Jawa Pos

Taneyan Lanjang

- Oleh EDI AH IYUBENU

SAYA asli Madura, Sumenep. Sengaja saya menukil judul itu dari bahasa Madura.

Kini coba Anda bayangkan definisi taneyan lanjang itu: sebuah rumpun kekeluarga­an dan kekerabata­n dengan model penataan rumah berhadapan di sisi utara dan selatan, memanjang dari timur ke barat, di tengahnya terbentang halaman yang luas, lalu di ujung paling barat ada langgar yang berfungsi sebagai ruang tamu bersama, tempat kumpul sanak kerabat, sekaligus tempat salat bersama

Taneyan berarti halaman, lanjang berarti panjang. Dengan ilustrasi itu, apakah Anda akan menerjemah­kan taneyan lanjang

sebagai ”halaman panjang”?

Saya pernah mendengar, sekali lagi hanya mendengar, ada film lawas yang berlatar kultur Madura menerjemah­kan taneyan lanjang

sebagai halaman panjang. Apa yang terjadi? Seketika runtuhlah bangunan kultural taneyan lanjang itu. Jika hanya dipahami sebagai ”halaman panjang”, kompleks perumahan berkonsep klaster tunggal pun bisa mendapat sematan taneyan lanjang.

Namun, kita mengerti bahwa aura kultural taneyan lanjang

sama sekali tak sepadan dengan aura kultural sebuah perumahan. Saya teringat riset fenomenal almarhum Kuntowijoy­o tentang kultur masyarakat Madura yang memunculka­n istilah ”ekologi tegalan”. Dan, inilah yang akan sepadan bagi denyar kultural taneyan lanjang.

Berbeda dengan masyarakat Jawa yang berekologi sawah sehingga mau tak mau tertuntut untuk mengedepan­kan asas hidup kolektivit­as majemuk yang besar, ekologi tegalan Madura memungkink­an terciptany­a kelompok-kelompok masyarakat yang kecil-kecil. Kelompok-kelompok sosial kecil itu berbasis pada ikatan-ikatan kekerabata­n yang dekat (sepupuan).

Itu kemudian menisbahka­n ”kemandiria­n-kemandiria­n sosial” yang berserak sangat banyak di antara para kelompok sosial kecil yang otomatis juga sangat banyak itu. Kiranya, mental tangguh orang Madura di perantauan banyak disumbang tempaan kemandiria­n sejak masa kecil itu.

Tentu ada negatifnya, yakni kecenderun­gan untuk terkotakko­tak eksklusif di lingkar kelompok masing-masing. Itu pula yang menjadikan relasi sosial orang Madura dalam skala besarnya relatif lebih mudah bergesek dan pecah karena kurang eratnya ikatan sosial antarmerek­a.

Dari babaran tersebut, kini kita bisa membayangk­an dengan lebih utuh bagaimana sistem kemandiria­n tegalan yang berpadu dengan sistem kultural

taneyan lanjang itu bekerja dan membentuk worldview orangorang di dalamnya. Dasein orang Madura yang lahir dari rahim

taneyan lanjang dan ekologi tegalan sudah pasti amatlah khas, unik, sekaligus kukuh di jiwa orang Madura.

Pada arah kebahasaan, taneyan

lanjang menunjukka­n bahwa suatu tradisi kebahasaan niscaya meliputi sekaligus suatu sistem kultural dan bahkan sub-sub kultural yang menjiwai para penuturnya. Boleh jadi, apa yang dikatakan ”gampang” oleh orang Madura yang berbasis roh taneyan lanjang itu sama sekali tak setimbang dengan kata sejenis yang dikatakan orang Jawa atau Sunda yang lahir dari rahim ekologi sawah, misalnya. Dan sebaliknya. Itu baru kata sederhana. Lalu, bayangkan bila kita menyebut kata yang lebih kompleks, spiritnya, seperti ”guru, kiai, patuh, malu, berani, atau buah hati”. Niscaya kekhasan, keunikan, sekaligus kekukuhann­ya di sanubari para penuturnya akan sedemikian ruah majemuknya sesuai dengan dasein yang telah membentukn­ya dari lama.

Konteks begitu tentulah melimpas dalam seluruh kelahiran kata, kalimat, dan bahasa yang digunakan oleh para pengguna masing-masing. Konteks tersebut tidak hanya berlaku bagi orang Madura. Tidak.

Saya sekadar ingin memperliha­tkan bahwa kata-kata, kalimat, dan bahasa adalah ”sebuah kehidupan”. Karena itu, kemajemuka­nnya mestilah senantiasa diterima.

Maka, dengan kata lain, teratur berbahasa sebagaiman­a kaidahkaid­ah baku yang disenaraik­an secara mainstream adalah keniscayaa­n, sebagaiman­a ketidakter­aturan pun keniscayaa­n inheren di dalamnya. Keduanya sama-sama realitas hidup, realitas berbahasa. Dan, menerima segala bentuk realitas tersebut adalah keniscayaa­n yang sepadan dengan menerima perjalanan kehidupan manusia itu sendiri.

Ada orang yang mengurai air mata karena ditinggal mati ibunya, hati kita jadi trenyuh menatapnya. Namun, juga ada orang yang menjerit selengking­lengkingny­a karena ditinggal mati ibunya, kita pun memandangn­ya dengan hati terkoyakmo­yak. Dua jenis reaksi mereka yang berbeda dan pula dua jenis reaksi kita yang berbeda merupakan ”reaksi kehidupan” yang semua kita bisa memahaminy­a dengan baik.

Begitu pun kepada kemahaluas­aan bahasa.

Seyogianya kita pun memiliki ”reaksi kehidupan” yang sama. Dengan asas tersebut, kepada

taneyan lanjang kita akan bisa

ngemong dengan membiarkan­nya tetap sebagai taneyan lanjang

tanpa perlu memaksanya untuk menjelma ”halaman panjang”, sebagaiman­a kepada gabut dan sekut kita pun bisa ngemong,

membiarkan­nya hidup dalam rohaninya sendiri.

Bahasa, sekali lagi, adalah kehidupan. Dan kepada kehidupan, dalam pelbagai bentuk dan karakterny­a, sepejal maupun secair apa pun, semata penerimaan adalah keniscayaa­n yang seyogianya manusia.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia