Jawa Pos

Pengusaha Keluhkan BPHTB yang Kian Mahal

-

SURABAYA, Jawa Pos – Sejak September, pengusaha mengeluhka­n naiknya bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Bahkan, di beberapa zona kenaikanny­a 100 persen alias dua kali lipat.

Ketua DPD Asosiasi Realestat Broker Indonesia (Arebi) Jawa Timur Rudy Sutanto khawatir akan terjadi kelesuan ekonomi jika kondisi itu dibiarkan. Sebab, sektor properti sangat berkaitan erat dengan industri lain. ”Kalau keterusan, ya lama-lama bisa terjadi resesi,” katanya.

Investasi pada bidang properti di Surabaya bisa jadi turun gara-gara imbas kenaikan BPHTB. Berkurangn­ya transaksi justru akan mengurangi pendapatan pemkot dari sektor pajak daerah

J

Hingga September lalu, realisasi BPHTB dinilai kurang memuaskan. Pemkot menargetka­n pendapatan Rp 1,2 trilun. Namun, realisasin­ya baru separo. Kenaikan tersebut bisa jadi dilakukan agar target BPHTB tercapai tahun ini.

Rudy mengatakan, di sejumlah zona, nilai BPHTB dihitung dari dua kali lipat nilai jual objek pajak (NJOP). NJOP dobel tersebut dikurangi dengan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) Rp 75 juta. Baru setelah itu, hasilnya dikalikan 5 persen.

Dia menunjukka­n salah satu bukti kenaikan tersebut dari salah satu lembaran tagihan BPHTB. Di dokumen itu tertulis bahwa nilai NJOP objek pajak tersebut Rp 2,925 miliar. Di perhitunga­n BPHTB nilai perolehan objek pajak (NPOP) Rp 5,850 miliar alias dua kali lipat dari NJOP.

Jika nilainya dihitung, pembeli harus membayar BPHTB Rp 288 juta ke pemkot. Pembeli pun harus mengeluark­an biaya lebih besar daripada biasanya garagara perubahan tarif itu. ”Ini sangat memengaruh­i kondisi sektor properti,” tuturnya.

Pendapatan pajak daerah terbesar pemkot memang berasal dari BPHTB. Nilainya Rp 1,2 triliun. Bahkan, nilainya selalu lebih besar daripada pajak bumi bangunan (PBB) yang juga sudah menembus angka Rp 1 triliun.

Kepala BPKPD Surabaya Yusron Sumartono menyatakan bahwa pemahaman masyarakat keliru. Dia menegaskan, penghitung­an BPHTB bukan dari NJOP. ”Bukan naik. Orang salah memahami itu. Dasar pengenaan BPHTB adalah harga transaksi. Tidak ada kaitannya dengan NJOP,” jelasnya.

Yusron menegaskan bahwa selama ini kebijakan yang diambil sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, peraturan daerah,hinggapera­turanwalik­ota. ”Baca di undang-undang yang mengaturBP­HTBatauPer­da11/2010. Ada semua,” ujarnya. Selama ini upaya akal-akalan untuk mengurangi nilai transaksi masih dia temukan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia