Jawa yang Oportunis
DALAM tiap perhelatan sastra Jawa, ada kalimat yang kerap hadir. Samar-samar dan tak pernah ditanyakan relevansinya. Ia berbunyi: turut melestarikan sastra Jawa.
Kalimat itu bahkan memiliki cakupan yang luas di Jawa. Ia bahkan merambah pada bidang bahasa dan budaya Jawa. Mungkin karena itulah, ia seperti tak memberi kita ruang untuk bertanya: mengapa semua itu perlu dilestarikan? Benarkah semua itu butuh upaya pelestarian?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring, kata lestari diartikan sebagai seperti keadaannya semula, tidak
berubah, bertahan, dan kekal. Dengan mengacu pada hal tersebut, ketika kata lestari disematkan pada bahasa, sastra, dan budaya Jawa, sebenarnya kita tidak mengharapkan adanya perubahan lebih baik untuk Jawa. Cukuplah Jawa itu “ada”. Apakah ini salah?
Tentu tidak. Biarpun dengan semangat yang bersifat stagnan ini, kegiatankegiatan berkaitan dengan bahasa, sastra, dan budaya Jawa terus berjalan. Namun, jangan lupakan kenyataan bahwasanya semangat ini kerap berimbuhkan kekecewaan dan keluhan pada zaman yang dianggap tak peduli pada budaya Jawa. Atau pula kepada masyarakat Jawa yang dianggap mulai meninggalkan warisan leluhurnya.
Sampai di sini, rasanya perlu ditanyakan ulang mengenai kekecewaan dan keluhan macam itu. Benarkah semua itu nyata adanya? Atau kita sebetulnya hanya ikut-ikutan ketika seorang pesohor budaya menggelorakan kalimat-kalimat macam itu?
Barangkali kita memang tidak pernah berupaya memandang Jawa secara komprehensif. Bagaimana pergerakan Jawa dari abad ke abad, dari zaman ke zaman.
Dalam sastra Jawa, misalnya, ada pandangan umum mengenai surutnya sastra Jawa sejak wafatnya Ranggawarsita III. Padahal, kalau mau cermat, sastra Jawa pasca Ranggawarsita III kian berkembang. Ia yang tadinya hanya milik kerajaan kini telah menjadi milik umum.
Kita bisa mencermatinya melalui kehadiran Bramartani, yang merupakan majalah berbahasa Jawa yang pertama. Majalah itu juga didirikan Ranggawarsita III dan dikelola secara lebih lanjut oleh muridnya, Padmasusastra.
Dengan adanya Bramartani, dunia penciptaan karya sastra Jawa –yang tadinya seakan-akan hanya milik raja dan pujangga– kini juga bisa dimasuki masyarakat umum. Bahkan, melalui Bramartani, dunia kepenulisan berbahasa Jawa merambah bidang baru berupa karya jurnalistik.
Kehadiran Bramartani sendiri menjadi pemantik bagi lahirnya berbagai majalah berbahasa Jawa. Misalnya, di tahun 1933 terbitlah Panjebar Semangat, kemudian disambung pada tahun 1945 lahir Jaya
Baya. Dua majalah tersebut bahkan masih eksis hingga kini.
Di tahun-tahun itu pula lahir berbagai buku yang dikarang masyarakat umum. Baik berupa novel, antologi cerita cekak, maupun antologi geguritan. Buku-buku tersebut menyodorkan genre baru di sastra Jawa kala itu. Sebelumnya genre sastra Jawa lebih banyak berupa serat yang umumnya berisi tembang-tembang macapat.
Sastra Jawa memang senantiasa berkembang. Terus nut jaman
kelakone. Jawa memanglah adaptif terhadap perubahan zaman.
Adaptasi Jawa
Bila mau menengok lebih jauh ke belakang, kita akan mendapati kenyataan bahwa Jawa senantiasa adaptif terhadap zaman. Bentuk adaptasi yang kiranya patut untuk diapresiasi untuk kali pertama di Jawa adalah karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Dua Mahakawi itu mengadaptasi epos Mahabharata versi India ke dalam bentuk sastra Jawa zaman itu menjadi Kakawin Bharatayuddha.
Kemampuan adaptasi tersebut bahkan ditunjukkan lagi di abad ke-18, kemampuan oleh Kyai Yasadipura I. Pujangga agung dari Pajang itu menyadur beberapa karya penting sastra Jawa Kuna. Di antaranya Serat Bratayuda yang merupakan saduran dari Kakawin Baharatyuddha.
Lalu bagaimana dengan masa kini? Di zaman ini, kemampuan Jawa dalam beradaptasi juga semakin baik. Kita bisa menyaksikannya pada sejumlah karya mahasiswa Jurusan PGSD Universitas Muhammadiyah Malang di tahun 2018. Dikomandoi Danang Wijoyanto (sekarang dosen Unesa) mengadaptasi berbagai cerita cekak yang termaktub dalam antologi Kakang Kawah Adhi
Ari-Ari karya Suharmono Kasiyun menjadi sebuah film pendek yang apik.
Di tahun 2019 ini, hal serupa dilakukan sejumlah mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Unnes dengan membuat film berbahasa Jawa yang diadaptasi dari novel dan lakon drama berbahasa Jawa. Untuk film berbahasa Jawa sendiri, Unnes rutin menggelar Festival Film Berbahasa Jawa sejak 2010.
Terkait film berbahasa Jawa sendiri, hal itu bahkan sudah merambah kalangan pelajar. Hal tersebut bisa kita cermati pada SMAN 1 Tuban yang mulai mengerjakan film-film berbahasa Jawa. Karya siswa-siswa itu unik karena mengangkat cerita-cerita rakyat yang berkembang di Tuban. Kita bisa menyaksikan karya-karya mereka via
channel Riangga Priyo di YouTube.
Di luar kawasan akademik, prestasi film berbahasa Jawa juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada tahun 2016, film pendek berbahasa Jawa
Prenjak diganjar sebagai Film Pendek Terbaik di Festival Film Cannes, Prancis.
Kenyataan-kenyataan macam itu, paling tidak, hadir sebagai suatu referensi. Bahwa dari sekitar seribu tahun yang lampau hingga kini, sebetulnya Jawa sangat adaptif terhadap perubahan zaman. Dari situlah kita bisa bertanya kepada diri sendiri: benarkah Jawa masa kini benar-benar surut?
Jawa memang tidak pernah menolak untuk sekadar dilestarikan. Tetapi, ia selalu menyambut dengan terbuka siapa saja yang ingin berkembang bersamanya. (*) Purwokerto, 2019
Jefrianto, penggiat sastra Jawa, tinggal di Banyumas