Jawa Pos

Wayang Kardus

- Cerpen MARIA M. BHOERNOMO MARIA M. BHOERNOMO

SUNGGUH aku sangat menyesal telah bercerita kepada Sariti, putri tunggalku yang baru berumur lima tahun itu, tentang masa kecilku yang menyukai mainan wayang kardus berwajah monyet. Yang bisa digerak-gerakkan di bagian kepala, kaki, dan tangannya dengan benang yang ditarik-tarik ke bawah. Ketika bagian kepala, kaki, dan tangan wayang kardus itu bergerak-gerak, betul-betul lucu, seperti monyet sedang menari-nari.

Wayang kardus berwajah monyet itu memang terbuat dari kardus. Digapit dengan bilah bambu, menyerupai wayang kulit. Namun, bagian kepala, tangan, dan kakinya bisa digerakkan dengan benang yang ditarik-tarik ke bawah.

Dulu, semua anak memang gemar memainkan wayang kardus berwajah monyet. Biasanya wayang kardus berwajah monyet dijual pedagang mainan yang suka menjajakan daganganny­a dengan cara berkelilin­g dari desa ke desa. Jika ada keramaian seperti perayaan Agustusan atau ada layar tancap di lapangan desa, banyak pedagang mainan pasti juga menjual wayang kardus berwajah monyet.

Dulu, aku dan anak-anak lain yang kreatif mampu membikin sendiri wayang kardus berwajah monyet. Namun, kini wayang kardus berwajah monyet sudah nyaris punah karena kalah bersaing dengan mainan plastik seperti boneka atau robot-robotan dan mobil-mobilan elektrik yang bisa digerakkan dengan baterai dan remote control.

Setelah mendengar ceritaku semalam, pagi-pagi Sariti langsung merengek-rengek. Ia memintaku membikin wayang kardus tapi tidak berwajah monyet, melainkan berwajah presiden.

”Cepat, ayo cepat bikin wayang kardus berwajah presiden.”

”Jangan kurang ajar, Sariti. Kalau kita bikin wayang kardus berwajah presiden, bisa dituduh menghina kepala negara. Itu bisa dipenjara,” tuturku kepada Sariti.

Sariti malah menjerit keras-keras dengan berlinang air mata. ”Ayo cepat Ibu bikin wayang kardus berwajah presiden!”

Hih! Sariti memang anak yang suka rewel dan jika sudah meminta sesuatu harus segera dituruti. Kalau permintaan­nya tidak dituruti, akan rewel, menangis dan menjeritje­rit, sehingga semua tetangga dekat mendengarn­ya.

Aku jadi senewen dan merasa keberatan membuat wayang kardus berwajah presiden. Aku tidak mau ditangkap polisi dengan tuduhan menghina presiden. Ngeri sekali jika membayangk­an diriku menuruti permintaan Sariti, lantas ada tetangga yang melaporkan aku kepada polisi, kemudian aku ditangkap dan dijebloska­n ke penjara karena dianggap sudah menghina presiden.

Ngeri juga kubayangka­n rumah kami dibakar pendukung presiden yang marah karena aku dianggap menghina dengan wayang kardus berwajah presiden.

”Sariti, Ibu bikinkan wayang kardus berwajah monyet saja, ya?!” Aku mencoba membujukny­a dengan suara lirih di dekat telinganya.

Tapi, Sariti langsung menangis meraungrau­ng sambil menjerit-jerit, ”Aku ingin punya wayang kardus berwajah presiden!”

Aku yakin, jeritan Sariti didengar tetanggate­tangga dekat. Ingin kubungkam mulut Sariti agar tidak menjerit-jerit lagi. Tapi, aku tak tega berbuat kasar kepada anak. Maka, kubiarkan saja Sariti menjerit-jerit sambil gulung koming di lantai teras.

Suamiku yang dari tadi sedang menonton TV di ruang keluarga tiba-tiba bergegas mendekati Sariti sambil berkata lembut. ”He, Sariti, jangan minta macam-macam. Kalau kamu suruh ibu bikin wayang kardus berwajah presiden, nanti ibu ditangkap polisi.”

Lantas, suamiku mencubit lenganku sambil berbisik di telingaku. ”Kamu pasti tidak akan berani menuruti permintaan Sariti, kan?”

Aku tersipu-sipu. Jelas sekali, rakyat kecil seperti aku tidak akan berani menghina presiden yang punya banyak pendukung fanatik.

Suamiku kembali bergegas ke ruang keluarga. Lantas memanggil Sariti agar segera menonton TV yang katanya sedang menayangka­n berita proses hukum kasus penghinaan terhadap presiden. Pelakunya jatuh sakit karena depresi.

”Sariti, cepat kemari, ada berita TV yang perlu kamu lihat.”

Sariti masih saja menangis dan menjerit-jerit. ”Aku ingin punya wayang kardus berwajah presiden!”

Karena khawatir didatangi tetangga-tetangga dekat yang mendengar jeritan Sariti, segera anak itu kubopong masuk ke dalam ruang keluarga.

Dengan tetap menangis, Sariti ikut melihat tayangan berita kasus penghinaan terhadap presiden yang sedang heboh itu. Ketika layar TV memperliha­tkan tersangka yang sedang tergolek sakit, mata Sariti terbelalak nanar.

”Lihat itu. Kalau kamu suruh ibu dan ayah bikin wayang kardus berwajah presiden, pasti ibu dan ayah akan tergolek sakit seperti itu,” tutur suamiku.

Tapi, tiba-tiba Sariti menjerit-jerit lagi. ”Aku ingin punya wayang kardus berwajah presiden!”

Suamiku mencoba merayu dengan berbisik lembut di dekat telinga Sariti. ”Sebaiknya kamu beli boneka saja yang bisa bergerak-gerak dengan memegang pedang yang menyala seperti milik Mas Rukan cucunya Pak Lurah itu, ya?!”

Aku pun mencoba lagi merayu Sariti agar tidak lagi minta dibuatkan wayang kardus berwajah presiden. ”Sebaiknya kubuatkan wayang kardus berwajah monyet saja, ya?”

Tapi, Sariti menggeleng dan kembali menjerit-jerit. ”Aku ingin punya wayang kardus berwajah presiden!”

Jeritan Sariti benar-benar didengar tetanggate­tangga dekat. Mereka berdatanga­n dan bertanya, ”Kenapa Sariti tiba-tiba rewel seperti itu?”

”Semalam aku bercerita tentang masa kecilku yang suka mainan wayang kardus berwajah monyet, Sariti malah minta dibikinkan wayang kardus berwajah presiden,” jawabku.

Mereka mencoba mengerti dengan mengangguk­anggukkan kepala. Tapi, mereka juga khawatir kalau aku menuruti permintaan Sariti kemudian ditangkap polisi. Lantas, ada yang mencoba menasihati Sariti. ”Jangan minta wayang kardus berwajah presiden. Wajah presiden bukan untuk mainan.”

Sariti diam. Wajahnya tertunduk. Aku segera mengajakny­a ke kamar mandi. ”Ayo mandi dulu. Setelah mandi, kita ke toko, beli boneka.”

Tetangga-tetangga tampak menerawang seperti membayangk­an sesuatu dengan tersenyums­enyum, sebelum kemudian satu per satu pulang ke rumah masing-masing. Mungkinkah mereka membayangk­an wayang kardus berwajah presiden?

***

Meski sudah kubelikan mainan robot yang memegang pedang menyala yang bisa bergerakge­rak, Sariti ternyata masih juga merengek-rengek minta kubikinkan wayang kardus berwajah presiden, menjelang tidur. Bahkan, tengah malam Sariti mengalami demam dan mengigau, menjeritje­rit keras, ”Aku ingin punya wayang kardus berwajah presiden!”

Aku dan suamiku sangat cemas melihat keadaan Sariti. Demamnya cukup tinggi. Lantas, kusuruh suamiku untuk segera membikin wayang kardus berwajah presiden seperti yang diminta Sariti. ”Turuti saja permintaan­nya, daripada Sariti jatuh sakit.”

”Kamu ingin aku ditangkap polisi dengan tuduhan menghina presiden?” tukas suamiku.

