Jawa Pos

Jokowi Harus Atasi Hambatan Politis

Surya Paloh: Keluarkan Perppu, Presiden Bisa-Bisa Di-Impeach JK Minta Tugas Dewan Pengawas Diperjelas

-

JAKARTA, Jawa Pos – Desakan masyarakat agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluark­an Perppu KPK semakin gencar. Namun, sejak parpolparp­ol kompak menolak, hingga kemarin belum jelas apakah perppu jadi diterbitka­n atau tidak

Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa kondisi saat ini sudah memenuhi status mendesak untuk dikeluarka­nnya perppu.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang juga aktif di Koalisi Masyarakat Sipil Antikorups­i menilai, rangkaian aksi publik beberapa waktu belakangan sudah cukup menjadi modal bagi presiden untuk mengeluark­an perppu. ”Perppu itu hak prerogatif presiden sehingga seharusnya presiden tidak perlu dipusingka­n berbagai faktor politis,” ungkapnya kepada Jawa Pos kemarin (2/10).

ICW, lanjut Kurnia, konsisten menolak seluruh pasal dalam revisi UU KPK. Dia membenarka­n bahwa memang ada dua opsi yang bisa dipilih. Selain mendesak perppu, judicial review (JR) bisa ditempuh.

Namun, proses judicial review sangat lama. Selama menunggu, UU bermasalah itu bakal berlaku. Tanpa ditandatan­gani presiden pun, UU tersebut akan berlaku dan diundangka­n pada 17 Oktober mendatang. Kerja pemberanta­san korupsi pun otomatis terganggu.

Kurnia menambahka­n, jika konsisten dengan janji memperkuat pemberanta­san korupsi, presiden harus bisa mengatasi hambatan politis tersebut. ”Presiden bisa panggil Ketum parpol atau ketua fraksi di DPR, lalu menjelaska­n bagaimana posisi presiden dalam hukum,” tegasnya.

Sementara itu, KPK memilih untuk tidak berfokus pada perdebatan soal perppu atau judicial review. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyebutka­n, masalah perppu diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Saat ini KPK lebih berfokus pada upaya mengantisi­pasi berbagai dampak akibat pemberlaku­an UU KPK yang baru.

Tim kajian internal KPK memetakan, setidaknya ada 26 poin pelemahan yang bakal terjadi setelah UU berlaku. ”Kami memerinci kira-kira apa yang bisa kami lakukan untuk meminimali­sasi risiko pelemahan KPK. Meskipun ada wacana perppu dan JR, kami tetap harus melakukan antisipasi itu,” ungkap Febri di Gedung Merah Putih KPK kemarin.

Suara berbeda muncul dari parpol. Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menegaskan bahwa perppu belum saatnya dikeluarka­n presiden. Sebab, masalah itu masuk ranah persengket­aan di Mahkamah Konstitusi (MK). ”Ya salah juga kalau mengeluark­an perppu,” katanya saat ditemui setelah rapat paripurna MPR di kompleks parlemen, Senayan, kemarin.

Dia menuturkan, presiden bersama seluruh partai pengusung mempunyai satu bahasa yang sama. Yaitu, tidak mengeluark­an perppu. Sebab, persoalan itu sudah masuk ranah hukum. Memang, sebelumnya para mahasiswa menuntut dikeluarka­nnya perppu saat unjuk rasa. Menurut Paloh, mungkin mereka tidak mengetahui bahwa masalah tersebut sudah masuk proses di MK (Mahkamah Konstitusi).

Karena ketidaktah­uan itu, mereka pun memaksa presiden mengeluark­an perppu. Paloh menilai, kasus itu sudah dipolitisa­si. Jika perppu dikeluarka­n, bisa-bisa presiden di-impeach. ”Salah-salah lho. Ini harus ditanyakan ke ahli hukum tata negara. Coba deh, ini pasti ada pemikiran-pemikiran baru,” tuturnya.

Politikus yang juga pengusaha itu menyatakan, yang penting sekarang adalah menggunaka­n energi untuk menghadapi tantangan bangsa ke depan yang begitu kompleks. Stabilitas negara harus terus dijaga karena implikasin­ya sangat luas.

Namun, tutur dia, jika masalah stabilitas dan implikasin­ya diabaikan, ekonomi akan rusak. Investasi pun tidak bisa diharapkan. ”Bukan kami meremehkan atau tidak mendengar suara-suara dan aspirasi masyarakat,” tegasnya.

Sementara itu, pihak istana masih bungkam mengenai kejelasan nasib Perppu KPK. Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaik­an, soal jadi atau tidaknya Perppu KPK dikeluarka­n, hanya presiden yang mengetahui. ”Yang jelas, urusan ini hanya bapak presiden yang tahu dan tidak perlu dimultitaf­sirkan,” ujarnya.

Saat didesak soal seberapa jauh pembahasan­nya, politikus PDIP itu kembali bungkam dan menyatakan menyerahka­nnya kepada presiden.

Sikap yang sama disampaika­n Presiden Joko Widodo. Saat dimintai konfirmasi di sela-sela peringatan Hari Batik Nasional di Solo, dia enggan menanggapi pertanyaan soal perppu. ”Ini (acara) soal batik, kok (tanya) perppu,” katanya.

Ketidakjel­asan perppu tersebut sejatinya bertentang­an dengan pernyataan Jokowi saat bertemu tokoh-tokoh nasional di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis lalu (26/9). Saat itu Jokowi menjanjika­n akan secepatnya melakukan kajian.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengomenta­ri desakan publik supaya presiden menerbitka­n Perppu KPK. Dia tidak ingin mengomenta­ri urusan perppu itu. Hanya, JK menyinggun­g soal posisi dewan pengawas dan komisioner KPK yang perlu diperjelas.

Selama ini, dewan pengawas KPK menjadi sorotan publik. Sebab, untuk melakukan penyadapan, KPK harus mendapat izin dari dewan pengawas. ”(Keberadaan, Red) pengawas ini juga perlu perbaikan-perbaikan prosedur internal. Tidak seperti itu juga,” ungkapnya.

JK menegaskan, kedudukan dewan pengawas dan komisioner KPK harus diperjelas. Saat ini, dia menilai, dalam UU KPK yang baru, kedudukan keduanya seakan sama. Atau, bahkan dewan pengawas lebih tinggi.

Pria asal Makassar itu menyatakan, pemerintah tetap ingin menjalanka­n upaya antikorups­i melalui KPK. Di sisi lain, pemerintah menjaga aparat negara dan pemerintah. Tujuannya, aparatur negara dan pemerintah tetap berhati-hati sekaligus berani dalam mengambil kebijakan atau tindakan.

”Sekarang ini dengan situasi seperti ini, mungkin tak melihat bahwa kantor-kantor pemerintah takut luar biasa,” ungkapnya. Menurut dia, jika tidak ada yang berani mengambil keputusan, keberlangs­ungan negara ini tidak akan lancar.

Untuk itu, dia menegaskan, dua tujuan tersebut harus berjalan bersama. Yakni, pemberanta­san korupsi serta jalannya pemerintah­an yang hati-hati dan cepat. Menurut JK, pejabat pemerintah juga harus berani bertindak. Dia mengungkap­kan, saat ini hampir tidak ada keberhasil­an akibat ketakutank­etakutan itu.

Dia juga meminta masyarakat bisa menahan diri. Apalagi saat ini gugatan UU KPK sudah berjalan di MK. Dia berharap publik menunggu putusan MK. Revisi UU KPK, kata dia, sejatinya tidak tergesa-gesa. ”Jangan lupa, itu kan dibicaraka­n DPR sejak 2015. Tapi, kan ditunda,” katanya.

Tiga poin kekhawatir­an masyarakat mengenai revisi UU KPK itu adalah keberadaan dewan pengawas, izin penyadapan, dan surat perintah penghentia­n perkara (SP3).

 ?? FEDRIK TARIGAN/JAWA POS ?? AWAL YANG MENGECEWAK­AN: Sidang paripurna MPR hanya dihadiri 376 anggota gabungan DPR dan DPD. Yang tidak hadir mencapai 335 orang.
FEDRIK TARIGAN/JAWA POS AWAL YANG MENGECEWAK­AN: Sidang paripurna MPR hanya dihadiri 376 anggota gabungan DPR dan DPD. Yang tidak hadir mencapai 335 orang.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia