Parlemen Sepakat, Perpanjangan
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson hampir saja menuntaskan kesepakatan Brexit sebelum 31 Oktober. Uni Eropa yang dikatakan bakal jadi penghalang utama sudah luluh. Namun, kini musuh dalam negeri muncul dan menghalangi targetnya.
RUANG Sidang Istana Westminster kemarin (19/10) panas. Sesaat setelah pembukaan dari Ketua Majelis Rendah Johm Bercow, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson harus bolak-balik berdiri menjawab pertanyaan atau menanggapi pernyataan dari rekan legislator.
Padahal, Sabtu bukanlah hari kerja bagi para wakil rakyat Britania Raya. Biasanya, anggota parlemen Inggris tak pernah rela ngantor di akhir pekan. Sidang di akhir pekan terakhir diadakan 1982 lalu. Yang dibahas adalah perang di Kepulauan Falkland melawan Argentina.
”Saya harap semua rekan mengucapkan terima kasih kepada staf House of Commons. Mereka bekerja keras untuk memfasilitasi sidang hari ini,” ujar Bercow.
Sebagian besar anggota parlemen sepertinya setuju bahwa mereka harus melakukan debat dan pemungutan hari itu juga. Hal tersebut dilakukan setelah Johnson menciptakan keajaiban di politik Inggris Kamis lalu (17/10). Mereka menganggap, debat kesepakatan Brexit yang dijadwalkan hari Senin (21/10) akan terlambat.
Dan hasil sidang kemarin pun membikin hati Johnson ciut. Dengan selisih 16 suara, dia diwajibkan mencari perpanjangan negosiasi Brexit melebihi 31 Oktober. Keputusan itu membuatnya tak bisa lagi berkoar bahwa Inggris rela melakukan no deal Brexit jika perceraian dengan Uni Eropa terlalu berbelit.
”Saya menyayangkan bahwa meaningful vote (pemungutan suara penuh arti, Red) kali ini telah kehilangan artinya. Tapi,
kami tidak akn gentar atau kecewa,” ujar Johnson.
Faktanya, Johnson sudah melebihi ekspektasi publik, baik dalam negeri maupun internasional, terkait perundingan Brexit. Pada puncak KTT Uni Eropa, dia bersama Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker mengumumkan kesepakatan terbaru Brexit. ”Ini adalah kesepakatan yang bisa menyembuhkan keretakan dalam politik Inggris,” ujar Johnson dalam pembukaan sidang parlemen kemarin menurut The Guardian.
Namun, beberapa pihak, terutama kubu oposisi Partai Buruh, sepertinya tak sependapat. Di saat itu, Oliver Letwin, mantan anggota Partai Konservatif, mengusulkan mosi yang membuat Johnson gusar. Mosi tersebut mewajibkan pemerintah tetap meminta perpanjangan jika proses legislasi dalam negeri tentang Brexit belum selesai hingga 31 Oktober.
”Saya mendukung kesepakatan Johnson. Namun, saya hanya ingin jaminan bahwa Inggris tak akan keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan secara tak sengaja,” ujar Letwin kepada CNN.
Apa bedanya dengan UndangUndang Benn yang diloloskan bulan lalu? Regulasi tersebut hanya mewajibkan agar meminta perpanjangan jika gagal mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa sebelum 31 Oktober. Syarat itu sudah dipenuhi Johnson.
Kubu anti-Brexit menegaskan, legislasi kesepakatan yang menentukan masa depan Inggris tak bisa dilakukan hanya dalam waktu dua pekan. Banyak detail kesepakatan yang harus diteliti dan diperdebatkan.
Belum lagi, jika ada kubu yang macam-macam dan sengaja menggagalkan legislasi perjanjian Brexit. Tanpa legislasi, Inggris bisa saja keluar tanpa kesepakatan. ”Pemerintah tak bisa lagi dipercaya. Kami pun tak akan tertipu lagi,” ujar Ketua Buruh Jeremy Corbyn seperti yang dilansir BBC.
Corbyn mengacu langkah pemerintah yang ingin menangguhkan sesi parlemen. Langkah yang dianulir Mahkamah Agung itu menjadi bukti bahwa rezim Johnson tak segan curang untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
Di sisi lain, kubu pro-Brexit menuduh Partai Buruh dan kawankawan ingin menjegal Johnson. Menurut kantor perdana menteri, mereka hanya ingin memperlambat momentum pemerintah yang baru saja meraih prestasi terhebat mereka.
Jika usulan Letwin disetujui, oposisi bisa mencari cara untuk menunda legislasi. Juga, pembicaraan Brexit bisa-bisa kembali ke nol. ”Perpanjangan (Brexit) berulang-ulang itu mahal, sia-sia, dan merusak kepercayaan rakyat,” ungkap Johnson menurut Agence France-Presse.
UJAR MEREKA
Teman kita di Uni Eropa sudah mulai kehilangan nafsu untuk memperpanjang proses ini satu hari lagi.”
BORIS JOHNSON PM Inggris