Kisah si Pemberani dari Jepara
Tinggal lama dan dikenal luas di Eropa, Sosrokartono ini dikenal cerdas, kritis, dan sangat mencintai Indonesia. Jadi inspirasi bagi sang adik, Kartini.
MENYEBUT nama Raden Ajeng (RA) Kartini, orang akan langsung tahu. Perempuan kelahiran Mayong, Jepara, Jawa Tengah, tersebut dianggap sebagai sang inspirator, pembangkit semangat emansipasi di masa kolonial Belanda.
Tapi, kalau menyebut nama Sosrokartono, banyak orang yang mungkin akan menggelengkan kepala dan bertanya: Siapa dia? Padahal, keduanya ada ikatan darah (hal 33).
Keduanya berasal dari ayah dan ibu yang sama, R.M.A.A. Sosroningrat dan Ajeng Ngasirah. Buku karya Muhammad Muhibbuddin ini menjelaskan silsilah asal Sosrokartono dengan detail. Disertai sebuah grafis sederhana.
Disinggung juga betapa masih feodalnya keluarga kakak beradik itu, Sosrokartono dan Kartini. Untuk menjadi bupati Jepara, ayah mereka, Sosroningrat, harus menikah lagi alias menduakan Ngasirah. Dengan terperinci, di buku bersampul putih ini juga dijelaskan saudara-saudara dari Sosrokartono.
Bagi Kartini, dia lebih dari seorang kakak. Sosrokartono adalah guru dan inspirator.
Sebaliknya, Sosrokartono juga sangat mencintai adiknya. Sebab, dia tahu bahwa Kartini berbeda dengan perempuan-perempuan R.M.P. SOSROKARTONO (Kisah Hidup dan Ajaran-Ajarannya) Muhammad Muhibbuddin Araska, Bantul Januari 2019 292 Halaman 978-602-5805-79-0 di masa itu.
Begitu juga dengan Kartini, kepandaian sang kakak dan mengenal wacana-wacana ilmu pengetahuan modern, salah satunya karena terinspirasi Sosrokartono yang begitu genius.
Dekatnya hubungan ini membuat bagian akhir buku yang penulisnya kebetulan juga berasal dari Jepara itu menceritakan bagaimana sedihnya Sosrokartono mengetahui Kartini meninggal lebih dulu.
Penulis juga membedah Jepara di bagian depan dengan lumayan detail. Sekarang, Jepara bukan jalur utama di pantai utara Pulau Jawa. Kota tersebut berada di antara Kudus dan Pati, dua kabupaten di Jawa Tengah, yang menghubungkan kota besar Surabaya, Semarang, hingga Jakarta.
Dari daerah tersebut, pembaca mulai disedot untuk mengenal lebih dalam tentang seorang Sosrokartono. Mulai lahir pada 10 April 1877, pendidikan yang diperoleh, hingga bagaimana dia menjadi seorang manusia yang istimewa karena poliglot.
Dia menguasai bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Tiongkok. Hebatnya, dia belajar secara otodidak.
Kemampuan itu sangat membantunya selama hidup di negeri orang. Di Belanda, kemahirannya berbahasa negeri yang menjajah Indonesia tersebut membuatnya bisa menempuh pendidikan tinggi hingga memperoleh gelar doktorandus.
Di Negeri Kincir Angin, julukan Belanda, pula, kecintaannya kepada Indonesia semakin tebal. Dia berani memperkenalkan negara asalnya dengan penuh keberanian.
Bagaimana perlakuan pemerintah dan warga Belanda kepada orang Indonesia di tanah air. Buah pikiran Sosrokartono itu membuat Belanda menerapkan politik balas budi kepada Indonesia.
Tapi, sikap kritis tersebut juga menjadi bumerang baginya. Program doktor yang diidam-idamkannya gagal. Gara-garanya, dia berlawanan dengan dosennya, Snouck Hurgronje. Seorang yang masih selalu disebut dalam sejarah Indonesia dalam kaitan dengan Perang Aceh.
Gagal menjadi doktor tak membuat Sosrokartono patah semangat. Pekerjaan menantang diterimanya, yakni menjadi wartawan sebuah koran Amerika Serikat, The New York Herald, yang sekarang menjadi The New York Herald Tribune, dalam Perang Dunia I.
Sebuah liputan yang dilakukannya membuat dunia tercengang. Sosrokartono mampu mendapatkan peristiwa perundingan antara Jerman yang kalah perang dengan Prancis yang berlangsung dalam penjagaan sangat ketat.
Sosrokartono juga tercatat dalam sejarah berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa) di Jenewa, Swiss, pada 1920. Dengan kemampuannya sebagai poliglot, dia dipercaya menjadi penerjemah.
Tinggal lama dan dikenal luas di Eropa tak membuat Sosrokartono bahagia. Setelah 28 tahun, pada 1925, dia kembali ke Indonesia dan langsung menemui ibunya di Bandung, Jawa Barat.
Di tanah air, banyak hal yang dilakukan. Mulai di bidang kesehatan, pendidikan, hingga politik. Di politik, Sosrokartono pernah menjadi sahabat dan penasihat Soekarno.
Buku ini di bagian-bagian akhir juga menuliskan tentang ajaranajaran Sosrokartono tentang budi pekerti. Sayang, banyak sumber yang berasal dari satu buku yang sama. Selain itu, dalam buku terbitan Araska, Bantul, ini, juga tak ada satu pun foto. Baik sosok Sosrokartono maupun aktivitas yang dilakukan. (*) Wartawan Jawa Pos