”Kalau kamu ditangkap polisi, pasti banyak yang membelanya. Lagi pula, kamu malah bisa terkenal karena banyak wartawan pasti memberitak­annya. Bahkan, kalau nanti kamu ditangkap polisi hanya karena membikin wayang kardus berwajah presiden untuk menuruti permintaan anak agar anak tidak jatuh sakit, pasti presiden akan memaafkan kamu,” tuturku mantap. Suamiku tampak masih bimbang.

”Tak usah takut ditangkap polisi. Ayo kita bikin bersama. Kita bisa membela diri dengan menjelaska­n bahwa anak kita sangat mencintai presiden sehingga meminta dibikinkan wayang kardus berwajah presiden.” Aku terus mendesak suamiku segera membikin wayang kardus berwajah presiden agar Sariti tidak jatuh sakit.

Aku dan suamiku mengerti betapa Sariti memang sangat mencintai presiden. Kami sekeluarga pun sangat mencintai presiden. Buktinya, kami suka memakai kaus bergambar presiden. Di dinding ruang tamu rumah kami juga terpajang foto presiden.

Tapi, untuk membikin wayang kardus berwajah presiden, aku dan suamiku merasa sangat keberatan. Kami tak ingin dianggap sebagai bagian dari barisan oposisi.

”Kalau kamu tidak berani, biar aku yang bikin wayang kardus berwajah presiden.” Aku berkata tegas kepada suamiku.

”Eh, jangan. Baiklah, aku saja yang bikin.” Suamiku tak bisa membiarkan diriku membuat wayang kardus berwajah presiden. Maka, tengah malam itu juga suamiku membantuku segera membikin wayang kardus berwajah presiden dari dus bekas bungkus air minum kemasan. Di rumah kebetulan banyak sekali koran bekas yang memuat wajah presiden dengan ekspresi tertawa. Maka, tak sulit bagi kami untuk membikin mainan kuno kesukaan anak-anak di masa lalu itu.

Sekitar setengah jam kemudian kami sudah selesai membikin wayang kardus berwajah presiden. Tampak lucu ketika kepala, tangan, dan kakinya bergerak-gerak. Kami menahan tawa sekaligus rasa takut. Aku bergumam, ”Bapak Presiden, maafkan kami telah memakai gambar wajahmu untuk dibuat wayang kardus. Semoga tidak ada yang melaporkan kami ke polisi, karena kami semata-mata ingin menuruti keinginan anak agar tidak jatuh sakit. Sungguh kami tidak bermaksud menghina Bapak Presiden.”

Pagi-pagi Sariti terbangun dari tidurnya dan langsung tersenyum ceria begitu melihat di dekat bantalnya ada wayang kardus berwajah presiden. Segera digerak-gerakkan mainan itu. Aku dan suamiku menahan rasa geli bercampur cemas melihat Sariti asyik menarik-narik benang untuk menggerakg­erakkan kepala, tangan, dan kaki wayang kardus itu.

Lazimnya anak kecil yang punya mainan baru, segera Sariti berlari ke luar rumah, memamerkan wayang kardus berwajah presiden kepada anakanak tetangga.

Aku dan suamiku terkejut karena tiba-tiba mendengar anak-anak tetangga menjerit keraskeras, ”Ayah! Ibu! Cepat bikinkan wayang kardus berwajah presiden!”

Tetangga-tetangga dekat terpaksa menuruti permintaan anak masing-masing, membikin wayang kardus berwajah presiden. Mereka tidak ingin anaknya jatuh sakit atau terus menjerit-jerit.

Sepekan kemudian, kampung kami jadi terkenal karena diberitaka­n media, gara-gara semua anak suka bermain wayang kardus berwajah presiden. Mula-mula hanya ada satu wartawan yang datang meliput kerumunan anak yang sedang memainkan wayang kardus berwajah presiden, lalu bermuncula­n wartawan-wartawan lain.

Gambar maupun video tentang kerumunan anak-anak yang sedang memainkan wayang kardus berwajah presiden pun segera menjadi viral. Anak-anak di kampung-kampung lain, dari Sabang sampai Merauke, juga ikut-ikutan meminta ibu dan ayahnya untuk membuat wayang kardus berwajah presiden. Sedangkan anak-anak yang kreatif malah bisa membuatnya sendiri.

Tiba-tiba muncul isu bahwa semua anak yang suka memainkan wayang kardus berwajah presiden akan ditangkap dan ditahan aparat dengan tuduhan menghina presiden. Semua stasiun TV pun menggelar talk show untuk membahasny­a dengan mengundang pakar-pakar politik.

”Fenomena banyak anak suka memainkan wayang kardus berwajah presiden itu mungkin rekayasa politik bikinan kalangan istana untuk mendongkra­k popularita­s presiden yang nanti akan berlaga dalam pilpres,” tutur pakar politik dalam

talk show yang ditayangka­n langsung stasiun TV yang disinyalir menjadi corong kubu oposisi. Sementara itu, pakar politik yang tampil di talk

show lain yang ditayangka­n stasiun TV netral justru menduga bahwa fenomena banyak anak suka bermain wayang kardus berwajah presiden sebagai kritik pedas untuk presiden yang selama ini layak dianggap sebagai wayang belaka. Sebab, ada dalang politik yang lebih berkuasa di belakang presiden. Sedangkan stasiun TV yang disinyalir mendukung presiden menayangka­n talk show dengan menampilka­n pakar politik yang cenderung mencurigai pihak oposisi. Pakar politik itu pun bicara tegas, ”Saya sangat yakin, fenomena banyak anak suka bermain wayang berwajah presiden itu rekayasa pihak oposisi untuk menghina presiden.”

Kami semua, orang tua yang telah membikin wayang kardus berwajah presiden, sangat cemas, jangan-jangan kami akan ditangkap aparat dan dijebloska­n ke dalam tahanan dengan tuduhan telah menghina presiden.

Namun, kecemasan kami berubah menjadi kegembiraa­n setelah media menayangka­n breaking

news dari istana presiden. Tampak juru bicara kepresiden­an berdiri di depan kerumunan wartawan. Katanya, dalam waktu dekat presiden akan membuka festival nasional wayang kardus berwajah presiden yang digelar pemerintah pusat di Jakarta untuk melestarik­an mainan tradisiona­l yang sudah nyaris punah tersebut. Festival itu juga akan digelar di semua daerah, dari Sabang sampai Merauke.

Sama sekali presiden tidak marah. Presiden justru sangat bungah sehingga sampai tertawa ngakak dan terpingkal-pingkal ketika menyaksika­n rekaman video yang diunggah di media sosial tentang banyak anak bermain wayang kardus berwajah presiden yang sedang menjadi viral. Namun, kami mendadak kembali dilanda cemas karena tiba-tiba muncul isu-isu baru.

Konon, ada kelompok baru hendak melaporkan kami kepada polisi dengan tuduhan telah mengajak anak-anak bangsa untuk menyukai wayang kardus berwajah presiden yang dianggap sama dengan memuja-muja berhala alias menjadi musyrik.

Konon, kelompok baru itu gemar mencari panggung untuk meraih popularita­s dengan cara apa pun.

Konon, mereka akan membuat kegaduhank­egaduhan baru agar menjadi viral sebagai panggung mereka. Tak peduli aparat sangat kerepotan dan banyak pihak tidak nyaman atau bahkan dilanda kecemasan.

Konon, jumlah anggota kelompok baru itu terus bertambah tiap hari. Konon, mereka juga mengancam akan menggelar aksi besar-besaran di Jakarta dan kota-kota besar lain jika aparat tidak segera menangkap kami semua.

Konon, mereka juga akan merazia wayang kardus bergambar presiden yang dianggap sebagai berhala untuk dibakar atau dimusnahka­n. (*) Griya Pena Kudus, 2019

Lahir di Kudus pada 23 Oktober 1962. Banyak menulis prosa, puisi, dan esai yang dipublikas­ikan di sejumlah media.

Ingin kubungkam mulut Sariti agar tidak menjerit-jerit lagi. Tapi, aku tak tega berbuat kasar kepada anak.

 ?? ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia