Pendeta Itu Datang Menyelamatkan Kami
Gelombang Eksodus dari Wamena Belum Berhenti
WAMENA, Jawa Pos – Di tengah gelombang eksodus warga, pemulihan Kota Wamena tetap menjadi prioritas. Aparat keamanan berusaha memberikan rasa aman agar roda perekonomian di ibu kota Kabupaten Jayawijaya tersebut tidak mati.
Hingga kemarin (1/10), masyarakat cenderung beraktivitas di sekitar markas TNI dan Polri. Di luar itu, situasi belum normal. Pasar tradisional masih sepi. Pertokoan tutup
Sekolah libur. Untuk perkantoran pun, tidak semua buka.
Terlebih di daerah yang disasar massa saat kerusuhan Senin lalu (23/9), hanya sedikit warga yang beraktivitas. Pantauan Jawa Pos, di antara gedung maupun bangunan yang hangus terbakar, belum satu pun dibenahi. Di beberapa titik, bangkai kendaraan roda dua maupun empat berserakan. Bahkan, kantor bupati yang tidak terlepas dari amuk massa juga belum diperbaiki.
Daerah Hom-Hom misalnya. Meski tidak terlalu jauh dari kota, kondisinya masih sepi. Aroma bekas bangunan terbakar masih tercium. Aparat keamanan pun terus siaga. Baik berjaga di perempatan maupun berpatroli.
”Belum ada aktivitas, baik para pekerja pemerintahan maupun pekerja perkantoran lainnya,” tutur Komandan Kodim 1702/ Jayawijaya Letkol (infanteri) Candra Dianto kepada Jawa Pos.
Aktivitas belajar dan mengajar di sekolah juga belum bisa dilakukan. Sebab, banyak tenaga pengajar yang mengungsi. Tidak sedikit di antara mereka yang memilih keluar dari Wamena. ”Bagi anak-anak yang mau berangkat sekolah juga, pasti orang tuanya ada rasa risau atau khawatir,” kata Candra.
Karena itu, pihaknya berusaha mengoptimalkan pasukan untuk memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat. ”Hampir seluruh Kota Wamena kami jaga,” tegas dia. Khususnya daerah yang menjadi pusat perekonomian masyarakat.
Salah satunya Jalan Irian. Meski belum semua, ruko-ruko mulai buka. Pedagang dari pasar tradisional menggelar dagangan seperti sayur, buah, dan bahan makanan lain.
”Mudah-mudahan ini segera berangsur pulih dan aktivitas di Wamena bisa kembali normal,” ucap perwira menengah TNI-AD itu.
Di sisi lain, gelombang eksodus sulit dibendung. Aparat juga tidak bisa memaksa masyarakat untuk bertahan di Wamena. Hingga kemarin, ribuan orang antre di Bandara Wamena. Sejak pagi, pesawat Hercules bolak-balik mengangkut warga menuju Jayapura.
Penerbangan komersial Wamena–Jayapura juga ramai. Kepala Bandara Wamena Joko Harjani mengatakan, tingkat keterisian kursi pesawat Trigana Air maupun Wings Air untuk rute tersebut naik drastis. Pesawat berkapasitas 60 penumpang rata-rata terisi 50 penumpang. ”Sampai ada extra flight,” imbuhnya. Trigana Air, misalnya, menambah jumlah penerbangan dari lima menjadi enam dalam sehari.
Sebaliknya, terjadi penurunan signifikan untuk angka penumpang dari Jayapura menuju Wamena. ”Lebih banyak yang keluar (dari Wamena, Red). Kebanyakan ibu-ibu, juga anak-anak,” tambahnya.
Rapli, pegawai PLN asal Ambon, membenarkan kondisi tersebut. Pesawat Trigana Air yang dia tumpangi dari Jayapura mengangkut sedikit penumpang. Dari total kapasitas 60 penumpang, hanya 18 kursi yang terisi. ”Saya baru naik lagi (ke Wamena, Red). Jumat lalu turun ke Jayapura,” katanya kepada Jawa Pos. Pria 28 tahun itu kembali ke Wamena setelah mengevakuasi istri dan anaknya. ”Saya kembali kerja,” imbuhnya.
Rapli tidak ingin keluarganya menjadi korban. Apabila situasi di Wamena sudah normal lagi, dia memastikan akan kembali membawa keluarganya dari Jayapura.
Amardius Bawan, guru asal Pontianak, Kalimantan Barat, juga mendahulukan evakuasi keluarganya. Berhari-hari dia antre agar keluarganya bisa diangkut pesawat Hercules. Guru di SMK Kristen Wamena itu mondar-mandir ke Detasemen TNI Wamena untuk memastikan keluarganya mendapat tempat buat terbang ke Jayapura. ”Sementara cari aman dulu,” imbuh pria yang sudah tujuh tahun bertugas di Wamena tersebut.
Dia mengakui, kerusuhan pekan lalu adalah peristiwa paling mengerikan yang pernah dialaminya. Dia menggambarkan, situasi saat itu benar-benar mencekam. Api dan asap di mana-mana. Massa terus berteriak. Mereka mencari masyarakat pendatang.
Ketika kerusuhan pecah, dia tengah mengajar. Selain berteriak, massa menghujani sekolah dengan batu. ”Kaca-kaca pecah. Kami berlindungi di bawah meja,” tutur Amardius. Sekolah tempat dia mengajar agama nyaris dibakar massa. Padahal, di sekolah tersebut banyak murid asli Wamena. Untung, seorang pendeta datang. ”Pendeta itu menyelamatkan kami,” ucap ayah dua anak tersebut.
Amardius mengakui, warga asli Wamena sangat ramah. Mereka bersahabat bukan hanya kepada sesama warga asli. Pendatang pun diperlakukan sama. Pendatang di Wamena, papar dia, bukan hanya yang berasal dari luar Papua. Masyarakat pesisir dari Jayapura juga dianggap pendatang. ”Masyarakat pegunungan memang begitu. Walaupun sama-sama asli Papua, kalau dari luar pegunungan disebut pendatang,” terang dia. Meski begitu, semua hidup guyub. Tidak pernah berkelahi, apalagi dengan tetangga. ”Mereka sangat baik, seperti pendeta yang menolong kami,” kata Amardius.
Tersangka Kerusuhan Polri terus berupaya mengungkap aktor kerusuhan Wamena. Tujuh tersangka ditangkap. Mereka merupakan tokoh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, tujuh orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Wamena. Namun, dia belum bisa mengungkap identitas mereka. ”Yang pasti, mereka terlibat kerusuhan dan juga merupakan anggota kelompok tertentu,” ucapnya.
Dugaan sementara, yang memicu kerusuhan adalah kelompok KNPB dan ULMWP. ”Ada beberapa tokohnya yang diamankan di Mapolres Jayapura,” ujarnya.
Dedi mengungkapkan, kelompok tersebut berusaha mengangkat isu Papua ke dunia internasional. Salah satunya di Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pada 9–11 September. ”Tapi gagal karena memang tidak ada pelanggaran HAM,” kata dia.
Selanjutnya, kelompok itu juga ingin isu Papua dibahas dalam sidang PBB di New York pada 23–27 September. Namun juga gagal. ”Itu langkah-langkah mereka,” terangnya.
Saat ini Polri juga mewaspadai gerakan kelompok kriminal bersenjata (KKB). Sebab, KKB menyasar masyarakat umum. Bukan hanya aparat. ”Tentu aparat melakukan pengejaran dan penegakan hukum,” tegasnya.
Di sisi lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menuturkan, untuk memperbaiki Wamena, yang paling penting ialah saling pengertian antarwarga. Selain itu, diperlukan upaya pendekatan hukum sambil rekonsiliasi dengan masyarakat.
Dalam masa rekonsiliasi, warga yang ingin pulang kampung meninggalkan Wamena tetap perlu difasilitasi. Situasi seperti itu pernah terjadi saat pecah kerusuhan di Maluku. Tetapi, setelah itu para pendatang tersebut perlu diberi jaminan keamanan untuk berada di perantauan.
Menurut JK, para perantau atau pendatang itu tidak sekadar mencari penghidupan. ”Tetapi juga membangun daerah. Dia (pendatang, Red) membangun perekonomian daerah,” jelasnya.
JK lantas berbicara soal pendekatan yang pas untuk masyarakat di Papua. Selama ini pembangunan di Papua menggunakan pendekatan infrastruktur ekonomi. Pendekatan seperti itu, tutur dia, adalah pendekatan untuk orang kota. Untuk masyarakat Papua yang masih tradisional, pembangunan mesti melalui pendekatan budaya yang lebih dalam lagi. ”Kita selalu menganggap jalan, airport, itu kemajuan. Tapi, bagi mereka lain juga,” paparnya.
Untuk itu, JK menyampaikan, perlu dikaji dan diperbaiki lagi pendekatan pembangunan di Papua. Peran pemimpin formal seperti gubernur dan bupati harus betul-betul berfungsi untuk menjalankan pembangunan masyarakat. Apalagi dengan anggaran yang begitu besar.