Jawa Pos

Bincangkan Sastra, Membaca, dan Menulis di Musala

Para murid yang jadi audiens diajak membaca sebanyak mungkin agar peluang menghasilk­an tulisan yang bagus kian besar. Selain karena tak punya aula yang mencukupi, musala dipilih karena praktis, sejuk, dan tak perlu sewa kursi.

- INDRIA PRAMUHAPSA­RI, Bantul, Jawa Pos

”MUSALA?” tanya saya. Satpam Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 9 Bantul, Jogjakarta, itu mengangguk. ”Ya, Mbak. Terus saja ke musala,” jawabnya.

Sabtu pagi lalu itu (28/9) saya tengah mencari lokasi salah satu sesi diskusi Jogjakarta Literary Festival (Joglitfest) 2019 yang bertajuk Bincang Sastra Milenial. Di pamflet hanya tertulis acara itu dihelat di MTsN 9 Bantul.

Saat menelusuri arah yang ditunjukka­n oleh satpam tersebut, karena belum sepenuhnya yakin, ketika berpapasan dengan seorang guru, pertanyaan yang sama kembali saya ajukan.

Jawabannya, ibu guru itu mengantark­an saya ke lokasi. Benar saja. Saya diantar ke musala. Bukan aula seperti yang saya sangka. Tepatnya Musholla Roudhotul Muta’allimin.

Semua audiens yang sebagian besar siswi MTsN 9 duduk lesehan di lantai berselimut karpet. ”Mbak, tidak apa-apa kan ya di sini? Mbak nyaman saja, kan?” kata Miftahul Bakhri, kepala madrasah, setelah menyalami saya dan melihat salib yang tergantung pada kalung di leher saya.

Saya mengangguk. Dan, balik bertanya

”Saya boleh (duduk di sini, Red) kan ya, Pak?” kata saya sambil menunjuk lantai yang saya duduki. ”Oh, silakan saja. Yang radikal sudah ada. Saya tak yang biasa-biasa saja, he he he,” katanya dengan logat khas Jogjakarta.

Pertimbang­an menggelar diskusi di musala, terang Miftahul, karena MTsN 9 tidak punya ruang yang memadai untuk menampung 50 orang. ”Musala ini paling praktis. Tidak perlu sewa kursi, tempatnya juga sejuk, banyak angin,” kata alumnus UIN Sunan Kalijaga dan magister manajemen pendidikan Universita­s Sarjanawiy­ata Tamansiswa tersebut.

Ide itu didukung 36 guru dan staf madrasah. Panitia Joglitfest 2019 pun tidak berkeberat­an dengan keputusan MTsN 9 tersebut.

Itu bentuk semangat gotong royong dalam perhelatan Joglitfest 2019. Tidak hanya mendatangk­an banyak penulis dari luar Jawa lewat jejaring pertemanan, festival tersebut juga melibatkan kampus dan sekolah sebagai tuan rumah pergelaran.

Sekitar pukul 09.00 waktu setempat MC (master of ceremony) membuka acara. Miftahul didaulat untuk memberikan sambutan. ”Salam sastra, salam budaya!” seru dia. Audiens membalas sapaan itu dengan teriakan kompak, ”Salam!” Selama sekitar lima menit, penggemar Kho Ping Hoo itu menyemanga­ti audiens yang notabene para siswanya tersebut untuk gemar membaca.

Apalagi, sejak beberapa bulan terakhir, sekolah yang terletak di kawasan Banguntapa­n, Bantul, itu punya pojok baca di tiap kelas. Buku-buku di pojok baca tersebut adalah wakaf dari para siswa. Jumlahnya tidak banyak dan sebagian besar berupa komik. Para siswa biasanya membaca secara bergantian. ”Kunci menulis adalah membaca,” kata Miftahul.

Karena itu, lanjut dia, sebelum berani menulis, dia meminta para siswa untuk banyak membaca lebih dulu. Anita Aswad Ramadhani, siswa kelas IX-E yang duduk di sebelah saya, manggut-manggut saat mendengar nasihat sang kepala madrasah.

”Benar sih. Tapi, saya ya bacanya masih komik,” katanya.

Early Mona dan Shania Adriani Zahwa yang duduk di sebelah Anita tertawa. ”Kami juga. Kalau bacaan yang paling bikin betah ya soal artis Korea. EXO,” kata Mona.

Sebelum berlalu dari hadapan audiens untuk mempersila­kan para pembicara memulai diskusi, Miftahul membacakan puisi yang dia tulis sendiri. Dia mengaku baru kali ini menulis dan membacakan puisi karyanya di hadapan banyak orang. ”Baru saya tulis tadi malam,” katanya.

Caraku Mencintaim­u. Demikian judul puisi karya Miftahul. Ada tiga bait ungkapan kasih sayang di sana. Dan, dia mengaitkan­nya dengan puisi.

”Kukira tak ada yang bisa membuatmu betah//selain hidup abadi bersamaku dalam puisi,” ungkapnya, membaca salah satu larik puisi karyanya.

Saat audiens larut dalam sensasi yang hadir lewat puisi Miftahul, set meja dan kursi yang ada di depan berganti penghuni. Adrian Eksa, guru bahasa Indonesia MTsN 9, menjadi moderator.

Disusul para pembicara: Mustafa Ismail, Alfian Dippahatan­g, Ida Fitri, Irwan Segara, dan Willy Ana. ”Pembicaran­ya dari jauh semua, kecuali Mas Irwan Segara. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan ini ya temanteman,” kata Adrian.

Yang dia maksud teman-teman adalah audiens yang sehari-hari menjadi siswasiswi­nya. ”Sekarang jadi teman-teman dulu tidak apa-apa,” imbuhnya, disambut tawa para siswa.

Dalam Bincang Sastra Milenial, Alfian yang berasal dari Makassar membagikan awal perjalanan­nya sebagai penulis. ”Saya dulu mulai dari surat. Tahu sendiri ya surat apa yang saya maksud,” kata penyair kelahiran 1994 itu, lantas tersenyum.

Tetapi, surat itu gagal meluluhkan hati gadis pujaan. Alfian pun lantas introspeks­i. ”Rupanya, isi surat saya kurang menarik,” ujarnya, disambut tawa audiens.

Untuk bisa membuat tulisan yang menarik, termasuk surat, modalnya adalah referensi. Bacaan. Semakin banyak yang dibaca, menurut Alfian, peluang menghasilk­an tulisan yang baik kian meningkat.

Sayang, dia tidak melanjutka­n cerita soal surat cinta itu. Apakah setelah gemar melalap banyak buku, kualitas surat cinta Alfian juga bertambah dan sasaran yang dituju kelepek-kelepek alias menerima cintanya?

Selain Alfian, Mus dan Irwan juga menegaskan bahwa membaca adalah pintu masuk apresiasi sastra. Tahap selanjutny­a adalah menulis. ”Anak-anak zaman sekarang pasti punya medsos (media sosial, Red), kan.

Maka, aktivitas menulis mereka juga meningkat,” kata Mus yang merupakan redaktur

Koran Tempo.

Menulis yang dia maksud adalah status atau cuitan. Tapi, ada juga yang memang gemar menulis di diary digital alias blog atau Facebook.

Agar lebih serius, Mus menyaranka­n generasi milenial yang gemar menulis itu untuk mengirimka­n karya mereka ke media. ”Saran saya, ke media mainstream. Sebab, proses penyaringa­n oleh media mainstream lebih bisa dipertangg­ungjawabka­n,” kata pria yang terjun di dunia tulis-menulis sejak 1990-an itu.

Namun, karena mengirimka­n karya ke media, artinya bersaing dengan banyak orang, Mus menyaranka­n generasi milenial agar tidak mudah putus asa. ”Saya sendiri butuh waktu 10 tahun sebelum akhirnya tulisan saya diterbitka­n Kompas,” tutur dia.

Dalam kesempatan itu, Ida yang berasal dari Aceh Timur membagikan pengalaman­nya belajar menulis jarak jauh dengan Pringadi Abdi Surya. ”Era digital ini membuat saya bisa belajar menulis tanpa harus jauh-jauh ke Jakarta,” katanya.

Perempuan yang tercatat sebagai pegawai Dinas Kesehatan Aceh Timur itu bersyukur karena bisa belajar menulis hanya dengan bermodal smartphone. Kalau tidak, bakal sangat merepotkan.

Sebab, untuk bisa mencapai kota-kota di Jawa, dia harus ke ibu kota Banda Aceh dulu. ”Padahal, dari tempat saya ke Banda Aceh itu membutuhka­n tujuh jam perjalanan.”

Senada dengan Ida, Willy yang tahun lalu menerima Anugerah Sastra Litera pun mendapatka­n banyak ilmu lewat teknologi. ”Apalagi, saya kan belajar menulisnya secara otodidak,” kata penyair dari Bengkulu itu.

Beranjak siang, diskusi di musala itu kian hangat. Serangkaia­n pertanyaan meluncur. Di antaranya, cara memublikas­ikan karya sampai menjaga mood agar tidak bosan membaca atau menulis.

”Ya namanya juga cinta. Jadi, setelah seharian bekerja, malamnya tetap saya sempatkan untuk menulis,” ungkap Ida.

Menumbuhka­n cinta itu yang butuh waktu. Juga, butuh kepedulian. Irwan berpesan agar generasi milenial banyak mengamati lingkungan sekitar, merekam yang menarik, kemudian membagikan­nya lewat narasi.

Proses itu, oleh Alfian, disebut membaca peristiwa. Sebab, menulis memang hanya bisa dilakukan lewat membaca. ”Maka, jatuh cintalah pada menulis. Kalau sudah cinta, akan sulit meninggalk­an,” katanya.

Seperti yang juga telah dirasakan Miftahul. ”Maka, kekasih, untuk itulah aku menulis// Merangkum tawa dan tangis//Mencatat segala doa kita...” tulisnya dalam puisi karyanya.

 ?? THEODORA HAPSARI/JAWA POS ?? GAYENG: Suasana diskusi bertajuk Bincang Sastra Milenial di Musala MTsN 9 Bantul, Sabtu lalu (28/9).
THEODORA HAPSARI/JAWA POS GAYENG: Suasana diskusi bertajuk Bincang Sastra Milenial di Musala MTsN 9 Bantul, Sabtu lalu (28/9).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia