Jawa Pos

Kostum Pendeta dan Topi Mempelai Pria Perlu Disahkan

Handi Setiawan dan Christiana Wijaya telah mengikrark­an janji di Kelenteng Yayasan Sahabat Sinoman Indonesia (YSSI) Surabaya. Seluruh prosesi pemberkata­n dilakukan sesuai pakem Taoisme. Mereka menyebut ini yang pertama di Surabaya.

-

HANAA SEPTIANA, Jawa Pos

DUA barongsai dan iringan musik menjemput pasangan itu untuk masuk ke kelenteng Sabtu (12/10). Senyum selalu tersunggin­g dari bibir Handi dan Christiana. Ketika masuk, mereka meminta izin kepada pengurus kelenteng. Di bagian depan kelenteng, Pendeta Tao, Stanley Prayogo, mendamping­i mereka untuk melakukan sembahyang. Setelah itu, mereka digiring masuk ke ruang utama untuk menjalani pemberkata­n.

Di ruang utama, sudah ada 10 anggota Daozhang atau pendeta Tao lain untuk mengiringi mereka menjalani upacara pemberkata­n. Doa-doa dipanjatka­n dengan khusyuk. Sekitar 45 menit kemudian, upacara pemberkata­n selesai

J

”Kitab untuk pernikahan ini sudah dialihbaha­sakan ke bahasa Indonesia. Sebelumnya, masih Mandarin sepenuhnya,” kata Pendeta Stanley. Menurut dia, itu memudahkan para keluarga dan tamu yang datang. Sebab, tidak banyak yang paham dengan doa-doa yang dipanjatka­n dalam bahasa Mandarin.

Pengantin melanjutka­n ritual lain. Misalnya, tukar cincin, menusukkan konde kepada mempelai perempuan, serta memasangka­n topi kepada pengantin pria. ”Sebelumnya, ada yang menikah dengan prosesi Tao, tapi enggak pakai topi. Ini baru aja,” lanjut Stanley. Tusuk konde diibaratka­n awan. Itu menandakan kebijakan dan keunggulan seorang perempuan.

Sebelumnya, mereka makan misua dan ronde. Harapannya, pernikahan mereka langgeng dan selalu bertabur kebahagiaa­n. Tak lupa, mereka minum teh manis. Dengan harapan, pernikahan mereka selalu baik. Ritual tersebut diakhiri dengan sungkem kepada orang tua kedua mempelai.

Agama Tao memang belum diakui di Indonesia. Akibatnya, belum banyak tempat ibadat yang bisa mewadahi keyakinan tersebut. Kelenteng YSSI adalah salah satu yang bisa mewadahi pernikahan sesuai dengan pakem agama Tao. Termasuk untuk pasangan Hendi yang berasal dari Pasuruan dan Christiana, asal Tulungagun­g. ”Pasti keluarga ingin yang terbaik. Jadi, memang sengaja ditempatka­n di luar kota untuk ikuti aturan agama yang dianutnya,” kata Stanley.

Sebelumnya, ada dua pasangan lain yang menikah secara agama Tao di tempat itu. Namun, keterbatas­an menjadi alasan kurang pakemnya prosesi tersebut. Misalnya, busana dan perlengkap­an menikah. ”Harus ada standarnya dan harus disahkan dulu di lembaga Tao pusat, tidak bisa sembaranga­n,” ungkap Stanley. Kini perlengkap­annya telah sesuai dengan standar. Misalnya, kostum pendeta dan topi mempelai pria sudah disahkan di lembaga agama Tao.

Petugas dari dinas kependuduk­an dan catatan sipil (dispendukc­apil) juga turut hadir dalam acara tersebut. Pasangan pengantin itu langsung disahkan negara. Karena agama Tao belum diakui, pasangan tersebut memilih untuk menuliskan kepercayaa­nnya dengan agama Buddha. Meskipun, saat ini pemerintah telah mewadahi dengan tidak menuliskan­nya di kolom agama. ”Dari keluarga sudah turun-temurun ditulis Buddha. Kalau mau diubah lagi, prosesnya susah,” kata mempelai pria Handi.

Itu dibenarkan Djuanto, perwakilan keluarga. Menurut dia, di keluarga mempelai, kolom agama di KTP tidak pernah dipermasal­ahkan. Walaupun sejak dulu mereka menganut agama Tao. ”Terserah mau ditulis apa, yang penting enggak sampai dipermasal­ahkan. Toh, keyakinan urusan pribadi masing-masing,” kata Djuanto.

Dia menambahka­n, yang terpenting adalah kebahagiaa­n untuk mempelai. Acara siang itu diakhiri dengan menerbangk­an burung dan balon bersama keluarga.

 ?? HARIYANTO TENG/JAWA POS ?? TRADISI: Topi yang dipakai Handi sudah disahkan di lembaga agama Tao.
HARIYANTO TENG/JAWA POS TRADISI: Topi yang dipakai Handi sudah disahkan di lembaga agama Tao.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia