Polemik Praktik Warga Negara
Buku ini menunjukkan, tidak adanya persamaan konsepsi mengenai warga negara menimbulkan masalah di arus bawah.
Siapakah Orang Indonesia Asli? Di buku Praktik Kewarganegaraan Indonesia (2019), Bambang Purwanto (BP) melacak genealogi terbentuknya warga negara Indonesia. Selama prosesnya, warga negara menjadi perebutan antara mereka yang berpandangan inklusif dan eksklusif.
Sebagai sejarawan, BP merunut proses tersebut sejak pemerintahan Hindia Belanda yang mengonstruksi tiga golongan: Eropa, Timur asing, dan pribumi. Kemerdekaan menempatkan kaum pribumi sebagai orang yang berhak mewakili sebagai warga negara yang sah. Sedangkan keturunan Timur asing seperti Arab, China, dan peranakan dianggap tidak sepenuhnya warga negara.
Budi Utomo (1908) dan Perserikatan Minahasa (1912) adalah contoh gerakan eksklusif yang tidak menerima anggota di luar ikatan primordial mereka. Bahkan, Sarekat Islam tidak menerima anggota yang bukan pemeluk Islam. Meskipun uniknya, berbagai bukti menunjukkan bahwa orang Tionghoa yang mencetak berbagai pamflet dan dokumen resmi SI. Juga, menjadi redaktur surat kabar SI (halaman 27–29).
Kaum pribumi merasa dirinyalah yang paling menjadi korban dalam sistem kolonial. Padahal, kemerdekaan juga diperjuangkan oleh kelompok peranakan seperti E.F.E. Douwes Dekker, pendiri Indische Partij, dan Liem Koen Hian, pendiri Partai Tionghoa Indonesia (halaman 44–47 dan 79). Namun, peran peranakan tersebut dicampakkan ketika Indonesia merdeka dan mereka dianggap tidak mempunyai hak warga negara sepenuhnya.
Perdebatan siapakah yang disebut warga negara Indonesia dan seperti apa dasar negara Indonesia terus mewarnai rentetan persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI hingga PPKI). BP menengarai, salah satu faktor eksklusivisme warga negara berlanjut hingga pascakolonial.
Sebab, para pendiri bangsa tidak mencapai kesepakatan bersama siapa yang dimaksud dengan ”orang Indonesia”. Dan, kapan istilah ”asli” harus berhenti digunakan karena secara politik dapat membahayakan kaum minoritas yang dianggap bukan asli (halaman 53).
Mengapa Buku Ini Penting? Buku ini menunjukkan, tidak adanya persamaan konsepsi mengenai warga negara menimbulkan masalah di arus bawah. Masyarakat akar rumput membentuk gerakan kelompok sipil populis, gerakan adat, dan gerakan paramiliter keagamaan untuk menuntut hak-hak mereka.
Pasca-Orde Baru yang otoriter, kita sekarang berada di bawah rezim mayoritarian. Mayoritarianisme tidak dipegang satu orang, melainkan dikuasai oleh mereka yang berjumlah banyak.
Ironisnya, saat ini mayoritarianisme lebih dari meminta untuk diakui (to be recognized). Ia berupaya melakukan anihilisasi atau menekan identitas minoritas lainnya untuk dihilangkan. Era desentralisasi menunjukkan bahwa orang berebut klaim tentang yang paling asli, pribumi dan putra daerah.
Definisi itu tentu menendang mereka yang dianggap pendatang meski samasama warga negara Indonesia. Di banyak tempat, masyarakat tempatan atau lokal menganggap etnis tertentu sebagai pendatang atau ”bukan orang asli”.
Sebagai sejarawan, BP memberi contoh bahwa isu kewarganegaraan yang belum selesai sejak masa kolonial terwarisi hingga saat ini di ranah politik. Wacana tentang boleh atau tidaknya pemimpin nonmuslim muncul tatkala ada seorang minoritas nonmuslim mengajukan diri sebagai pemimpin di mayoritas muslim.
Buku ini menegaskan bahwa perubahan terbesar dari yang diperjuangkan oleh proklamasi kemerdekaan adalah perubahan dari status ”hamba jajahan” menjadi ”warga negara”. Namun, yang menarik, muasal kata ”hamba jajahan” atau dalam bahasa Belanda inlander yang disematkan oleh pemerintah Belanda terhadap orang-orang pribumi. Yakni, orang bukan warga negara dan tinggal di sebuah koloni yang dikuasai orang asing.
Uniknya, saat ini orang Indonesia justru bangga menggunakan istilah ”pribumi”. Padahal, istilah itu mengacu pada hamba jajahan.
Ironisnya, istilah ”pribumi” saat ini terkadang jauh lebih tinggi posisinya dibanding ”warga negara”. Sebagai seorang antropolog, saya dapat melihat benang merahnya.
Saat ini kita menyaksikan betapa orang Bugis dan Makassar, Toraja di Papua, orang Buton di Maluku, orang Madura di Kalimantan, serta orang Jawa di Sumatera dan Papua didudukkan sebagai pendatang yang lebih rendah daripada orang asli atau pribumi. Padahal, mereka juga warga negara Indonesia. Sedangkan orang asli dengan bangga menggunakan istilah ”pribumi” untuk menetapkan identitas mereka.
Buku ini memberikan refleksi kepada kita tentang siapa yang berhak mendapatkan hak sebagai warga negara sepenuhnya dari persepsi negara, siapa yang berhak mendapatkan hak warga negara lebih dari lainnya, dan seperti apa aturan mainnya.
Bagaimana kita mengatur hak-hak minoritas maupun pendatang di hadapan masyarakat asli dengan sekaligus mempertimbangkan keadilan dalam mengakses sumber daya ekonomi dan politik? Itu adalah pertanyaan rumah kita yang belum sepenuhnya dirumuskan. (*)