2 7 MENUJU AKHIR ERA POCHETTINO
LONDON, Jawa Pos – Mata mantan kiper Tottenham Hotspur Paul Robinson jeli menangkap momen ’’kekalahan’’ Mauricio Pochettino sebelum pembantaian tujuh gol kemarin (2/10). Pochettino lebih sering duduk di bench ketimbang berteriak-teriak di pinggir lapangan. Sesuatu yang tidak biasa dilakukan Poche sejak menangani Spurs per
27 Mei 2014.
’’Bahasa tubuh atau jawaban kepada media yang dilontarkannya juga bukan yang biasa dilakukannya,’’ kata Robinson yang menjadi pandit Sky Sports. ’’Jelas ada yang hilang darinya saat ini,’’ sambung kiper Spurs periode 2004–2008 itu.
Di kandang sendiri, Tottenham Hotspur Stadium, Poche membawa Spurs mengalami kekalahan terbesar sepanjang sejarah klub yang berusia 137 tahun tersebut. The Lilywhites takluk oleh Bayern Muenchen dalam matchday kedua grup Liga Champions dengan skor 2-7!
Dan, untuk kali keempat musim ini, Spurs gagal menang setelah mencetak gol lebih dulu. Yakni, gol via Son Heungmin pada menit ke-12. Bomber Spurs Harry Kane juga berkontribusi gol dari titik penalti pada babak kedua.
Namun, semua itu dilibas oleh quat-trick Serge Gnabry, brace Robert Lewandowski, dan sebiji gol dari Joshua Kimmich. ’’Setelah gol ketujuh terjadi, dia (Poche) melihat ke tempat Daniel Levy (chairman Spurs, Red). Mimiknya menunjukkan bahwa dia sudah kehabisan ide dengan timnya dan tidak sabar untuk meninggalkan lapangan,’’ tutur Robinson.
Ucapan Robinson itu seolah bersayap. Sky Sports menulis, Poche yang sebelumnya mengakui bahwa dirinya depresi setelah kekalahan Spurs dalam final Liga Champions musim lalu bisa jadi belum sepenuhnya move on.
Jika dikaitkan dengan teori lingkaran siklus klub per empat tahun oleh pelatih legendaris Manchester United Sir Alex Ferguson, era Poche di Spurs memang sudah mendekati akhir. Menurut Sir Alex, tidak banyak tim yang mampu bertahan setelah empat tahun tanpa pembaruan di lapangan dan di internal.
Dalam Harvard Business Review Class Oktober 2012, Sir Alex membeberkan sejumlah poin yang membuatnya bertahan hingga dua dekade di United. Yakni, tidak pernah absen memperbarui tim setiap empat tahun.
’’Identifikasi umur pemain, misalnya. Berapa yang berusia 30 tahun dan di atasnya, lalu usia 23–30 tahun, dan di bawah 20 tahun. Ide mengalkulasi berapa pemain usia di bawah 23 tahun ini untuk menghitung juga puncak performa pemain usia matang 23–30 tahun ini,’’ beber Sir Alex sebagaimana dikutip The Guardian.
Berdasar teori Sir Alex tersebut, puncak performa Spurs era Poche adalah tahun lalu. Sayang, tidak ada satu pun gelar yang diraih. Manajemen Spurs juga melakukan kesalahan fatal. Levy sama sekali tak mengucurkan dana sepeser pun bagi Poche untuk belanja pemain. Anggaran tersedot untuk pembuatan stadion anyar yang menghabiskan dana hingga GBP 1 miliar (Rp 17,4 triliun).
’’Spurs berusaha menutupi celah tak beraktivitas dalam transfer pada musim panas 2018 dengan jor-joran pada musim panas 2019. Namun, pemainpemain yang dibeli musim panas tahun ini tak bisa langsung nyetel,’’ tulis Sky Sports.
Marca ikut-ikutan menyiramkan bensin dalam situasi tersebut. Mereka mengklaim, Poche saat ini pasti menyesal karena mengabaikan tawaran Real Madrid musim lalu.