dikebut DPR beberapa waktu terakhir. Terutama Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), RUU Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK), dan RUU Pemasyarak­atan.

Jokowi sebelumnya seperti tidak menggubris derasnya penolakan RUU KPK dari masyarakat sipil. Hingga kemudian, regulasi tersebut disahkan DPR. Sementara itu, terkait KUHP, Jokowi meminta penundaan pembahasan. ”Sebetulnya publik ramai sekali meminta agar revisi UndangUnda­ng KPK tidak dilanjutka­n, tapi sikap presiden berbeda (saat menyikapi RKUHP dan RUU Pemasyarak­atan, Red),” kata Asfinawati dalam sebuah acara diskusi di Jakarta kemarin (21/9).

Perbedaan sikap presiden tersebut mengundang pertanyaan. Terlebih, tiga RUU itu sama-sama menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Seharusnya, kata dia, RUU KUHP, RUU Pemasyarak­atan, maupun RUU KPK (sebelum disahkan menjadi UU) dikaji ulang sebelum presiden menyatakan sikap.

Asfin melihat ada benang merah yang bisa dikaitkan antara RUU KUHP, UU KPK, dan RUU Pemasyarak­atan. Menurut dia, aturan-aturan itu direvisi sedemikian rupa untuk mendukung UU Sumber Daya Air (SDA) yang baru saja disahkan serta RUU Pertanahan dan RUU Minerba yang saat ini dibahas di DPR. ”Jadi, ini sebenarnya sangat terpola,” ucapnya kepada Jawa Pos.

Sementara itu, setelah pemerintah menunda pengesahan RUU KUHP, masyarakat berharap mendapat ruang untuk memberikan masukan. Khususnya pada pasal-pasal yang dinilai bakal memberangu­s kebebasan masyarakat hingga ranah privat.

Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia menegaskan bahwa RUU KUHP berpotensi mengkrimin­alisasi korban kekerasan. Untuk itu, pemerintah perlu membuka lebih luas masukan dari perspektif korban. Tidak hanya mengatur hal yang justru memberikan beban ganda bagi korban. Pemerkosaa­n misalnya. ’’Ini akan berpotensi mengkrimin­alisasi korban karena pelaku bisa saja mengklaim telah melakukan hubungan secara konsensual,” sebut Putri. Hal yang sama berlaku untuk pasangan suami istri (pasutri) di daerah pelosok atau minim akses informasi.

Putri menjelaska­n, masih banyak orang yang memang belum mencatatka­n pernikahan secara hukum karena ketidakmam­puan dan ketidaktah­uan mengurus dokumen. Berbahaya jika kemudian RUU KUHP disahkan dan dianggap semua orang tahu tanpa ada sosialisas­i atau dialog dengan masyarakat adat.

Pakar hukum pidana Universita­s Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad menilai, penundaan pengesahan RUU KUHP tidak berarti bila tidak mendengar aspirasi publik. Yang juga harus dilakukan pemerintah dan DPR adalah menghapus pasal yang dianggap kontrovers­i oleh publik.

Salah satu pasal yang dimaksud adalah pasal 217-220 tentang penghinaan presiden dan wakil presiden (Wapres). Pasal itu sejatinya pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Saat itu, hakim MK menilai pasal tersebut bisa menimbulka­n ketidakpas­tian hukum lantaran tafsirnya rentan manipulasi. ”Pasal harkat martabat (presiden dan Wapres) saya harap dihapus,” paparnya.

Ketua Umum MUI sekaligus Wapres terpilih Ma’ruf Amin mengomenta­ri pro-kontra pembahasan revisi KUHP. Dia berharap semua pihak mengambil sikap sesuai dengan mekanisme yang berlaku. ”Boleh saja orang sepakat atau tidak sepakat. Tapi, ditempuh mekanisme yang ada,” katanya setelah membuka gerakan kedaulatan pangan di Jakarta kemarin.

Sesuai dengan mekanisme, papar dia, pihak-pihak yang menolak RUU KUHP dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, Ma’ruf menyatakan tidak bisa memberikan komentar lebih jauh. ”Saya kan belum dilantik jadi Wapres. Tanyakan ke pemerintah,” tuturnya.

Sebelumnya, MUI mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo. Wakil Ketum MUI Zainut Tauhid Sa’adi menuturkan, pihaknya menyampaik­an sejumlah poin kepada pemerintah terkait dengan revisi KUHP. ”Mendorong penetapan hukuman mati,” katanya. MUI menyampaik­an agar hukuman mati dimasukkan sebagai pidana alternatif dari tindak pidana yang bersifat khusus.

MUI juga mengusulka­n perluasan hukuman zina. Menurut Zainut, cakupan zina diperluas, meliputi hubungan laki-laki dan perempuan yang keduanya terikat atau tidak terikat perkawinan. Selain itu, ada usulan pemberlaku­an hukuman sosial sebagai alternatif pemenjaraa­n.

 ?? Sumber: Draf RUU KUHP GRAFIS: ERIE DINI/JAWA POS ??
Sumber: Draf RUU KUHP GRAFIS: ERIE DINI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia