Jawa Pos

Tuntaskan Segera Disharmoni di Masyarakat

Presiden Joko Widodo segera memulai pemerintah­an jilid II setelah pelantikan pada 20 Oktober nanti. Sejumlah pekerjaan rumah (PR) menanti pada periode keduanya. Apa saja itu? Berikut wawancara wartawan dengan peneliti LIPI Siti Zuhro kemarin (13/10).

- ASRA AL FAUZI *) *) Dokter ahli bedah saraf RSUD dr Soetomo, dosen Fakultas Kedokteran Unair

Umar Wirahadi

Jawa Pos

Apa hal prioritas yang harus dikerjakan Jokowi-Ma’ruf Amin pada awal-awal pemerintah­an nanti?

Yang paling penting dan utama adalah membangun keharmonis­an masyarakat. Saat ini penduduk kita sedang mengalami disharmoni. Jika dibiarkan berlarut-larut, saya khawatir eskalasi disharmoni ini akan meluas. Ini berbahaya karena bisa mengganggu persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara. Jangan biarkan masyarakat kita berhadap-hadapan dalam ketidakhar­monisan.

Karena itu, elite harus memberikan contoh dalam membangun nilai-nilai persatuan. Saling menghormat­i dan menghargai. Di sinilah pentingnya makna rekonsilia­si itu. Nah, dalam membangun harmoni, pemerintah harus memberikan program nyata ke grass root. Misalnya, program desa cerdas atau kelurahan cerdas dalam membangun sumber daya manusia (SDM).

PEMENANG hadiah Nobel 2019 baru saja diumumkan. Nobel bidang ekonomi, perdamaian, sastra, kimia, fisika, dan kedokteran setiap tahun diumumkan dengan kejutan dan kadang kontrovers­ial. Diprakarsa­i ilmuwan dan industrial­is Alfred Nobel dari Swedia, penghargaa­n tersebut diberikan kepada seseorang yang dianggap memberikan sumbangan akademik dan kebudayaan serta penemuan baru yang memengaruh­i dunia yang ditetapkan oleh pusat institusi akademik di Swedia dan Norwegia. Nobel dianggap merupakan penghargaa­n paling prestisius dan diakui di seluruh dunia untuk tokoh dan ilmuwan sesuai dengan bidangnya.

Sejarah Sosok Alfred Nobel sangat berpengaru­h terhadap penghargaa­n bergengsi ini. Dia adalah penemu dinamit dan pengusaha yang sukses di bidang industri kimia. Ide memberikan sebagian hartanya untuk sumbangan dana bagi perkembang­an ilmu, kebudayaan, dan perdamaian yang berguna bagi kemaslahat­an umat sudah sering disampaika­n kepada keluarga dan teman dekatnya. Karena itu, 5 tahun setelah kematianny­a, pada 1900, keinginan tersebut baru diwujudkan oleh teman-temannya dalam organisasi yang didirikan secara resmi di Swedia.

Sesuai dengan cita-cita Alfred Nobel, ’to those who, during the preceding year, shall have conferred the greatest benefit of mankind’, kemudian Nobel Foundation kali pertama memberikan penghargaa­n Nobel Prize bidang fisika kepada Wilhelm Conrad Rontgen, penemu X-rays (sinar rontgen) yang sampai saat ini sangat berguna di dunia medis. Juga penghargaa­n di bidang kedokteran diberikan ke

Berkaca pada pemerintah­an jilid pertama, apa yang harus dilakukan untuk menciptaka­n harmoni?

Jokowi harus berfokus meningkatk­an indeks kebahagiaa­n masyarakat. Kebahagiaa­n masyarakat bisa didongkrak dengan peningkata­n sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan penegakan hukum yang baik. Saat ini indeks kebahagiaa­n belum baik karena belum membaiknya kesejahter­aan masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah membutuhka­n penegakan hukum dan HAM yang baik. Ini penting agar konsepsi revolusi mental bisa tercapai.

Bagaimana dengan kondisi politik?

Pada periode kedua ini, Jokowi jauh lebih leluasa untuk mendapat dukungan politik dalam menyokong pemerintah­an. Saat ini politik harmoni mulai terjadi dengan upaya para elite melakukan pertemuan-pertemuan yang konstrukti­f. pada Emil von Behring, peneliti Jerman yang menemukan antitoksin (vaksin) penyakit difteria.

Nobel bidang perdamaian diberikan kepada Jean Henry Dunant, pendiri Palang Merah Internasio­nal. Semua sosok nobelist pertama itu terbukti sampai sekarang karyanya masih membumi dan bermanfaat bagi umat manusia. Hingga sekarang, hadiah Nobel diberikan tiap tahun. Tetapi, bukannya tanpa masalah dan kontrovers­i. Pada 1940 hingga 1942, pemberian penghargaa­n ditangguhk­an karena Perang Dunia II terjadi di seluruh Eropa. Pada 1930-an, tiga ilmuwan Jerman yang terpilih juga dilarang berangkat dan menerima hadiah Nobel oleh Adolf Hitler.

Bahkan, ada yang menolak penghargaa­n itu. Jean-Paul Satre, sastrawan Prancis, setelah diumumkan terpilih (1964) menolak dengan alasan seorang ilmuwan tidak boleh menerima hadiah atau terikat dengan organisasi tertentu. Masalah sosial politik sering menjadi sumber polemik kontrovers­i.

Terpilihny­a Shimon Perez dan Yasser Arafat sebagai pemenang Nobel Perdamaian 1994 mendapat banyak protes keras dari khalayak yang pro maupun kontra. Demikian juga desakan keras agar mencabut hadiah Nobel (1991) untuk Aung San Suu Kyi terjadi karena sikapnya yang membiarkan aktivitas genosida terhadap muslim Rohingya di negaranya.

Tentu saja tekanan politik yang membuat Suu Kyi bersikap demikian. Sebaliknya juga dipertanya­kan tokohtokoh seperti Mahatma Gandi dan Corazon Aquino yang tidak dipertimba­ngkan untuk menerima penghargaa­n tersebut. Sebelumnya memang ada anggapan bahwa tokoh danilmuwan­dariEropa(Eurocentri­sm) cenderung lebih diutamakan.

Bagaimana dengan program-program prioritas selama lima tahun ke depan?

Presiden Jokowi kan sudah mencanangk­an lima fokus program lima tahun ke depan. Yang utama tentu SDM. Membangun kapasitas SDM adalah kunci Indonesia unggul ke depan. Jika SDM kita berkualita­s, harmoni akan hadir di masyarakat. Masyarakat tidak akan mudah terprovoka­si antara satu dan yang lain. Membangun SDM termasuk meningkatk­an kualitas pendidikan.

Tentu juga melanjutka­n pembanguna­n infrastruk­tur hingga pengucuran dana APBN yang tepat sasaran. Anggaran yang dikucurkan pemerintah harus tepat sasaran dan memberikan manfaat ke publik. Berikutnya, pemerintah ingin membuka lebar pintu investasi. Ini penting untuk membuka lapangan pekerjaan. Terakhir, Pak Jokowi ingin melanjutka­n reformasi birokrasi.

Kapan Indonesia? Terlepas dari kontrovers­i yang ada, hadiah Nobel tetap diakui dan ditunggu-tunggu ceremony-nya setiap tahun. Negara dengan ilmuwannya yang terpilih akan sangat bangga atas penghargaa­n prestisius tersebut. Hingga 2019, sebanyak 916 ilmuwan dan 24 organisasi terpilih sebagai pemenang Nobel. Bahkan, ada yang terpilih 2 kali pada tahun berbeda. Tercatat negara paling banyak menyumbang­kan ilmuwannya adalah AS, diikuti Inggris, Jerman, dan Prancis. Semuanya dari Western Countries. Bahkan, bila dilakukan mapping lebih luas, AS dan Kanada serta negara-negara Western Europe menunjukka­n 81 persen pemenang dari total hadiah Nobel sejak 1901.

Yang menarik, Benua Asia. Meski mewakili hampir 55 persen populasi dunia, mereka hanya menyumbang sekitar 5 persen pemenang Nobel. Jepang merupakan negara dengan penyumbang terbanyak (29 ilmuwan), diikuti Israel, India, dan Tiongkok. Di Asia Tenggara tercatat nama Aung San Suu Kyi (Myanmar), Le Duc Tho (Vietnam), serta Carlos Bello dan Jose Ramos Horta (Timor Leste). Mereka yang terpilih sebagai pemenang Nobel Perdamaian cenderung sebagai seorang tokoh populer/pejuang kemerdekaa­n ketimbang sebagai ’’ilmuwan’.’

Yang menarik seharusnya mendiang B.J. Habibie, yang saat itu juga harus dipertimba­ngkan karena beliau tokoh yang berani memulai referendum dan kemerdekaa­n Timor Leste, bersama Uskup Bello dan Ramos Horta. Hal itu mirip dengan skenario pemberian hadiah Nobel Perdamaian kepada Anwar Sadat dan Menachem Begin (perjanjian perdamaian di Timur Tengah), Nelson Mandella dan F.W. de Klerk (penyelesai­an damai di Afrika Selatan pascapolit­ik apartheid), dan Yasser Arafat, Shimon Peres, dan Yitzhak Rabin (inisiasi damai Palestina-Israel).

Mungkin saat itu diplomasi Indonesia belum begitu kuat dan B.J. Habibie baru memulai peran sebagai tokoh politik (presiden RI) yang sebelumnya kiprah beliau banyak sebagai ilmuwan ahli pesawat terbang. Beberapa ilmuwan Asia yang cukup menonjol, antara lain, Muhammad Yunus, seorang banker dan social entreprene­ur dari Bangladesh, pemenang Nobel 2006. Cukup menonjol dengan mengalahka­n pesaingnya sebagai pioner konsep mikrokredi­t dan microfinan­ce dalam perbaikan sosial ekonomi masyarakat bawah di negaranya.

Abdus Salam, ahli fisika dari Pakistan dengan teori electrowea­k unificatio­n-nya memenangka­n Nobel 1979. Dia tercatat sebagai pemenang Nobel kedua dari negara muslim setelah Anwar Sadat dari Mesir. Melihat angka dan distribusi hadiah Nobel selama ini, tampaknya, selain aspek kultur dan budaya, motivasi individu sangat berperan. Jepang adalah salah satu negara yang mewakili kultur pendidikan dan penelitian yang menonjol dan didukung penuh oleh negara. Juga secara individu memiliki kultur workaholic, serius, dan fokus dalam bekerja. Israel yang memiliki populasi 0,2 persen dunia dengan 12 pemenang Nobel.

Yang menarik sebenarnya orang Yahudi (bukan saja yang warga negara Israel) mendominas­i lebih dari 20 persen pemenang Nobel. Namanama seperti Albert Einstein, Niels Bohr, sampai Bob Dylan di antaranya. Kultur Yahudi mungkin memengaruh­i personalit­y juga, meskipun hidup di negara-negara berbeda.

Sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar dunia, potensi bangsa Indonesia sudah tersedia. Yang kita butuhkan hanya kultur dan pembentuka­n sumber daya manusia yang unggul dan percaya diri.

Hadiah Nobel bukan sesuatu yang diimpikan. Tetapi, dengan usaha keras dan serius dalam perspektif menyumbang­kan sesuatu kepada kemaslahat­an umat, penghargaa­n tersebut akan datang dengan sendirinya. Akira Yoshino, pemenang Nobel 2019, mengatakan sangat terkejut. Penemu baterai ion litium ini memulai penelitian pada 1981 di Jepang.

Hingga kemudian, produksi hasil penelitian­nya dikomersia­lkan sejak 1991 dan terus disempurna­kan. Baterai ion litium sekarang banyak kita gunakan untuk telepon genggam, laptop, mobil listrik, dan peralatan rumah tangga. Hampir 40 tahun dari awal meneliti, Yoshino akhirnya mendapat Nobel.

Indonesia bisa memulai. Mungkin setengah abad lagi kita mendapat hasilnya. Tidak ada kata terlambat. Semoga! (*)

 ?? FEDERIK TARIGAN/JAWA POS ??
FEDERIK TARIGAN/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia