Dilema Budi Leksono Setiap Pemilihan Ketua RW
SURABAYA, Jawa Pos – Tahun ini kepengurusan RT, RW, dan LPMK habis. Tiga tahun sekali ada pergantian. Sejumlah RT sudah menyusun kepanitiaan dalam pemilihan serentak itu. Namun, banyak yang tidak mengerti bahwa aturan pemilihan tidak lagi sama.
Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 29 Tahun 2019 dikeluarkan di pengujung Mei lalu. Salah satu perubahan mencolok dalam perwali tersebut adalah syarat minimal tingkat pendidikan. Di aturan lama, calon yang berijazah SMP masih bisa mencalonkan diri. Namun, saat ini para calon harus punya ijazah minimal setara SMA.
Anggota Komisi A DPRD Surabaya Muchammad Machmud mempertanyakan aturan yang terus berganti-ganti tersebut. Namun, dia menilai revisi aturan itu bakal percuma. Sebab, para calon bisa dengan mudah mengakalinya. ’’Gampang banget kalau mau ngakali,’’ kata politikus Demokrat tersebut.
Machmud membuat simulasi. Misalnya, si A yang ijazahnya masih SMP ingin maju dalam pemilihan ketua RW. Karena aturannya tidak memungkinkan, dia membayar warga lain yang sudah berijazah SMA untuk dicalonkan. Si A mendampingi sebagai wakil. Di tengah perjalanan, si A diminta mundur. Otomatis, wakilnya jadi ketua RW.
Ada juga ruang-ruang lain yang memungkinkan untuk dilanggar. Misalnya, tidak ada calon lain yang bersedia maju. Maka, calon yang tidak sesuai persyaratan mau tidak mau bisa dicalonkan.
Machmud mengusulkan agar perwali disempurnakan. Dengan begitu, aturan-aturan yang sudah dibentuk tidak bisa dilanggar dengan cara apa pun. ’’Jadi, bapak-bapak yang di pemkot ini juga harus tahu kondisi di lapangan. Memang, aturannya sudah dibuat sedemikian rupa. Tapi, di lapangan hasilnya bisa beda,’’ lanjut mantan ketua DPRD Surabaya tersebut.
Saat ini banyak panitia pemilihan di tingkat RT yang sudah terbentuk. Setelah ketua RT terpilih, tahap selanjutnya adalah pemilihan ketua RW. Setelah itu, baru pemilihan LPMK di tingkat kelurahan.
Arif Fathoni, anggota komisi A lainnya, menambahkan bahwa saat ini yang menjadi persoalan adalah minimnya sosialisasi. Sudah banyak panitia yang terbentuk. Namun, warga tidak mengerti adanya aturan baru itu. ’’Kalau saya simpulkan, masalahnya cuma satu. Sosialisasinya kurang,’’ lanjutnya.
Kabag Pemerintahan Pemkot Surabaya Dedi Irianto mengatakan, sosialisasi sudah dilakukan ke ribuan RT. Beberapa lurah juga menginisiasi sosialisasi tersebut. Namun, jika ada panitia yang belum tahu aturan baru itu, bisa langsung bertanya ke pihak kelurahan atau pemkot. ’’Sebenarnya sosialisasi sudah sangat gencar. Mungkin karena yang diundang hanya perwakilan, jadi belum semuanya tahu,’’ jelas Dedi.
Selain itu, Dedi menanggapi pernyataan Machmud bahwa aturan bisa dengan mudah diakali. Simulasi yang dibayangkan Machmud tidak mungkin dilakukan. Sebab, ketentuan minimal berijazah SMA sederajat berlaku untuk semua komponen pengurus. Bukan hanya ketua. Melainkan juga wakil ketua, sekretaris, bendahara, dan pengurus lainnya.
TIAP kali pemilihan ketua RW, Budi Leksono selalu dilema. Wakil ketua Komisi A DPRD Surabaya itu tak boleh lagi menjabat ketua RW 2 Kelurahan Jepara, Kecamatan Bubutan. Sebab, ada aturan bahwa anggota parpol tak boleh menjadi pengurus RT, RW, dan LPMK.
Pada periode sebelumnya, dia mengundurkan diri. Namun, 19 ketua RT mengancam mundur jika Budi tak mau jadi ketua RW lagi. Mau tidak mau Budi merangkap jabatan lagi. ”Aku kudu yo opo? Di satu sisi, saya paham tidak dibolehkan aturan. Di sisi lain, masalah sepele ini bisa bikin gegeran,” kata Budi ke perwakilan pemkot.
Sebenarnya sudah ada calon lain yang ingin menggantikannya sebagai ketua RW. Namun, calon tersebut tak mendapat dukungan dari 19 RT tersebut. Warga menolak karena selama ini Budi tak menarik iuran apa pun ke warga. Seluruh kegiatan warga dia biayai. Budi juga menjadi bapak asuh bagi sejumlah anak yang tak mampu membayar sekolah. Ada juga permasalahan sertifikat tahan yang selama ini dia dampingi. Warga tak mau semua hal itu sirna jika ada pergantian ketua RW.
Budi juga mempertanyakan aturan mengenai ijazah. Menurut dia, yang dibutuhkan ketua RT hingga LPMK bukanlah ijazah, melainkan loyalitas melayani warga. ”Banyak teman yang ijazahnya SMP, bahkan cuma bersekolah SD, yang justru semangat melayani,” lanjutnya.
Ketua Komisi A DPRD Surabaya Pertiwi Ayu Krishna punya cerita yang sama. Namun, dia punya solusi bagi Budi. Yakni, tak harus menjadi pengurus atau ketua RW. ”Kalau saya tetap aktif, tapi sebagai pembina,” kata politikus Golkar tersebut.
Kendati demikian, Ayu menilai persoalan di setiap RT dan RW pasti berbeda.