Taneyan Lanjang
SAYA asli Madura, Sumenep. Sengaja saya menukil judul itu dari bahasa Madura.
Kini coba Anda bayangkan definisi taneyan lanjang itu: sebuah rumpun kekeluargaan dan kekerabatan dengan model penataan rumah berhadapan di sisi utara dan selatan, memanjang dari timur ke barat, di tengahnya terbentang halaman yang luas, lalu di ujung paling barat ada langgar yang berfungsi sebagai ruang tamu bersama, tempat kumpul sanak kerabat, sekaligus tempat salat bersama
Taneyan berarti halaman, lanjang berarti panjang. Dengan ilustrasi itu, apakah Anda akan menerjemahkan taneyan lanjang
sebagai ”halaman panjang”?
Saya pernah mendengar, sekali lagi hanya mendengar, ada film lawas yang berlatar kultur Madura menerjemahkan taneyan lanjang
sebagai halaman panjang. Apa yang terjadi? Seketika runtuhlah bangunan kultural taneyan lanjang itu. Jika hanya dipahami sebagai ”halaman panjang”, kompleks perumahan berkonsep klaster tunggal pun bisa mendapat sematan taneyan lanjang.
Namun, kita mengerti bahwa aura kultural taneyan lanjang
sama sekali tak sepadan dengan aura kultural sebuah perumahan. Saya teringat riset fenomenal almarhum Kuntowijoyo tentang kultur masyarakat Madura yang memunculkan istilah ”ekologi tegalan”. Dan, inilah yang akan sepadan bagi denyar kultural taneyan lanjang.
Berbeda dengan masyarakat Jawa yang berekologi sawah sehingga mau tak mau tertuntut untuk mengedepankan asas hidup kolektivitas majemuk yang besar, ekologi tegalan Madura memungkinkan terciptanya kelompok-kelompok masyarakat yang kecil-kecil. Kelompok-kelompok sosial kecil itu berbasis pada ikatan-ikatan kekerabatan yang dekat (sepupuan).
Itu kemudian menisbahkan ”kemandirian-kemandirian sosial” yang berserak sangat banyak di antara para kelompok sosial kecil yang otomatis juga sangat banyak itu. Kiranya, mental tangguh orang Madura di perantauan banyak disumbang tempaan kemandirian sejak masa kecil itu.
Tentu ada negatifnya, yakni kecenderungan untuk terkotakkotak eksklusif di lingkar kelompok masing-masing. Itu pula yang menjadikan relasi sosial orang Madura dalam skala besarnya relatif lebih mudah bergesek dan pecah karena kurang eratnya ikatan sosial antarmereka.
Dari babaran tersebut, kini kita bisa membayangkan dengan lebih utuh bagaimana sistem kemandirian tegalan yang berpadu dengan sistem kultural
taneyan lanjang itu bekerja dan membentuk worldview orangorang di dalamnya. Dasein orang Madura yang lahir dari rahim
taneyan lanjang dan ekologi tegalan sudah pasti amatlah khas, unik, sekaligus kukuh di jiwa orang Madura.
Pada arah kebahasaan, taneyan
lanjang menunjukkan bahwa suatu tradisi kebahasaan niscaya meliputi sekaligus suatu sistem kultural dan bahkan sub-sub kultural yang menjiwai para penuturnya. Boleh jadi, apa yang dikatakan ”gampang” oleh orang Madura yang berbasis roh taneyan lanjang itu sama sekali tak setimbang dengan kata sejenis yang dikatakan orang Jawa atau Sunda yang lahir dari rahim ekologi sawah, misalnya. Dan sebaliknya. Itu baru kata sederhana. Lalu, bayangkan bila kita menyebut kata yang lebih kompleks, spiritnya, seperti ”guru, kiai, patuh, malu, berani, atau buah hati”. Niscaya kekhasan, keunikan, sekaligus kekukuhannya di sanubari para penuturnya akan sedemikian ruah majemuknya sesuai dengan dasein yang telah membentuknya dari lama.
Konteks begitu tentulah melimpas dalam seluruh kelahiran kata, kalimat, dan bahasa yang digunakan oleh para pengguna masing-masing. Konteks tersebut tidak hanya berlaku bagi orang Madura. Tidak.
Saya sekadar ingin memperlihatkan bahwa kata-kata, kalimat, dan bahasa adalah ”sebuah kehidupan”. Karena itu, kemajemukannya mestilah senantiasa diterima.
Maka, dengan kata lain, teratur berbahasa sebagaimana kaidahkaidah baku yang disenaraikan secara mainstream adalah keniscayaan, sebagaimana ketidakteraturan pun keniscayaan inheren di dalamnya. Keduanya sama-sama realitas hidup, realitas berbahasa. Dan, menerima segala bentuk realitas tersebut adalah keniscayaan yang sepadan dengan menerima perjalanan kehidupan manusia itu sendiri.
Ada orang yang mengurai air mata karena ditinggal mati ibunya, hati kita jadi trenyuh menatapnya. Namun, juga ada orang yang menjerit selengkinglengkingnya karena ditinggal mati ibunya, kita pun memandangnya dengan hati terkoyakmoyak. Dua jenis reaksi mereka yang berbeda dan pula dua jenis reaksi kita yang berbeda merupakan ”reaksi kehidupan” yang semua kita bisa memahaminya dengan baik.
Begitu pun kepada kemahaluasaan bahasa.
Seyogianya kita pun memiliki ”reaksi kehidupan” yang sama. Dengan asas tersebut, kepada
taneyan lanjang kita akan bisa
ngemong dengan membiarkannya tetap sebagai taneyan lanjang
tanpa perlu memaksanya untuk menjelma ”halaman panjang”, sebagaimana kepada gabut dan sekut kita pun bisa ngemong,
membiarkannya hidup dalam rohaninya sendiri.
Bahasa, sekali lagi, adalah kehidupan. Dan kepada kehidupan, dalam pelbagai bentuk dan karakternya, sepejal maupun secair apa pun, semata penerimaan adalah keniscayaan yang seyogianya manusia.