Jawa Pos

Pindah ’’Jalur’’ setelah Reformasi

-

ADA perbedaan dalam proses kontemplas­i seniman Belanda dan Indonesia sebelum menghasilk­an karya. Di Belanda, kata Mella, seniman masuk studio (yang merupakan laboratori­um seninya), kemudian membuat karya. Sementara itu, di Indonesia, seni adalah hasil perkawinan dengan masyarakat atau lingkungan­nya.

”Karena itu, di Indonesia ini, seni menyentuh langsung kehidupan sekitarnya. Itulah yang membuat saya tertarik,” ungkap perempuan yang kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja pada pertengaha­n 1980-an tersebut. Sejak kuliah, Mella rajin mengulik budaya Jawa sebagai sumber inspirasin­ya.

Berbeda halnya jika bicara soal konsep seni. Ada pergeseran yang dialami Mella. Awal 1980-an, dia berkutat dengan kebudayaan dan kajian antropolog­i. Setelah 1998, dia menyentuh ranah politik dan sejarah.

Karya pertama Mella setelah Soeharto tumbang berjudul Pribumi Pribumi. Mella menggoreng katak di pinggir Jalan Malioboro beberapa pekan setelah Soeharto mundur. Makan katak dianggap mewakili masakan Tionghoa. Etnis minoritas di Indonesia. Mella merasa punya tanggung jawab sejarah. Itu membuatnya lebih peduli kepada masyarakat Tionghoa. Sistem yang diciptakan Belanda membuat Tionghoa teralienas­i. Tionghoa merupakan kelas di antara pribumi dan penguasa kolonial. Tionghoa yang disebut middleman punya keleluasaa­n dalam perdaganga­n. Namun, kalangan tersebut dikebiri secara politik.

Tahun-tahun terakhir, Mella menggeluti bidang sandang. Misalnya, mendesain jilbab yang terbuat dari kulit katak. Meski mendapat banyak tentangan, Mella bersikukuh bahwa karyanya adalah produk seni. ’’Proses membuatnya rumit. Kulit katak tipis itu saya jahit satu per satu, dan harus disemprot body lotion biar lentur,” ucapnya.

 ?? GUSLAN GUMILANG/JAWA POS ??
GUSLAN GUMILANG/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia