Perppu KPK dan Silogisme Impeachment
APAKAH benar jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Peraturan Pengganti Perundangundangan (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan berpotensi besar untuk di-impeach atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh DPR?
Ancaman impeachment kerap dihubung-hubungkan bahwa jika presiden mengeluarkan perppu, sama halnya presiden tidak serius sekaligus tidak menghormati anggota dewan sebagai pengusul dan pembahas revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Bahkan, sebagian politikus menilai jika gegabah dikeluarkan, Perppu KPK bisa menjadi ”jebakan Batman” bagi Jokowi. Alias menjadi pintu masuk untuk menggulingkan posisinya sebagai presiden di tengah masa jabatan.
Narasi itu telah berseliweran di ruang publik. Tatkala menjadi pembenar bahwa perppu tidak bisa dikeluarkan karena alasan itu. Tulisan singkat ini mencoba mendudukkan kembali stigma yang berkembang di masyarakat. Memahami kembali apa dan bagaimana perppu serta pengaruhnya dengan wacana impeachment.
Perppu
Lazimnya sistem presidensial, kuasa pembentukan perppu selalu diserahkan kepada presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan. Jika merujuk konvensi, perppu dikenal sebagai jalur konstitusional untuk membentuk regulasi secara cepat dan mem-by pass pembahasan di parlemen. Disebut cepat dan sederhana karena dalam proses pembentukannya, ia tidak perlu mengakomodasi ragam kepentingan parpol yang ada di parlemen (Ann Seidman: 2002). Tak heran jika pasal 22 UUD 1945 mengatur bahwa ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Ihwal kegentingan yang memaksa, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan kriteria normatif dalam putusan uji materi nomor 138/ PUU-VII/2009. Melalui interpretasinya, MK menetapkan tiga syarat terjadinya kondisi kegentingan. Pertama, kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah secara cepat. Kedua, kekosongan hukum akibat ketiadaan undang-undang atau ada undang-undang namun dianggap tidak memadai. Dan, ketiga, keadaan tidak dapat diatasi dengan prosedur biasa karena (proses pembuatan undang-undang) akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Tiga hal itu telah dilimitasi oleh MK. Namun perlu diingat, ketika putusan dijatuhkan, sembilan hakim konstitusi berada dalam satu paradigma yang sama. Bahwa kegentingan atau kebutuhan yang mendesak tetap berada pada wilayah subjektivitas presiden. Tak ada institusi lain yang bisa menilai situasi kegentingan memaksa kecuali presiden. Karena sifatnya yang subjektif, objektivikasinya diserahkan pada parlemen. Selaras dengan intensi ayat (2) dan ayat (3) pasal 22 UUD. Langkah selanjutnya, perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya untuk menjadi undangundang. Sebaliknya, jika tidak, perppu harus dicabut. Intensi pasal tersebut menempatkan DPR sebagai penyeimbang sekaligus pelaksana fungsi kontrol terhadap kebijakan presiden (checks and balances).
Selain fungsi crosscheck yang bisa dilakukan oleh DPR, MK juga bisa melakukan fungsi korektif melalui kewenangan uji materi alias judicial review. Kanal-kanal ini tersedia secara konstitusional untuk menutup sifat abuse presiden dalam menetapkan peraturan.
Kembali pada soal perlu tidaknya menerbitkan Perppu KPK. Mungkin dalam logika awam, ”kegentingan
yang memaksa” sebagaimana dimaksud dirasa telah mencukupi. Ada tiga kondisi saat ini yang bisa dijadikan alasan pertimbangan menetapkan perppu. Pertama, akibat tekanan publik yang terjadi secara masif dan kontinu, bahkan telah memakan korban jiwa dalam unjuk rasa yang diinisiasi mahasiswa dan pelajar. Kedua, revisi UU KPK yang dianggap tidak sejalan dengan cita-cita pemberantasan korupsi. Ketiga, tidak lagi dapat ditangani dengan prosedur biasa mengingat pembahasan undangundang akan memakan waktu yang relatif lama. Tetapi sekali lagi, semua itu soal subjektivitas Jokowi. Jika dia berani mengambil opsi menerbitkan perppu, rasanya tidak berlebihan bila publik akan menilai Jokowi sebagai presiden yang memiliki komitmen kuat dalam agenda pemberantasan korupsi. Tentu saja, pilihan tersebut akan mendongkrak popularitas Jokowi.
Impeachment
Kemudian, soal ancaman impeachment. Ada satu hal yang perlu diingat dalam membedakan ciri sistem parlementer dan ciri sistem presidensial. Dalam sistem parlementer, perdana menteri dapat diberhentikan dalam masa jabatannya akibat kebijakan yang tidak populis. Artinya, seorang perdana menteri sangat mungkin di-impeach karena alasan politis.
Berbeda halnya dengan sistem presidensial. Presiden hanya dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan hukum (Alferd Stephen & Cindy Skach: 1993). Sebagaimana telah diatur secara limitatif dalam pasal 7A UUD, baik itu perbuatan yang berupa pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak pidana korupsi, terlibat penyuapan, melakukan perbuatan tercela, atau terbukti melakukan tindak pidana berat lainnya.
Selain soal alasan hukum, syarat formil impeachment juga diatur dengan prosedur yang superketat. Bahkan, situasinya akan terasa semakin sulit bila melihat sistem multipartai ekstrem yang diadopsi selepas era transisi politik. Presiden terpilih akan membangun koalisi mayoritas untuk mendapatkan legitimasi politik yang kuat di parlemen (Djayadi Hanan: 2014).
Konsekuensi logisnya, partaipartai pendukung Jokowi cenderung akan memuluskan kebijakankebijakan pemerintah di hadapan parlemen. Termasuk menjaga dan melindungi presiden dari ancaman pasal impeachment.
Membaca kondisi di atas, tentunya cukup sulit membenarkan bahwa Perppu KPK dapat bermuara pada wacana impeachment. Bahkan, bisa dibilang sangat jauh. Saat ini, kita hanya membutuhkan keyakinan presiden untuk mendorong segera dikeluarkannya Perppu KPK. Para simpatisannya tidak perlu takut dengan wacana impeachment.
Begitu juga para anggota DPR yang menilai opsi perppu tidak begitu tepat untuk dikeluarkan. Saluran konstitusional telah tersedia untuk menilai keabsahan perppu. Baik itu melalui jalur legislative review di DPR maupun melalui jalur
judicial review melalui pembuktian di MK. (*)