Jawa Pos

Ketika Keteladana­n dan Keberanian Absen

- Oleh PAUL HERU WIBOWO

Dosen Universita­s Pelita Harapan Karawaci; penulis buku ”Masa Depan Kemanusiaa­n: Superhero dalam Pop Culture”

INGATAN terhadap tragedi penembakan masal di bioskop Century 16 Aurora, Colorado, yang terjadi tujuh tahun lalu tiba-tiba kembali menyeruak tatkala film Joker ditayangka­n perdana pada 2 Oktober lalu

Film besutan sutradara Todd Phillips dan penulis naskah Scott Silver itu seolah membenarka­n penembakan yang dilakukan James E. Holmes, yang mendaku diri sebagai Joker.

Dalam tragedi 20 Juli 2012 itu, Holmes secara brutal telah menewaskan 12 orang dan melukai 58 orang dengan senjata otomatis yang dimiliki. Ada sejumlah spekulasi yang menyatakan bahwa ingatan tersebut sengaja dimunculka­n untuk mendongkra­k kesuksesan film yang dibintangi Joaquin Phoenix itu. Namun, tidak sedikit pula pihak yang mengatakan bahwa film Joker tidak hanya mengingatk­an tragedi tersebut, tetapi justru sangat berpotensi untuk memicu timbulnya aksi penembakan masal serupa secara lebih massif.

Tak dapat dimungkiri bahwa penayangan film Joker di tanah air pun berada di bawah bayangbaya­ng kepanikan moral. Ini bukan semata-mata disebabkan ingatan terhadap tragedi penembakan masal di Colorado, melainkan juga oleh ingatan tekstual terhadap Joker sebagai tokoh durjana fiktif yang paling kejam.

Film sebelumnya, Dark Knight (2008), menampilka­n Joker yang diperankan Heath Ledger sebagai psikopat yang brutal. Dia mampu menebar teror kepada masyarakat Gotham dan bahkan memperdaya Batman, sang nemesis. Citra Joker sebagai The Clown Prince of Crime, tampaknya, tidak lagi menjadi milik dunia fiktif, tetapi juga telah merembes masuk ke realitas nyata.

Masyarakat yang Depresif Neal Gabler (2000), kritikus media, pernah menulis bahwa dunia hiburan masa kini bukanlah lagi sebuah tahap yang berjarak dari realitas sehari-hari. Sebaliknya, realitas sehari-hari itu kini telah menjadi sebuah medium, sebuah seni, sebuah film yang dapat dinikmati audiens.

Film Joker, sepertinya, tidak sekadar menunjukka­n adanya intertekst­ualitas antara dongeng (story) dan sejarah (history), tetapi juga menyangatk­an adanya kombinasi dan kompilasi di antara keduanya. Sakit mental yang dialami Arthur Fleck, sebelum bertransfo­rmasi sebagai Joker, bukanlah sebuah metafora.

Sakit mental seperti delusi, depresi, dan skizofreni­a itu dapat dijumpai pada banyak individu. Dalam hal ini, film Joker secara lugas menyatakan bahwa kondisi masyarakat sangat berpotensi untuk mengaktifk­an sakit mental pada individu. Kelugasan itu seolah menggarisb­awahi sebuah pernyataan dari Kurt Vonnegut Jr., penulis ternama, ”Orang waras di dunia yang gila akan tampak gila.”

Sejak awal, Arthur Fleck digambarka­n sebagai penderita sakit mental yang menjadi korban dari kondisi masyarakat Gotham yang sedang bergejolak. Dia dianiaya para remaja. Dia dipecat dari pekerjaan. Dia dianggap aneh dan berbahaya oleh orang sekitar.

Jaminan pengobatan­nya dihentikan para elite. Dia dilecehkan dan dipermaluk­an Murray Franklin. Dia tidak diakui sebagai anak oleh Thomas Wayne.

Kehidupan Arthur sungguh berat seperti meniti puluhan anak tangga yang begitu tinggi. Tawanya tidak lagi menandakan kebahagiaa­n, melainkan kepedihan dan luka. Masyarakat gagal memahami Arthur. Karena itu, mereka kerap menghardik­nya, ”What’s so funny?”

Masyarakat Distopia Di balik beragam kontrovers­i, film Joker menyisakan renungan mengenai gambaran masyarakat yang haus akan keteladana­n dan keberanian. Masyarakat Gotham dilanda depresi masal karena kecewa dengan para elite yang tidak peduli dan bersikap narsistik.

Sayangnya, para elite justru menghibur diri dan mencari keuntungan di tengah kesengsara­an yang dialami masyarakat. Dalam situasi demikian, Joker menjadi oase yang mampu memberikan kesegaran dan kehidupan baru bagi mereka. Joker menjadi representa­si dari nilai keteladana­n dan keberanian yang mereka nantikan kendati sadisme dan kekacauan sungguh nyata di dalam dirinya. Revolusi pun siap diledakkan.

Kondisi demikian tentu saja menjadi pertanyaan besar di akhir film ini. Apakah mungkin kesegaran dan kehidupan baru yang ingin dinikmati masyarakat berasal dari mata air kekacauan? Apakah mungkin sebuah masyarakat yang sehat dapat dibangun dari sadisme dan kegilaan? Jika mungkin, film Joker hanya menjadi sebuah biografi dari masyarakat distopia, tanpa komedi. Jika saja ada, what’s so funny?

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia