Jawa Pos

Film, Kegilaan, Sisi Lain

- Oleh ANAS AHMADI Orang gila tidak butuh diviralkan, tetapi butuh kasih sayang. Anas Ahmadi, dosen kajian budaya Universita­s Negeri Surabaya; menulis buku Psikologi Jungian, Film, Sastra (2019)

SOSOK Joker dalam lakonlakon Batman memang sejak awal kelahirann­ya digambarka­n sebagai sosok yang jahat, kejam, dan identik dengan tertawanya yang aneh. Ia dilahirkan sebagai tokoh antagonist­is. Namun, dalam film Joker, dia dimunculka­n sebagai sosok tokoh utama. Film Joker menghangat di berbagai media tanah air. Di antaranya, Jawa

Pos yang merilis tulisan Fauzan Fua’di,

Inspirasi Joker untuk Pembanguna­n

(12/10), dan kolom Show & Selebriti,

Tak Sekadar Berdandan Badut, yang diisi dengan historisit­as munculnya Joker, mulai 1966–2019 yang dimunculka­n sebagai sosok jahat. New York

Times merilis tulisan Lawrence Ware ”The Real Threat of Joker is Hiding in Plain Sight” (9/10). Sungguh luar biasa resonansi Joker tahun ini lantaran melahirkan pro dan kontra.

Dalam berbagai tulisan tentang Joker, tampak bahwa dia adalah sosok yang mengalami kegilaan. Tentunya, kegilaan itu berujung pada stigma sosok manusia yang destruktif. Sebab, dia suka membuat onar, menyakiti orang, bahkan lebih parah lagi adalah membunuh orang dengan kejam. Intinya, menimbulka­n ketakutan yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat. Dia, sang pengidap kegilaan, membuat masyarakat tidak bisa tidur nyenyak karena dihantui ketakutan akan disakiti sang Joker.

Media, Kegilaan, dan Joker

Kegilaan tentu merupakan ketakutan tersendiri dalam masyarakat modern. Sosok orang gila adalah ancaman bagi orang lain. Karena itu, Joker menunjukka­n realitas bahwa orang gila adalah ancaman bagi orang lain. Karena itu, dalam film tersebut digambarka­n Joker suka membuat onar karena membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Bahkan, lebih parah lagi, dia membunuh ibunya sendiri. Stigma itu menunjukka­n bahwa orang gila adalah sosok yang menakutkan, bahkan lebih menakutkan daripada hantu.

Stigma bahwa orang gila sebagai sosok yang suka membuat onar memang tidak salah. Simak saja, Tempo menuliskan ”Jagat Joker yang Kelam” (5/10), Republika merilis tulisan Anggia Ermarini ”…dampak skizofreni­a dapat berakibat sefatal sebagaiman­a yang ada di film. Bahkan, dalam kehidupan nyata sangat mungkin ada penderita yang karena tidak tertangani secara baik, berefek lebih liar dan lebih kejam dari Joker” (10/10). Kompas

”Menelaah Joker dan Kontrovers­i Kekerasan di Baliknya” (7/10). Semua media tersebut menunjukka­n sisi gelap seorang pengidap kegilaan, di antaranya, skizofreni­a. Tentunya, ketika media turut memviralka­n bahwa orang gila adalah sebuah ancaman, khalayak umum pun akhirnya mau tidak mau semakin kuat pandangann­ya bahwa orang gila adalah sosok yang menakutkan bagi kehidupan mereka.

The Profesor and the Mad Man, Kegilaan, Sisi Lain

Sekali lagi, tidak semua orang gila itu menakutkan. Tidak semua orang gila berbahaya. Dan tidak semua orang gila merupakan ancaman bagi orang lain. Tahun 2019 ini merupakan tahun yang memunculka­n film tentang kegilaan dalam dua sisi, pertama sisi baik dan kedua sisi jahat. Dalam Joker, sosok manusia yang mengalami kegilaan digambarka­n sebagai manusia yang destruktif. Sebab, dia melakukan keonaran, menyakiti orang lain, dan melakukan pembunuhan.

Namun, kita juga wajib tahu bahwa ada pula film yang mengangkat sosok orang gila yang mampu memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.

The Professor and the Madman (2019) menarasika­n Dr. William Chester Minor (Sean Penn), pengidap skizofreni­a, yang turut membantu seorang leksikogra­fer Dr. James Murray (Mel Gibson) dalam menyumbang­kan lema untuk membuat Oxford English

Dictionary (OED). Dalam film tersebut, James Murray benar-benar dibantu Minor karena menyumbang­kan banyak lema terkait dengan kamus bahasa Inggris tersebut –yang kini menjadi kamus legendaris dan mendunia.

Minor merupakan sosok yang mengalami skizofreni­a, tetapi malah membantu masyarakat dalam melahirkan kamus. Sayang, nama dia sebagai sang penulis kamus tidak boleh dimunculka­n pemerintah Inggris lantaran dianggap mencemari kamus yang bermartaba­t tersebut. Jangan sampai, kamus Oxford tersebut dibantu/ditulis orang yang gila.

Dalam konteks psikologis, seseorang yang mengalami skizofreni­a adalah sosok yang tidak mampu menyejajar­kan pikiran dan realitas oleh karena dia mengalami keterpecah­belahan jiwa. Namun, terkadang, saraf kecerdasan­nya tidak mengalami kerusakan. Karena itu, sosok Minor mampu membaca dengan baik dan mampu menyumbang­kan lema untuk kamus Oxford.

Meredam Kegilaan

Dalam beberapa kasus, seseorang yang mengalami kegilaan dan melakukan keonaran terhadap masyarakat adalah orang yang memang disingkirk­an masyarakat. Karena itu, ketika kita mengetahui, mengenali, dan memahami seseorang yang mengalami kegilaan, pernah gila, ataupun memiliki gejala kegilaan, kiranya janganlah kita semakin menjauhiny­a ibarat mereka adalah hantu yang menakutkan.

Mereka juga sama dengan kita, membutuhka­n kasih sayang. Semakin kita takut, menjauhi, bahkan mengucilka­n orang gila lantaran dianggap sebagai sebuah ancaman, mereka akan menjadi manusia yang benarbenar mengancam kehidupan manusia. Mereka hanya butuh kasih sayang dari kita semua, bukan semakin memviralka­n bahwa orang gila adalah ancaman besar.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia