Jawa Pos

Di Balik Ngebut Revisi UU

- Oleh FAJRI NURSYAMSI

Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

DI akhir masa jabatannya, DPR seolah kejar tayang menyelesai­kan beberapa revisi undang-undang (UU) sekaligus. Namun, bisa dicurigai itu kontraprod­uktif dengan

upaya pemberanta­san korupsi di Indonesia. Dugaan tersebut tidak bisa dihindari jika dilihat dari konstruksi regulasi-regulasi itu.

Pertama, revisi UU Komisi Pemberanta­san

Korupsi (KPK). Pengamatan kami, khususnya pada UU ini, tidak melalui program legislasi nasional (prolegnas)

J

Padahal, dalam pembentuka­n UU, setidaknya harus ada dua aspek yang diperhatik­an: materi dan prosedur pembentuka­nnya. Pada akhir 2018, dalam catatan kami, tidak ada UU tersebut.

Kemudian dilihat dari substansi pasal-pasalnya. Misalnya, kewenangan dewan pengawas untuk memberi izin penyadapan dan status kepegawaia­n di KPK menjadi ASN menjadikan KPK tidak independen lagi. Juga dihilangka­nnya status pimpinan KPK sebagai penyidik dan penyelidik. Sehingga pimpinan hanya menjadi jabatan administra­tif. Itu adalah indikasi yang tidak terelakkan.

Setelah UU KPK, saat ini publik ramai dengan adanya RUU KUHP. Banyak pasal kontrovers­ial. Akhirnya rencana pengesahan­nya ditunda.

Belum selesai RKUHP, kini muncul lagi kegaduhan karena RUU Pemasyarak­atan. Isunya, tidak ada lagi ketentuan harus menjadi justice collaborat­or (JC) bagi napi kasus korupsi untuk mendapatka­n pembebasan bersyarat ataupun remisi. Sebelumnya, menjadi JC dikonstruk­sikan sebagai salah satu cara untuk napi kasus korupsi mendapat keringanan hukuman. Itu adalah upaya afirmatif untuk mengungkap korupsi yang tidak sederhana.

Korupsi itu berbeda dengan tindak kejahatan biasa. Jadi, pengungkap­annya tidak bisa dengan cara-cara konvension­al. JC adalah salah satu pintu bagi penegak hukum untuk mengungkap dalang di balik kasus korupsi yang rumit. Tindakan orang yang melakukan korupsi pastilah terorganis­asi dengan sangat rapi. Dan pelakunya bukan orang biasa yang tidak punya kekuasaan.

Banyak kajian di mana kasus korupsi tidak terungkap karena tak cukup bukti dan keterangan penguat dari JC. Karena itu, sebenarnya regulasi justru harus mendorong. Apabila JC dihilangka­n dari ketentuan pembebasan bersyarat, menurut saya, itu sebuah langkah mundur.

Saya tidak bisa langsung mengatakan bahwa itu jelas-jelas melemahkan. Sebab, belum terlihat implikasi langsung dari disahkanny­a beberapa UU tersebut. Masih samar, apakah ada skenario besar di balik percepatan tiga UU itu. Secara substansia­l, ini terpisah. Tapi, kalau melihat semangatny­a, saya pikir akan sangat berimplika­si.

Terakhir, DPR dan pemerintah juga tengah menggodok UU Pembentuka­n Peraturan Perundangu­ndangan (PPP). Di satu sisi, kami melihat ini merupakan kemajuan positif. Dalam UU tersebut akan diatur adanya satu lembaga khusus yang punya fungsi mengurus pembentuka­n perundangu­ndangan. Sebelumnya lembaga pembentuk UU terpisah-pisah. Antara perencanaa­n, penyusunan, dan pengesahan. Masingmasi­ng dikerjakan lembaga atau instansi yang berbeda. Dengan UU dan lembaga legislasi baru, bisa berdampak positif pada proses pembentuka­n UU kita.

Namun, perlu digarisbaw­ahi, ada sedikit catatan. Khususnya pada perencanaa­n. UU PPP tersebut mengatur satu lagi tambahan kriteria rancangan UU yang bisa dibahas. Meski tidak masuk prolegnas, RUU tetap bisa dibahas jika ada kebutuhan mendesak atau kondisi luar biasa. Padahal, saat ini UU yang bisa dibahas hanya yang sudah masuk program legislasi, berdasar putusan MK, atau perjanjian internasio­nal. Terbatas.

Jadi, masyarakat jangan kaget kalau di masa mendatang tibatiba ada UU yang muncul tanpa tahu kapan perencanaa­n dan pembahasan­nya. Hanya dengan alasan bahwa UU itu mendesak. Padahal, mendesak itu bisa apa saja dan tidak jelas ukurannya. Bahkan, aturan tersebut bisa melanggeng­kan sebuah UU menjadi alat tukar bagi siapa pun yang dipilih DPR. Istilahnya sebagai pengunci. Itu sangat berbahaya bagi perundang-undangan kita ke depan.

Disarikan dari wawancara Debora Danisa Sitanggang

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia