Ketati Syarat Orang Pilihan
Orang pilihan tentu harus yang terbaik. Minimal mendekati sempurna dalam perilaku dan sikap. Agar saat menjadi pemimpin, dia bisa menjadi teladan. Mampu memberikan manfaat, bukan malah menjadi pengkhianat.
Kira-kira orang seperti itulah yang sedang diperjuangkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pelaksanaan pilkada 2020. Saat ini lembaga penyelenggara pemilu itu menyusun rancangan peraturan sebagai dasar pelaksanaan pilkada. Kualifikasi kandidat sebagai syarat pencalonan pun diperketat. Khususnya terkait dengan rekam jejak perilaku yang bersangkutan.
Yang cukup krusial tentu saja kembali memasukkan larangan bagi eks terpidana korupsi untuk mencalonkan diri. Aturan itu pernah dibatalkan lewat uji materi. Namun, KPU mencoba untuk kembali memasukkannya dengan pertimbangan adanya calon kepala daerah mantan koruptor yang terpilih. Saat menjabat, dia kembali korup dan ditangkap KPK.
Mudah-mudahan aturan itu bisa diakomodasi dan ”tidak goyah” jika pada saatnya nanti diuji materi lagi. Sebab, memiliki kandidat yang bersih lebih merupakan hak bagi publik. Jangan diakal-akali lagi dengan alasan hak ”orang kotor” yang mengatasnamakan hak asasi manusia.
Isu krusial lain adalah menghadang pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam bursa pencalonan. Aturan itu melengkapi larangan yang sama bagi pelaku perbuatan tercela yang sebelumnya lebih dulu muncul. Di antaranya, pelaku pelecehan seksual terhadap anak dan pengedar narkoba.
KPU sebenarnya hanya menangkap kegelisahan publik atas potret buruk figur-figur kepala daerah yang bermasalah dengan hukum. Tentu hal itu tidak salah. Sebab, uang negara yang dikeluarkan untuk setiap pemilihan kepala daerah tidak sedikit.
Catatan KPU menunjukkan, perkiraan anggaran untuk membiayai pilkada 2020 di 270 daerah mencapai Rp 15,1 triliun. Semua biaya diambilkan dari APBD. Makin besar jumlah penduduk di suatu daerah, makin besar dana yang dikeluarkan untuk pilkada.
Misalnya, Kota Surabaya menganggarkan dana pilkada 2020 mencapai Rp 85,1 miliar. Bandung malah lebih besar, yakni lebih dari Rp 99 miliar. Apalagi untuk pilkada level provinsi. Untuk 2020, dana paling besar dianggarkan oleh Kalteng, yakni Rp 335,5 miliar. Tentu saja semua itu uang rakyat.
Pertanyaannya, relakah masyarakat jika duit sebesar itu menghasilkan para pejabat korup, bejat, dan sama sekali tidak bisa memberikan manfaat?