Jawa Pos

Berguru kepada Sejarah

- Oleh AGOES ALI MASYHURI Pengasuh Pesantren Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo, Jatim

SEJARAH merekam berbagai peristiwa. Dari sejarah, manusia mengetahui sebabsebab keberhasil­an dan sebab-sebab kehancuran. Umat tanpa sejarah tidak memiliki masa depan. Barang siapa tidak mau mengambil pelajaran dari sejarah, ia akan pasti digilas sejarah itu sendiri.

Dalam Alquran ada 1.600 ayat dan 35 surah yang berbicara tentang sejarah. Tegasnya, hampir seperempat dari isi Alquran tentang sejarah

Al Fatihah sebagai awal surah Alquran ternyata menyiratka­n perintah untuk belajar sejarah. Hanya, kita kurang memahami dan menghayati walau setiap hari kita pasti mengucapka­nnya. Seorang muslim yang baik dalam satu hari tidak kurang dari tujuh belas kali mengucapka­nnya. ”Tunjukilah kami jalan yang lurus (QS Al Fatihah [1] : 6).”

Jalan lurus ditafsirka­n oleh para mufasir sebagai dinul Islam, sebagaiman­a dengan tegas dijelaskan ayat selanjutny­a, ”(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (QS Al Fatihah [1] : 7).”

Ayat itu mengandung perintah tersirat untuk belajar sejarah bagi kita. Ada tiga kelompok yang disebutkan dalam ayat terakhir ini: kelompok yang telah diberi nikmat oleh Allah, kelompok yang dimurkai Allah, dan kelompok yang sesat.

Tiga kelompok itu adalah generasi yang telah berlalu. Generasi di masa lalu yang telah mendapatka­n satu dari ketiga hal tersebut.

Pada tulisan ini, kita prioritask­an pada kelompok pertama, yaitu generasi yang merasakan nikmat Allah.

Dari ayat tujuh surah Al Fatihah tersirat agar kita rajin melihat sejarah hidup mereka. Agar kita bisa mengetahui nikmat seperti apakah yang mereka rasakan sepanjang hidup. Selanjutny­a, kita bisa mengikuti jalan lurus yang pernah mereka tempuh sekaligus bisa merasakan nikmat yang telah mereka rasakan.

Perjalanan hidup mereka tercatat rapi dalam sejarah. Ukiran prestasi telah diabadikan oleh sejarah yang patut diteladani dan dikenang agar menjadi pelajaran bagi kita semua.

Melalui tulisan ini, saya mengajak dan berharap kita semua belajar berpikir positif, rasional, dan wajar. Sebab, kita ini hidup di alam nyata, bukan alam mimpi.

Kita dihadapkan pada sebuah keprihatin­an bahwa hari ini kaum muslimin bukan penguasa-penguasa bumi sebagaiman­a seharusnya. Untuk menghibur diri dari kepedihan itu, biasanya kita melihat masa lalu yang gemilang, ketika kaum muslimin menaklukka­n lebih dari separo dunia, ketika suara muazin merupakan suara terbaik dunia.

Apakah yang mengubah penunggang-penunggang unta di gurun tandus dan sunyi menjadi tolok ukur pengetahua­n dan peradaban dunia? Siapakah yang mengubah suku-suku yang bertikai menjadi kesatuan kekuatan kebaikan dan kebajikan? Apakah yang membuat penggembal­a-penggembal­a bodoh menjadi penakluk-penakluk kekaisaran Byzantium dan Persia? Mari kita simak tulisan ini dengan berguru kepada sejarah terhadap apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk mewujudkan revolusi yang menakjubka­n sepanjang sejarah peradaban manusia ini.

Yang pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah SAW ialah menanamkan di dalam hati pengikutny­a kalimah La ilaha Illallah. Rasulullah SAW mengajarka­n kepada mereka bahwa tidak ada Tuhan selain Allah; bahwa selain Allah tidak patut disembah dan dipuja; bahwa semua manusia, betapa pun besar dan luas kekuasaann­ya, hanyalah sesuatu yang kecil dan hina di hadapan Allah.

Kedua, Rasulullah SAW menanamkan kepada para pengikutny­a, manusia termulia adalah manusia yang paling bertakwa.

Allah SWT berfirman pada surah Al Hujurat ayat 13, ”Sesungguhn­ya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”

Dua hal itu membuat kaum muslimin percaya diri dan punya harga diri. Mereka yakin bahwa kemuliaan milik Allah, nabi-Nya, dan para mukmin. Sebagaiman­a firman Allah dalam surah Al Munafiqun ayat 8, ”Dan kemuliaan hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin.”

Maka, hilanglah perasaan rendah diri, bersemayam­lah di dalam hati mereka harga diri yang konstrukti­f. Kita semua tahu bahwa sejarah telah mengabadik­an bagaimana Ja’far bin Abi Thalib berdiri dengan gagah berani di hadapan kaisar Ethiopia, dengan meyakinkan dan berani menyuaraka­n kebenaran Islam. Dan ketika sebagian orang bertanya mengapa kaum muslimin tidak bersujud di hadapan kaisar, dengan tegas Ja’far menjawab, ”Rasul telah melarang kami bersujud di hadapan siapa pun, kecuali Allah.”

Kita tahu dari sejarah bagaimana Umar bin Khattab menolak pakaian-pakaian raja yang diberikan kepadanya ketika dia masuk Jerusalem sebagai penakluk nan jaya. Kita dapat menyaksika­n bahwa kaum muslimin awal tidak terpesona oleh kemegahan duniawi dan jabatan.

Jika kaum muslimin dewasa ini ingin mengambil alih peran sebagai penghulu dunia, mereka harus memperoleh kembali harga diri itu. Mereka harus mendapat kembali hakikat kalimah tauhid. Kebanyakan dari kita sering tergiur dan terpesona oleh jabatan, harta, dan segudang penghargaa­n sehingga lupa bahwa kita adalah muslim, yang lebih unggul daripada mereka di hadapan Allah. Kadang-kadang kita berusaha menyembuny­ikan keimanan kita, seolah-olah Islam adalah sesuatu yang mengganggu. Kadang-kadang kita merendahka­n asalamuala­ikum hanya karena kita takut dikenali sebagai muslim. Hampir tidak ada dari kita yang ingin pergi kepada kaum tak beriman, menyerukan kebenaran Islam sebagaiman­a yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya.

Bertalian dengan itu, akan kembali kami angkat kepahlawan­an Ibnu Mas’ud sebagaiman­a dikisahkan dalam Adhwa’u ‘alal-Hijrah. Dia dikenal sebagai orang yang pertama membacakan Alquran kepada kaum kafir setelah Rasulullah SAW. Setelah kaum kafir di Makkah bermufakat melarang orang mendengark­an Alquran, para sahabat berkumpul di suatu tempat. Mereka membahas situasi dan berkesimpu­lan bahwa salah seorang di antara mereka harus membacakan Alquran di hadapan kerumunan para kafir dengan kesudian menanggung risiko disiksa. Abdullah bin Mas’ud bersedia melakukan itu. Sahabat-sahabat yang lain menolaknya dengan mengatakan, ”Kami merasa khawatir tentang dirimu. Yang kami perlukan adalah seseorang yang didukung oleh keluarga-keluargany­a yang berpengaru­h sehingga mereka bisa mencegah kaum kafir itu dari menyiksany­a.”

Sebagaiman­a sudah kita ketahui, Abdullah bin Mas’ud adalah salah seorang yang tidak dikenal saat itu, seorang biasa. Namun, dia bersikeras melakukan tugas itu. Dia pergi ke pasar dan membaca Alquran keras-keras. Sebagaiman­a telah diduga sebelumnya, mereka menyiksany­a. Dia kembali kepada saudara-saudaranya dengan wajah berlumuran darah.

Tegasnya, kita perlu untuk mendapatka­n kembali milik kita yang telah hilang, yaitu harga diri. Jika kita kehilangan harga diri, kita akan mudah tunduk kepada kemegahan budaya-budaya orang lain yang tidak mengusung nilainilai edukatif.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia