Pendidikan Wirausaha Adalah Kunci
Sebab, anak-anak nanti setelah lulus rata-rata mencari pekerjaan. Nah, mencari pekerjaan itulah yang harus dikurangi. Bagaimana caranya? Ya lewat sekolah. Karena itu, pemerintah giat meningkatkan SDM. Tidak heran jika tema yang diangkat nasional adalah SDM Unggul, Indonesia Maju. Mewujudkan itu lewat apa? Pendidikan dan kesehatan. Jadi, cerdas dan sehat. Nanti berdaya saing. Salah satu kemampuan teknisnya ialah bisa mengoptimalkan pendidikan prakarya. Sekarang banyak perusahaan yang tutup. Di Jawa Barat baru saja sepuluh perusahaan tutup karena tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri. Sini memproduksi. Ternyata dari luar lebih bagus dan lebih murah.
Industri baja juga tutup. Ternyata, harga baja dari Tiongkok dan Vietnam 40 persen lebih murah daripada baja Indonesia. Belum lagi industri lain. Masih lumayan kalau tutup di Sidoarjo, lalu pindah ke Nganjuk atau daerah lain. Di sana UMK lebih murah.
Namun, bagaimana kalau tutup dan pindah ke Vietnam dan Laos? Karena di sana lebih murah, orangnya produktif. Padahal, 10 dan 20 tahun yang akan datang populasi usia produktif meningkat drastis.
Saat usia produktif meningkat, pabrik di Indonesia justru tutup karena tidak mampu bersaing. Makanya, anak-anak jangan diharapkan mencari pekerjaan.
Karena itu, pendidikan prakarya bisa jadi salah satu yang utama supaya anak-anak minimal bisa mandiri. Pendidikan prakarya tidak sederhana. Pertama, pendidikan jiwa kewirausahaan. Itu berarti harus diajarkan dari PAUD sampai perguruan tinggi.
Diajarkan kemampuan agar bisa mandiri, ulet, pandai berkomunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, pandai memecahkan masalah, pandai bergaul, bisa memasarkan produk, bisa menggunakan IT, bisa menghitung berapa belanja, dan lainnya.
Kedua, pendidikan proyek kewirausahaan. Harus ada proyek kewirausahaan. Anak-anak harus diberi pembelajaran yang menghasilkan produk barang atau jasa. Bisa di intrakurikuler atau lainnya.
Kalau sudah diajari dan mempraktikkan cara membuat produk, jangan hanya itu. Dilatih juga bagaimana mencari bahan baku. Kalau sudah tahu, belajar lagi untuk cari bahan baku mana yang terbaik dan termurah. Dari situ, proses belajarnya sudah beragam.
Saya pernah bertemu anak-anak yang menabung untuk keliling Asia Tenggara. Dia mencari barang yang murah. Di sana tekstil murah, di sini tiga kali lipat. Di sini Rp 150 ribu, sedangkan di sana cuma Rp 50 ribu. Dia berangkat dengan membawa koper besar. Hasilnya dijual online di sini dan laku keras.
Waktu berangkat juga tidak dengan tangan kosong. Dia bawa apa yang murah di sini dan laku di sana. Contohnya, daun pisang. Itu di Jepang muahaaal. Satu lembar bisa Rp 200 ribu. Nah, anak-anak diajari seperti itu lho. Bagaimana mencari peluang. Baik di dalam negeri maupun luar negeri. Wawasannya harus banyak.
Ke Jepang bawa daun pisang dan daun Jati. Pulang bawa yang murah dari sana. Misalnya, pakaian. Ke sana bawa bekal makanan biar hemat. ’’Hitungannya jelas. Tiket berapa. Jadinya untung. Pembelajaran seperti itulah yang diterapkan. Sehingga nanti setelah lulus sudah punya usaha. Siswa tahu bagaimana membuat, mengelola, menghitung, mengemas, menjual, dan sebagainya. Menciptakan peluang kerja, tidak mencari kerja, apalagi menganggur.