Kirab Budaya Mengenang Sawunggaling
SURABAYA, Jawa Pos – Kawasan Lidah Wetan dipadati warga sejak pagi kemarin (13/10). Warga bersiap dengan pakaian unik-unik ala mereka. Ada yang mengenakan pakaian yang terinspirasi dari burung merak, ada pula yang menirukan pakaian adat Papua, Jawa, dan banyak lagi.
Mereka adalah warga Lidah Kulon dan Lidah Wetan yang begitu antusias mengikuti kirab Kadipaten Suroboyo. Kirab tersebut merupakan pembuka resmi rangkaian acara Gelar Doa dan Angkat Budaya Legenda Joko Berek atau Raden Sawunggaling. Kirab tersebut diklaim menghadirkan hingga 4.000 partisipan
J
Rutenya dimulai dari Cagar Budaya Makam Sawunggaling menuju ke barat hingga kawasan Lidah Kulon, kemudian keluar ke Jalan Raya Menganti hingga ke Jalan Lidah Wetan dan diakhiri di Cagar Budaya Makam Sawunggaling. Kirab itu memakan waktu sekitar 2 jam.
Acara yang dihelat untuk mengenang Raden Sawunggaling tersebut sudah memasuki penyelenggaraan ke-8 kali pada tahun ini. Nama Sawunggaling memang sudah digunakan di berbagai lokasi. Sayang, sejarah tokoh asal Surabaya tersebut tak banyak dikenal, bahkan oleh masyarakat Surabaya sendiri.
Hal tersebutlah yang akhirnya melatarbelakangi hadirnya rangkaian acara itu. ”Kami juga ingin orang semakin paham tentang Sawunggaling melalui acara Angkat Budaya ini,” jelas Mulyadi, sekretaris acara.
Agar masyarakat sekitar semakin mengenal kisah hidup Sawunggaling, kirab diawali dan diakhiri dengan teatrikal singkat. Joko Berek dikisahkan menagih identitas sang ayah kepada ibunya, Dewi Sangrah. Joko Berek kemudian diminta menemui Tumenggung Jangrono III yang saat itu menjadi pemimpin Kadipaten Kanoman Surabaya. ”Kirab ini jadi simbol mengantarkan Joko Berek menuju pencarian ayahnya,” jelas Eko Rizal selaku koordinator acara.
Eko mengatakan, konsep penyelenggaraan acara yang dihelat hingga 19 Oktober mendatang itu masih dipertahankan sejak diselenggarakan kali pertama pada 2012.