Jawa Pos

Dari Kedaerahan Menuju Keindonesi­aan

- Oleh BONARI NABONENAR

JOGLITFEST (Jogja Literary Festival) atau Festival Sastra Jogja(karta) ditutup pada 30 September lalu. Berbagai acara digelar. Ada diskusi dan pasar buku, pemutaran film, pembacaan dan musikalisa­si puisi, workshop, seminar, dan obrolan (talk show). Berbagai acara itu tidak terpusat di satu lokasi, melainkan tersebar di berbagai tempat: Benteng Vredeburg, Hotel Melia Purosani, serta kampus dan sekolah. Barangkali panitia memang berniat menggemaka­n sastra di seluruh penjuru Jogja.

Joglitfest tidak hanya diikuti sastrawan Indonesia, tapi juga sastrawan dari beberapa negara. Dari Amerika hingga Afrika. Tentu ada pula sastrawan dari negeri jiran: Malaysia dan Brunei Darussalam. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para peserta dari berbagai negara itu, yang menjadikan Joglitfest terasa istimewa adalah keikutsert­aan atau diundangny­a para sastrawan Jawa.

Sastra Jawa (modern) mengalami pertumbuha­n yang sangat signifikan seiring dengan bermuncula­nnya penerbit buku indie. Kebanyakan penulis/pengarang sastra Jawa memang menerbitka­n buku karya mereka secara swadaya. Ada yang memandang hal demikian secara sinis. Tetapi, itu bukan hal buruk. Yang pasti buruk adalah terlalu tergesa ambil sikap sinis hanya dengan melihat siapa penerbitny­a dan bagaimana sebuah buku diterbitka­n.

Buku-buku karya sastra Jawa terus bermuncula­n. Bukan hanya dari para pengarang tua, tapi juga dari para pengarang muda. Bahkan, ada pula sastrawan ”Indonesia” yang kemudian tergerak untuk menulis dalam bahasa Jawa. Atau setidaknya mengalihba­hasakan karyanya yang semula berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Peran Yayasan Rancage yang setiap tahun memberikan hadiah untuk buku terbaik dalam beberapa bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa, tidak boleh diabaikan. Lalu, menyusul penghargaa­n atas buku dan naskah sastra terbaik yang juga setiap tahun diberikan oleh balai bahasa. Balai Bahasa Jawa Timur, Balai Bahasa Jawa Tengah, dan Balai Bahasa Yogyakarta memberikan penghargaa­n untuk wilayah masing-masing.

Sayangnya, semaraknya penerbitan buku sastra Jawa itu tidak dibarengi kabar gembira dari dapur media cetak berbahasa Jawa, yang kini hanya tinggal tiga: Djaka Lodang (Jogjakarta) serta Jaya Baya dan Panjebar Semangat (Surabaya). Konon, dari tahun ke tahun tiras mereka tak kunjung mengalami peningkata­n, kalau tak boleh disebut makin merosot. Itu boleh dipandang sebagai soal lain.

Kesediaan panitia Joglitfest merangkul pula para sastrawan Jawa patut diacungi jempol. Kalau boleh merasa kurang, seharusnya ada sekian banyak nama lagi dari sastra Jawa di daftar nama peserta. Tetapi, jangan lupa bahwa itu bukan Java internatio­nal

literary festival. Yang punya gawe pun Jogja. Bekerja sama dengan ”Indonesian­a”. Panitia Joglitfest sudah berjasa besar dalam hal memfasilit­asi para sastrawan Jawa untuk bisa bertemu dengan rekan-rekannya dari sastra Indonesia dan bahkan para sastrawan mancanegar­a. Itu terasa luar biasa.

Walau sekilas terkesan bahwa sastra Jawa sekadar menempel di Joglitfest 2019, sesungguhn­ya banyak acara bermuatan sastra. Ada workshop penulisan cerpen dan puisi berbahasa Jawa, pelatihan menulis carakan (abjad Jawa), pembacaan puisi Jawa (guritan), pembacaan cerpen Jawa (crita cekak). Pada acara pembukaan, saya menyaksika­n sebuah tembang macapat dari pupuh sinom Serat

Wedhatama karya KGPA Mangkunega­ra IV dibawakan dengan lagu tidak seperti biasanya. Dikreasi sedemikian rupa oleh komunitas Omah Cangkem. Terasa luar biasa, dan demikianla­h kira-kira cara yang dapat lebih menarik perhatian generasi milenial untuk melirik nilai-nilai yang terkandung dalam naskah-naskah lama.

Diam-diam, sepulang dari Jogja saya terus bertanya-tanya, berangan-angan. Dan berandai-andai. Jawa selama ini hanya ramai dengan membangun sanggar, sarasehan, kongres. Begitu-begitu saja. Bahkan, ketika di dalam urusan lain sebentar-sebentar orang membuat festival, kapan dan di mana ada festival sastra Jawa? Lalu, saya membayangk­an, atau mengangank­an, alangkah bagus bila dapat dirancang untuk tahuntahun mendatang: Festival Sastra Jawa dan Festival Sastra Daerah Nusantara. Itu bisa jadi dua agenda yang sangat seksi. Terutama yang saya sebut terakhir: Festival Sastra Daerah Nusantara.

Di tangan desainer program yang mumpuni, niscaya pertemuan kreator bahasa dari berbagai pelosok wilayah tanah air akan menjadi acara yang sangat menarik. Besar, gagah, dan menginspir­asi. Biayanya pasti juga besar. Tetapi, jika kita bisa menyadari faedahnya, tentu tidak akan merasa keberatan. Juga, jika kelak ada Festival Sastra Jawa, Festival Sastra Madura, Festival Sastra Minangkaba­u/Batak, Festival Sastra Sasak, dan lain-lain, tidak lagi akan dipandang sebagai menyuburka­n primordial­isme ketika semua itu adalah semacam persiapan menuju acara puncak: Festival Sastra Daerah Nusantara. Acara yang justru meneguhkan keindonesi­aan. Melalui atau dengan sarana nilai-nilai kedaerahan.

Hari gini masih mau mengelus-elus kedaerahan? Bukankah situasi terkini menuntut semua anak bangsa untuk berpikir dan bertindak untuk keindonesi­aan? Nah, itu dia! Justru di situlah saya melihat nilai strategis Festival Sastra Daerah Nusantara sebagai sarana untuk ikut merajut kembali keindonesi­aan kita. Jika Dirjen Kebudayaan yang sekarang belum punya pandangan demikian, mungkin memang kita (sangat) memerlukan kementeria­n kebudayaan yang tidak sekadar menempel di ”Pendidikan” dan apalagi di ”Kepariwisa­taan”. (*)

Bonari Nabonenar, peserta Joglitfest 2019, pernah menggelar Festival Sastra Jawa dan Desa (Trenggalek, 2009)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia