Masih Ada Dana Pilkada yang Buntu
Kemendagri Minta 14 Oktober Deal 100 Persen
JAKARTA, Jawa Pos – Deadline penandatanganan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) sudah lewat seminggu. Sayangnya, belum ada tanda-tanda bahwa problem penganggaran pilkada 2020 bakal tuntas 100 persen. Kemendagri pun meminta pemda dan penyelenggara pilkada segera bersepakat. Targetnya, sepekan lagi problem tersebut bisa tuntas 100 persen.
Hingga kemarin masih ada 61 daerah yang belum sepakat soal dana yang harus dianggarkan untuk KPU maupun Bawaslu. Alhasil, Kemendagri turun tangan menengahi agar masing-masing pihak bisa bersepakat. Khususnya soal nilai anggaran penyelenggaraan pilkada yang memang naik dibandingkan lima tahun silam.
Kemarin Kemendagri mengumpulkan 600 perwakilan pemda dan penyelenggara pemilu yang belum menandatangani NPHD. Pertemuan dilakukan di Kemendagri dalam sistem panel dan desk.
Pertemuan diawali rapat umum bersama ketua KPU dan Bawaslu, Dirjen Bina Keuangan Daerah, dan stakeholder kepemiluan lain. Selanjutnya, masing-masing pemda dan penyelenggara pemilu berkumpul per daerah untuk membahas anggaran pilkada 2020. Baik untuk merasionalisasi anggaran yang diusulkan maupun mencari celah anggaran di pos-pos APBD untuk dialihkan ke penyelenggaraan pilkada. Kemendagri meminta agar NPHD bisa ditandatangani maksimal 14 Oktober.
Ketua KPU Arief Budiman mengakui, anggaran untuk pilkada 2020 memang lebih besar ketimbang 2015. Sebab, ada sejumlah komponen yang nilainya naik. Termasuk kenaikan honor penyelenggara ad hoc.
Masalahnya, penetapan menteri keuangan tentang standar honorarium untuk KPU tidak kunjung keluar. Padahal, standar biaya untuk Bawaslu sudah keluar. Itu cukup menyulitkan saat usulan yang diajukan KPU tidak bisa langsung disetujui dalam pembahasan dengan pemda.
Dalam usulan ke Kemenkeu, KPU mengusulkan honor anggota panitia pemilihan kecamatan Rp 2,64 juta. Untuk anggota panitia pemungutan suara di kelurahan Rp 1,614 juta, sedangkan anggota KPPS Rp 1,11 juta. Sementara itu, ketua penyelenggara ad hoc masing-masing lebih besar Rp 100–150 ribu ketimbang anggota. Usulan tersebut masih
nyantol di Kemenkeu hingga sekarang. Yang Jelas, Arief meminta agar honor penyelenggara ad hoc tidak lebih rendah jika dibandingkan dengan pengawas. ”Kalau lebih rendah, nanti tidak ada yang mau menjadi penyelenggara,’’ ucap mantan anggota KPU Jatim itu.
Secara umum, ada sejumlah kendala dalam penyusunan NPHD bersama pemda. Ratarata belum terjadi kesepakatan angka antara pemerintah daerah dan penyelenggara pemilu. Namun, ada juga pemda yang beralasan APBD minim, sementara kebutuhan anggaran pilkada cukup besar.
Keluhan lainnya, penyelenggara pemilu terlalu saklek dengan anggaran dan tidak mau dirasionalisasi. Misalnya, ada daerah yang masih menetapkan TPS dengan jumlah sama dengan Pemilu 2019. Padahal, untuk pilkada tentu jumlah TPS bisa lebih sedikit karena kapasitasnya dibuat lebih besar daripada Pemilu 2019.
Menanggapi hal tersebut, Arief mempersilakan bila daerah hendak mengoreksi anggaran sepanjang masih rasional. Namun, bila memang tidak bisa dirasionalkan, dia berharap pemda juga bisa memahami. ’’Kalau ada yang masih menggunakan asumsi per TPS 300, itu bagian yang bisa dirasionalisasi,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Abhan mengeluhkan pembedaan perlakuan antara lembaganya dan KPU. Ketika untuk KPU sudah ada 209 daerah yang deal, pada saat yang sama Bawaslu baru 163 daerah. ’’Kalau satu daerah selesai tanda tangan NPHD dengan KPU, idealnya Bawaslu juga selesai,’’ tuturnya.
Abhan menuturkan, ada beberapa alasan daerah tidak kunjung deal dengan Bawaslu. Salah satunya soal standar biaya. Menurut dia, angka yang diajukan Bawaslu bukan permintaan sepihak, tetapi berdasar standar yang ditetapkan Kemenkeu. Problem lainnya adalah keputusan sepihak dari pemda soal anggaran pengawasan. ’’Pokoknya, Bawaslu saya kasih sekian,’’ lanjutnya.
Salah satu perbedaan antara pengawasan pilkada 2015 dan 2020 adalah adanya pengawas TPS. Pada pilkada 2015, belum ada pengawas TPS. Untuk panwascam dan panitia pengawas lapangan di kelurahan, pihaknya bisa berhitung sejak awal. ’’Pengawas TPS bergantung pada KPU. Kalau KPU menetapkan jumlah TPS 500, pengawasnya juga 500 orang,’’ tambahnya.