Muluskan Suap, tapi Tidak Ikut Menikmati
Mantan Dirut PLN Dituntut Jaksa 5 Tahun Penjara
JAKARTA, Jawa Pos – Jaksa penuntut umum KPK meminta hakim menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Sofyan Basir. Mantan direktur utama PLN tersebut dinilai terbukti memuluskan terjadinya suap dalam kasus proyek PLTU Riau-1
Jaksa menyatakan bahwa Sofyan melanggar pasal 12A jo pasal 15 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). ”Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama lima tahun,” kata jaksa KPK Ronald Worotikan dalam pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin (7/10).
Selain pidana penjara, jaksa menuntut hukuman denda Rp 200 juta subsider pidana kurungan pengganti selama tiga bulan. Dalam sidang kemarin, jaksa juga memaparkan sejumlah hasil pemeriksaan selama proses sidang. Berkas tuntutan setebal 647 halaman tidak dibaca seluruhnya. Jaksa berfokus pada analisis yuridis dan pemeriksaan saksi serta ahli.
Hasil pemeriksaan menunjukkan keterlibatan Sofyan dalam memperkenalkan pengusaha Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo dengan Eni Maulani Saragih (saat itu menjabat ketua Komisi VII DPR) dan Idrus Marham (mantan Sekjen Partai Golkar). Pertemuan ketiganya berlangsung beberapa kali.
Di antaranya, sesuai kesaksian Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso yang dibacakan, ada pertemuan Sofyan dengan Eni dan Kotjo di ruang kerja Sofyan untuk membahas mekanisme pembangunan independent power producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU MT) Riau-1 pada 2017.
Pada tahun yang sama, Sofyan kembali bertemu Eni dan Kotjo untuk menjelaskan bahwa Kotjo akan menerima proyek pembangunan pembangkit listrik dengan skema penunjukan langsung. Supangkat menjelaskan adanya permintaan Sofyan agar dirinya mengurus proposal yang diajukan Kotjo untuk proyek PLTU Riau-1.
Jaksa menyebutkan bahwa terdakwa mengarahkan Nicke Widyawati –saat itu menjabat direktur perencanaan PLN– untuk menindaklanjuti permintaan Eni dan Kotjo. Sehingga PLTU Riau-1 akhirnya masuk rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN.
Jaksa menyatakan bahwa tuntutan tersebut sudah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Di antaranya, Sofyan dianggap melanggar komitmen sebagai aparatur negara untuk melaksanakan program pemberantasan korupsi. Hal yang meringankan, Sofyan dinilai berlaku sopan selama proses hukum, belum pernah menjalani hukuman, dan tidak ikut menikmati hasil tindak pidana suap yang dibantunya.
Menanggapi tuntutan tersebut, pihak Sofyan meminta waktu dua pekan untuk mengajukan pembelaan (pleidoi). Pembelaan secara resmi akan disampaikan pada 21 Oktober 2019.
Pengacara Sofyan, Soesilo Aribowo, menyatakan, ada sejumlah kejanggalan dalam penyampaian berkas sebagai dasar tuntutan jaksa. Menurut dia, tidak ada pernyataan dalam berkas tuntutan yang menyebut Eni atau Kotjo pernah membenarkan keterangan bahwa Sofyan membantu memuluskan suap.
”Kehadiran Sofyan sebenarnya tidak ada kausalitasnya dengan pemberian uang kepada Eni dari Kotjo. Itu adalah komitmen Eni dengan Kotjo ketika di rumah Setya Novanto, baru kemudian kenal dengan Sofyan. Membantunya di mana?” cetusnya.
Soesilo membenarkan pernyataan jaksa soal terdakwa yang tidak menikmati hasil suap. ”Persoalan Pak Sofyan menerima uang dan janji itu sudah dibantah.”
Tuntutan penjara lima tahun itu juga dirasa terlalu berat. Sofyan menyatakan, ada keanehan dan dugaan kriminalisasi atas dirinya. Dia juga menyayangkan pengenaan pasal pembantuan yang bisa menjerat setiap direksi BUMN lainnya.
”Kalau semua pertemuan diputarbalikkan menjadi sebuah perbantuan, berbahaya. Kita kan sering bertemu dalam rangka marketing dan investasi tanpa tahu asal usulnya (adanya komitmen suap, Red),” ucap Sofyan.