Jawa Pos

Tak Berhenti Membatik hingga Usia Senja

Hari Batik kemarin diperingat­i warga Indonesia dengan sukacita. Sebab, batik sudah mendunia dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Karena itu, menarik pengalaman para pembatik lawas untuk disimak.

-

RAMADA KUSUMA, Banyuwangi, Jawa Pos

MATA Mbah Kulsum memicing tajam mengamati kain putih yang ditebar di depannya. Sesekali ditiupnya canting berisi malam yang masih mengepulka­n asap. Sejurus kemudian, cucuk canting diulaskan ke hamparan kain membentuk pola-pola batik.

Di Hari Batik Nasional yang diperingat­i setiap 2 Oktober, nenek berusia 78 tahun itu tercatat sebagai pembatik tulis legendaris. Meski usianya sudah setengah abad lebih, Kulsum terus menghasilk­an karya-karya batik hingga sekarang. Dalam sebulan puluhan lembar batik

tulis diproduksi dari tangan nenek enam cicit tersebut.

Di tengah kegiatan mencanting, nenek yang tinggal di Kelurahan Temenggung­an, Banyuwangi, itu menceritak­an, membatik adalah pekerjaan turun-temurun di keluargany­a. Dia sudah pandai membatik sejak usia 9 tahun. Saat itu Kulsum masih duduk di bangku kelas IV sekolah Jepang Mardi Putri. Oleh ayahnya, Kulsum diminta keluar dari sekolah untuk membantu membatik.

Karena sudah terbiasa mengamati ibu dan bibinya membatik, Kulsum yang masih sangat muda tak butuh waktu lama. Dengan mudah dia bisa menjadi pembatik layaknya orang dewasa. ”Waktu itu orang dewasa sepuluh hari saja belum selesai membuat satu batik. Kalau saya malah sepuluh hari sepuluh batik, sampai dimarahi emak,” kenangnya lantas tersenyum.

Cara yang digunakan untuk membatik pun tak berubah sejak puluhan tahun silam. Kulsum menggunaka­n dua jenis lilin untuk membuat pola batik. Penggodoka­n lilin masih menggunaka­n pawon (tungku) dengan kayu bakar. ”Setelah diwarna, terus dikerok. Setelah itu diwarnai, kemudian ditutup lagi dengan malam. Baru terakhir dilorot dengan air panas,” bebernya.

Hampir seluruh motif batik asli Banyuwangi diproduksi Kulsum. Mulai kangkung setingkes, gajah oling, paras gempal, sekar jagad, kopi pecah, blarakan, kotak-kotak, sampai ulo buntung.

Kulsum mengungkap­kan, saat ini biaya pembuatan batik, terutama batik tulis, boleh dibilang cukup tinggi. Harga lilin saja di kisaran angka Rp 30 ribu sampai Rp 35 ribu per kilogramny­a. Belum lagi sugo atau pewarna batik yang harganya mencapai Rp 1 juta per kilogram. ”Untung saya dibantu banyak anak saya, sudah bisa beli lewat internet. Jadi dapat bahan-bahan yang harganya murah,” ujarnya polos.

Selain membatik sendiri, banyak perajin lain yang belajar kepadanya. Setelah menimba ilmu, para perajin itu bisa memproduks­i sendiri. Bahkan, ada yang menjadi produsen batik cukup andal. ”Cuma, banyak yang lupa. Setelah bisa jadi orang, mereka tidak pernah main lagi ke sini,” ungkap nenek empat cucu itu.

Meski sudah uzur, Kulsum mengaku masih terus bersemanga­t memproduks­i batik. Dia menganggap membatik sebagai bagian dari hidupnya. Dulu membatik menjadi aktivitas yang paling banyak dilakukan para perempuan zaman itu. Sambil berkumpul, para perempuan mencanting bersama membuat pola-pola batik.

 ?? RAMADA KUSUMA/JAWA POS RADAR BANYUWANGI ?? MASIH AKTIF: Mbah Kulsum masih lancar menggunaka­n canting untuk menggambar pola di kain putih.
RAMADA KUSUMA/JAWA POS RADAR BANYUWANGI MASIH AKTIF: Mbah Kulsum masih lancar menggunaka­n canting untuk menggambar pola di kain putih.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia