Memahami Ancaman Dunia Pertahanan di Era 4.0
Untuk memahami musuh-musuh tak terlihat, infrastruktur militer Indonesia kini mau tidak mau harus didukung dengan teknologi Internet of Things (IoT) dan teknologi Big Data.
UNIVERSITAS Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Jumat dua pekan lalu (20/9) memberikan gelar doktor honoris causa (HC) kepada Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Gelar kehormatan tersebut diberikan dalam bidang manajemen sumber daya manusia (SDM).
Dalam pidatonya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa kecepatan perubahan semakin meningkat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan teknologi komputer, rekayasa sudah menyentuh inti atom dalam fisika dan genetika dalam biologi. Karena itu, personel TNI juga harus melek teknologi dalam menghadapi modernisasi alutsista pertahanan negara.
Apa yang disampaikan Panglima TNI di atas merupakan fakta-fakta yang tidak bisa kita hindari hari ini. Revolusi Industri 4.0 telah membuat dunia semakin sempit. Ruang komunikasi dan interaksi antarmanusia dari berbagai ujung dunia kian tanpa batas.
Revolusi Industri 4.0 telah mendisrupsi secara radikal berbagai bidang. Salah satunya disrupsi pada teknik digital profiling yang dalam perkembangannya sudah mengarah pada aspek politik maupun pertahanan dan keamanan. Jika dulu dikenal dengan istilah
hard power dan soft power, di era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan hadirnya teknologi komputer dan informasi yang mampu mengaplikasikan rekayasa intelijen (artificial
inteligent) dan Internet of Things (IoT), muncul istilah baru bernama smart power.
Hard power adalah instrumen kekuatan diplomasi, ekonomi dan militer, dan bahkan informasi yang berorientasi untuk mendorong lawan untuk bereaksi. Contoh sederhananya adalah sanksi ekonomi yang diterapkan Amerika Serikat terhadap Korea Utara untuk memaksa pemerintahnya menghentikan program nuklir (hlm 127).
Sedangkan strategi soft power adalah memanipulasi agenda lawan, melakukan persuasi, ataupun menggunakan daya tarik positif yang dimiliki untuk menarik lawan keluar dari preferensinya. Contoh sederhananya adalah dibanjirinya dunia perfilman global oleh film-film Hollywood yang bernuansa heroisme Amerika Serikat. Film semisal
Rambo atau Missing in Action, Hamburger Hill, dan berbagai film senada lainnya (hlm 128).
Betapa ancaman dunia pertahanan suatu negara sudah berbeda pola dan bentuknya. Tentu masih banyak lagi ancaman-ancaman yang kini polanya makin tak terlihat.
Sebab, Revolusi Industri 4.0 secara mendasar telah mengakibatkan perubahan cara berpikir manusia, cara hidup, dan cara berhubungan satu sama lain. Era ini tidak saja mendisrupsi aktivitas kehidupan manusia dalam bidang ekonomi, politik,
sosial budaya, namun juga dunia pertahanan negara.
Karena itu, kehadiran buku Memahami Kekinian: Perkembangan Lingkungan Strategis
dan Nasionalisme karya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto ini sangat relevan dengan situasi kekinian. Buku tersebut menunjukkan bahwa sosok Panglima TNI adalah orang yang mampu melihat gerak zaman yang kian pesat dan di dalamnya terkandung bermacam permasalahan yang amat kompleks.
Panglima TNI, melalui karyanya itu, ingin mengatakan bahwa kehadiran Revolusi Industri 4.0 harus menjadi cambuk untuk terus meningkatkan tingkat kesiapan operasional militer. Kemajuan dalam teknologi Industri 4.0 harus menjadi peluang, bukan justru menjadi ancaman bagi TNI.
Untuk memahami musuhmusuh tak terlihat, infrastruktur militer Indonesia kini mau tidak mau harus didukung dengan teknologi Internet of Things (IoT) dan teknologi Big Data. Jika kini pasukan pertahanan Amerika Serikat mampu meningkatkan kesiapan mereka berkat teknologi Industri 4.0, upaya keras TNI untuk melakukan modernisasi TNI harus didukung penuh.
Alutsista TNI harus terus dikembangkan menjadi berbasis teknologi digital. Sekarang setiap orang dan setiap pasukan TNI mutlak harus terhubung dengan internet satu sama lain. Keniscayaan pembaruan alutsista perlu dilakukan mengingat jenis teknologi yang menjadi pilar Revolusi Industri 4.0 semakin bergerak cepat.
Karena seperti dikatakan Presiden Joko Widodo bahwa di era Revolusi Industri 4.0 seperti sekarang ini, bukan negara besar menguasai negara kecil, namun negara cepat menguasai negara lambat. (*)