Desa Nglanggeran Produksi Cokelat
PRODUK unggulan kawasan pedesaan (prukades) milik Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Jogjakarta, terbukti mampu mengentaskan kemiskinan masyarakat setempat. Desa yang sebagian masyarakatnya bekerja sebagai petani kakao tersebut mampu mengolah kakao atau cokelat mulai hulu sampai hilir.
Kepala Desa Nglanggeran Senen mengungkapkan, hampir seluruh masyarakat di desa tersebut terlibat dalam pengembangan tanaman kakao. ’’Karena banyaknya jumlah masyarakat yang ikut menanam kakao, kami bagi dalam lima kelompok,’’ ujar Senen saat dihubungi Senin (7/10).
Pada 1991, Desa Nglanggeran mendapat bantuan bibit kakao dari pemerintah sehingga seluruh masyarakat menanamnya. Namun, produksi melimpah pada masa panen raya. Akibatnya, harga kakao rendah. Terlebih, beberapa tengkulak mempermainkan harga. Hal itu membuat masyarakat kecewa dan sebagian menebang pohon kakao.
Sebagai solusinya, pada 2010 muncul ide dari kelompok Purbarasa (kelompok kuliner masyarakat) yang dibentuk kelompok sadar wisata (pokdarwis) untuk mengolah biji kakao menjadi cokelat. Hingga kini, produksi cokelat terus berkembang. ’’Budi daya kakao ini terbukti mampu mendongkrak ekonomi masyarakat desa,’’ ungkap Senen.
Di Desa Nglanggeran, terdapat 65 hektare tanaman kakao. Masyarakat setiap bulan panen kakao hingga 3–5 ton. Sebanyak 30 persennya diolah di Desa Nglanggeran. Biji kakao kering yang awalnya dijual Rp 20 ribu per kg sekarang bisa dijual Rp 250 ribu per kg. ’’Cokelat diproduksi dengan berbagai varian. Pemasarannya melalui Griya Cokelat,’’ kata Senen.
Manajer Griya Cokelat Sugeng Handoko menambahkan, pengembangan kakao menjadi cokelat telah menjadi produk unggulan masyarakat Desa Nglanggeran. ’’Dari hulu sampai hilir, semua bisa dilakukan masyarakat setempat,’’ tuturnya.
Masyarakat Nglanggeran ingin mematahkan pandangan masyarakat luas bahwa kakao tidak hanya bisa diolah perusahaan besar atau orang asing.