Jawa Pos

Jalan Tengah Perppu KPK

Presiden Bisa Tangguhkan UU Hasil Revisi Tidak Dibatalkan, tapi Dibahas Ulang Bersama DPR

-

JAKARTA, Jawa Pos – Keputusan Presiden Joko Widodo untuk menyikapi Undang-Undang Komisi Pemberanta­san Korupsi (UU KPK) hasil revisi benar-benar ditunggu. Tidak hanya menyudahi polemik, sikap presiden juga akan memberikan kepastian hukum bagi UU tersebut.

Saat ini UU KPK hasil revisi memang sudah disetujui DPR, tapi belum bisa berlaku karena presiden belum menandatan­ganinya. Pada 17 Oktober, sesuai batas 30 hari sejak pengesahan, hasil revisi UU tersebut akan tetap berlaku

Meskipun, presiden tidak menekennya.

Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universita­s Jember Bayu Dwi Anggono mengingatk­an, penting bagi presiden segera mengambil sikap. Sikap presiden diharapkan mengakhiri polemik yang berkembang. Baik menerbitka­n atau tidak menerbitka­n peraturan pemerintah pengganti undangunda­ng (perppu).

Bila presiden memutuskan untuk tidak mengeluark­an perppu, papar Bayu, sebaiknya UU tersebut segera diteken dan diundangka­n. ”Agar para pihak yang berkeberat­an bisa segera mengajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi,” terang dia saat berbincang dengan Jawa Pos kemarin (5/10).

Saat ini sejumlah pihak sudah mengajukan pengujian terhadap UU KPK yang baru ke MK. Ada dua permohonan yang masuk, yakni dari mahasiswa lintas universita­s dan para mahasiswa program magister ilmu hukum Universita­s As Syafi’iyah. Dalam gugatannya, kedua pemohon sama-sama mengosongk­an bagian nomor UU karena memang hasil revisi itu belum diundangka­n.

Menurut Bayu, sebenarnya ada jalan tengah yang bisa diambil presiden untuk menyudahi tarik ulur perppu KPK. ”Saya menggagas perppu penangguha­n berlakunya revisi Undang-Undang KPK,’’ katanya. Setelah revisi UU KPK diundangka­n, presiden langsung menerbitka­n perppu yang menangguhk­an pemberlaku­annya selama setahun.

Selama masa setahun itu, presiden mengajak DPR untuk membahas lagi. Dengan kata lain, melakukan legislativ­e review atas UU tersebut. Pasal-pasal yang memang ditolak segera dibuang. Sedangkan yang memang efektif untuk menguatkan pemberanta­san korupsi di KPK dipertahan­kan.

Pembahasan­nya cukup lewat proses legislasi biasa. ”Jangan seperti kemarin. Terburu-buru, tertutup, tidak partisipat­if,” tutur akademisi kelahiran Sidoarjo itu. Satu tahun cukup bagi pemerintah dan DPR untuk melibatkan masyarakat dalam membahas revisi UU KPK. Tentu juga melibatkan KPK sebagai pihak pelaksana UU.

Perppu penangguha­n berlakunya UU bukan hal baru dalam sistem ketatanega­raan Indonesia. Presiden Soeharto pernah menerbitka­nnya pada 1984 untuk menangguhk­an berlakunya UU Pajak Pertambaha­n Nilai (PPN). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitka­n perppu penangguha­n dua kali. Yakni untuk menunda penerapan UU Penyelesai­an Perselisih­an Hubungan Industrial dan UU Pengadilan Perikanan.

Dengan menerbitka­n perppu penundaan, lanjut Bayu, UU 30/2002 tentang KPK tetap berlaku. Tuntutan publik akan terpenuhi dan KPK bisa kembali bekerja dengan normal. ”Sementara DPR tidak kehilangan muka karena presiden tidak membatalka­n,” jelas pria 37 tahun tersebut. Selain itu, kewibawaan presiden tetap terjaga.

Perppu penundaan menjadi jalan tengah di antara kebuntuan dua tuntutan. Di satu sisi, publik meminta perppu dikeluarka­n untuk membatalka­n UU KPK hasil revisi atau setidaknya membatalka­n pasal-pasal yang ditolak publik. Sebaliknya, DPR menuntut kesepakata­n antara pemerintah dan parlemen tidak dibatalkan sepihak oleh presiden.

Sementara itu, Wasekjen PPP Ade Irfan Pulungan mengungkap­kan, presiden memang berdiskusi dengan parpol pendukung untuk mencari pertimbang­an soal perppu. Dalam situasi seperti sekarang, apa keuntungan dikeluarka­nnya perppu. ”Bisa jadi, para pendukung Pak Jokowi, ketua-ketua umum partai, memberikan pendapat atau saran, belum waktunya dikeluarka­n perppu,” terangnya.

Pada prinsipnya, lanjut Irfan, partai-partai koalisi sepenuhnya mendukung kebijakan yang diambil presiden. Hanya, partai juga merasa perlu memberikan masukan. ”Agar kebijakann­ya itu tidak dipengaruh­i pihak-pihak tertentu yang mengakibat­kan polemik baru,” lanjutnya.

Menurut Irfan, lebih baik publik tidak apriori terlebih dulu terhadap revisi UU KPK. Seharusnya ada kesempatan untuk menjalanka­n UU tersebut. ”Kalau misalnya ada kesalahan dan kekeliruan, kan bisa dilakukan judicial review,” tutur pria yang berprofesi advokat itu. Hal tersebut merupakan bentuk pengawasan dari masyarakat karena UU tidak bisa sempurna 100 persen.

Menanggapi hal itu, Bayu mengingatk­an bahwa dua di antara tiga opsi atas UU KPK, yakni legislativ­e review dan judicial review, memiliki kelemahan. Tawaran sejumlah partai untuk menjalanka­n UU KPK lebih dulu kemudian merevisi bila ada kekurangan pasti akan ditolak sebagian besar masyarakat. ”Kelemahan opsi pertama ini, tidak ada kepastian kapan revisi akan kembali dilakukan,” terangnya.

Belum lagi, ada proses yang harus dilalui seperti masuk ke prolegnas sehingga butuh waktu. Begitu pula opsi judicial review atau JR ke MK. ”Karena tidak bisa menunda berlakunya Undang-Undang KPK hasil revisi,” ujar penulis buku Perkembang­an Pembentuka­n Undang-Undang di Indonesia itu. MK biasanya menolak pengajuan provisi untuk menunda berlakunya UU. Sementara tidak ada kepastian kapan perkara akan diputus.

Bentuk kelemahan lainnya adalah pesimisme terhadap MK atas upaya pemberanta­san korupsi. Bayu menguraika­n, empat tahun terakhir MK membuat putusan yang terkesan permisif terhadap upaya pemberanta­san korupsi. Misalnya, eks koruptor tetap boleh menjadi calon kepala daerah. Kemudian, soal angket KPK, MK mengiyakan sikap DPR.

Sementara itu, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti berpandang­an, legislativ­e review menjadi opsi kedua bila dorongan agar presiden menerbitka­n perppu gagal. Keluarnya perppu memang akan efektif untuk membatalka­n revisi UU KPK, tetapi belum tentu bakal menjadi tahap final. Sebab, DPR masih bisa menolak perppu tersebut sehingga harus ada upaya hukum lain yang dilakukan.

Nah, yang dimaksud dengan legislativ­e review adalah mendorong DPR melakukan perubahan terhadap isi revisi itu. ”Kami akan mencoba mendorong agar ada perubahan lagi melalui prosedur pembentuka­n UU yang biasa,” jelas Bivitri.

Itu pun harus melalui prosedur normal dan tidak ada percepatan tak lazim seperti yang terjadi pada pembentuka­n revisi UU KPK yang lalu. Prosesnya pun akan memakan waktu lama. Bivitri menjelaska­n, untuk pembentuka­n suatu UU, ada empat tahapan yang harus dilalui. Mulai perencanaa­n, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia