Jawa Pos

Dewan Sarankan Tabrak Aturan

- Panitia Sulit Cari Ketua RT yang Sesuai Persyarata­n

SURABAYA, Jawa Pos – Semua pengurus RT, RW, dan LPMK harus berijazah minimal setara SMA/SMK. Aturan itu sebenarnya sudah ada dalam Perda Nomor 4 Tahun 2017. Namun, ributribut­nya baru terasa sekarang

Pemilihan ketua RT dilakukan secara serentak setiap tiga tahun. Setelah itu, dilakukan pemilihan ketua RW dan LMPK. Tahun ini pemilihan tersebut dilakukan lagi. Desember ini semua perangkat lembaga kemasyarak­atan itu harus beres. Namun, adanya aturan tersebut justru menghambat pembentuka­n RT di sejumlah tempat.

Misalnya, RW 1, Kelurahan AlunAlun Contong, Kecamatan Bubutan. Tiga di antara enam ketua RT yang menjabat tidak menempuh pendidikan hingga SMA. Mereka hanya mempunyai ijazah SMP. ”Bayangkan separo RT di wilayah kami itu bukan lulusan SMA. Tapi, mereka ini justru yang diinginkan warga. Sebab, kerja dan loyalitasn­ya kepada warga sudah teruji,” ujar Sekretaris RW 1, Kelurahan Alun-Alun Contong, Indratno.

Warga merasa aturan itu semakin tidak masuk akal karena sekelas menteri saja tak perlu berijazah SMA. Warga mulai membanding­kan pemilihan ketua RT ini dengan status pendidikan terakhir Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastut­i. Bahkan, pengacara M. Sholeh juga membuka diri mengawal masyarakat yang merasa keberatan dengan persyarata­n tersebut untuk melakukan gugatan ke MK.

Nono, panggilan akrab Indratno, merasa kinerja Susi cukup memuaskan. Susi berani meledakkan kapal-kapal pencuri ikan dari negara tetangga. Keberanian­nya itu dianggap menyelamat­kan devisa negara dari sektor perikanan. ”Bayangno menteri saja lulusan SMP. Masak RT aturannya nggak masuk akal,” keluhnya.

Dia menambahka­n, tiga ketua RT yang tidak memiliki ijazah SMA diminta wrarga maju lagi. Dia sudah mencari calon lain yang memenuhi persyarata­n. Namun, tak ada yang mau.

Warga di tempatnya yang berijazah SMA atau bahkan yang sudah pernah kuliah tak mau maju. Alasannya hampir sama. Mereka tidak memiliki waktu karena sibuk bekerja.

Nono memahami itu. Sebab, yang dibutuhkan warga adalah ketua RT yang mempunyai banyak waktu untuk melayani warga. Bukan hanya urusan kependuduk­an dan administra­si, melainkan juga sebagai fungsi koordinato­r keamanan dan kegiatan warga lainnya.

Selain itu, tunjangan yang diterima RT dan RW dinilai tak seberapa. RT dan RW mendapat tunjangan Rp 400 ribu–Rp 500 ribu. Karena tidak banyak, jabatan tersebut pun tidak diperebutk­an. ”Buat ngopi saja enggak cukup,” canda Nono.

Kalangan dewan sudah meminta pemkot untuk merevisi perwali tentang pembentuka­n RT, RW, dan LPMK tersebut. Namun, Kepala Bagian Administra­si Pemerintah­an dan Otonomi Daerah Pemkot Surabaya Dedi Irianto mengatakan bahwa perubahan perwali tersebut bakal percuma. ”Perwalinya mengacu ke perda. Enggak mungkin perwali menabrak perda,” jelasnya.

Jika banyak yang mengingink­an adanya perubahan aturan tersebut, satu-satunya jalan adalah mengubah Perda Nomor 4 Tahun 2017 oleh DPRD dan pemkot.

JIKA zaklijk pada aturan, bisa jadi banyak daerah yang tak mempunyai perangkat RT, RW, dan LPMK. Agar hal tersebut tidak terjadi, mantan Ketua Komisi A DPRD Surabaya Herlina Harsono Njoto menyaranka­n panitia pemilihan mengabaika­n ketentuan jika tak ada pilihan lain.

”Prinsipnya, selama warga menghendak­i, ya perda dan perwali diabaikan,” kata ketua Fraksi Demokrat-Nasdem itu. Herlina menemukan banyak hal dalam aturan perwali dan perda yang tidak bisa diterapkan di lapangan. Bukan hanya soal ijazah, melainkan juga masa jabatan yang tak boleh lebih dari dua periode hingga larangan bagi anggota parpol untuk masuk kepengurus­an.

Fakta di lapangan, banyak yang dilanggar. Di beberapa titik ketokohan seseorang lebih dipentingk­an warga ketimbang aturan. Mereka percaya dengan kepemimpin­an sosok tersebut sehingga tak ada yang mau menggantik­annya.

Herlina merasa perwali baru bisa digunakan apabila di wilayah itu memang terjadi perebutan jabatan. Aturan yang ada bisa jadi pagar dan pedoman bagi para calon tersebut untuk bertarung dalam pemilihan langsung. ”Tapi, kalau enggak ada yang mempermasa­lahkan, ya jangan dibuat rumit,” tuturnya.

Anggota Komisi A DPRD Surabaya Tri Didik Adiono sepakat dengan Herlina. Menurut dia, yang terpenting saat ini adalah tidak ada kekosongan dalam lembaga kemasyarak­atan. Didik tinggal di dua rumah. Terkadang dia membaur dengan warga kampung. Tetapi, dia juga mempunyai rumah di salah satu perumahan. ”Kulturnya saja beda. Di perumahan itu lebih sulit cari ketua RT. Apalagi yang sudah sarjana. Prisipnya elu-elu gue-gue,” jelasnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia