Jawa Pos

Santri Itu Sastrawi

(Sebuah Catatan Jelang Hari Santri)

- Oleh CANDRA MALIK

Hubungan sastra dan agama telah terjalin sejak keduanya lahir dalam sejarah. Kitab suci agama-agama, yang monoteis dan yang bukan, ditulis dalam bentuk sastra.

Faisal Kamandobat (2007)

ZAWAWI IMRON menguntai kata-kata indah dan rendah hati demi menunjukka­n hormat kepada kiai. ”Bagaimana sebutir embun seperti saya mampu bicara tentang luas samudra? Bagaimana selembar kertas mampu bicara tentang luas hutan-hutan? Mustahil,” tutur sastrawan dari Sumenep, Madura, itu. Dia kemudian menjelaska­n, kata santri berakar pada kata shastri dari bahasa Sanskerta. Satu akar kata dengan shastra atau sastra.

Sastra bermakna teks yang mengandung pedoman. Sedangkan shastri, menurut Kiai Zawawi, adalah orang yang belajar kalimat-kalimat suci dan indah. Di Nusantara, sejak Wali Sanga mendirikan lembaga pendidikan, para pencari ilmu itu disebut shastri. ”Oleh lidah Jawa disebut santri,” jelasnya. Zawawi juga mengutip Nurcholish Madjid yang dalam Seminar Pesantren di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 1989 membahas santri.

”Sastri. Lalu menjadi sastria, kesastria, yaitu seseorang yang berperilak­u suci dan indah, pejuang, pendekar kebenaran, berperilak­u pahlawan,” kutip penyair berjuluk Si Celurit Emas itu. Jika lisannya tidak indah, lanjut Zawawi, dia bukan santri. Setidaknya penjelasan itu senada dengan paparan Clifford Geertz soal shastri. Yakni, ilmuwan yang pandai menulis, pembelajar di pondok pesantren, penduduk muslim yang sungguh-sungguh beragama.

Kehidupan santri tidak dapat dipisahkan dari sastra dan sikap hidup kesatria. Perkataan dan perbuatan seiring sejalan, tidak saling mendustai, tidak pula saling mengkhiana­ti. Teks-teks yang ditulis santri diharapkan senantiasa sesuai dengan konteks zaman. Sastra santri ialah teks yang kontekstua­l, tidak mengawang-awang sampaisamp­ai tak menginjak bumi. Setinggi-tingginya yang sastrawi, ia seharusnya tetap manusiawi.

Penjelasan Faisal Kamandobat dapat pula memperkaya pemahaman tentang sastra dan santri. Dalam artikelnya, Borges dan Eksperimen­tasi Sastra Religi, dia menulis, ”Hubungan sastra dan agama telah terjalin sejak keduanya lahir dalam sejarah. Kitab suci agama-agama, yang monoteis dan yang bukan, ditulis dalam bentuk sastra. Sementara di luar wilayah revelasi atau kewahyuan, banyak sastrawan menulis karyanya sebagai ungkapan iman kepada Tuhan.”

Lalu, apakah untuk dapat disebut sebagai sastra santri atau sastra pesantren, sebuah karya harus diekspresi­kan dalam bahasa Arab atau dituliskan dengan huruf pegon? Ternyata tidak selamanya demikian. Ahmad Baso mencatat, sastra pesantren ditulis dengan huruf pegon, dengan beragam bahasa Nusantara. Tapi, pesantren bukan hanya tempat belajar. Ia juga merupakan lembaga kehidupan dan kebudayaan.

”Pujangga-pujangga keraton, seperti Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawars­ita, adalah santri-santri pesantren yang tekun mengembang­kan karya-karya sastra dalam berbagai bentuk seperti kakawin, serat, dan babad. Sumber inspirasi mereka bukan hanya kitab kuning, melainkan juga pengalaman sejarah bangsa ini sendiri sebagaiman­a dialami oleh kerajaan Hindu, Buddha, dan zaman Wali Sanga,” tulis Baso di NU Online.

Dalam perkembang­annya, sastra santri pun terus menemukan bentuk-bentuk khas yang sesuai dengan pilihan sastrawann­ya. Hikayat dituliskan dalam rupa cerita pendek, cerita bersambung, atau novel. Syiir dan nadhom

masih hidup di pesantrenp­esantren hingga hari ini. Bukubuku puisi mengalir hadir ke tengah khalayak yang berhulu dari penyair-penyair berlatar belakang pesantren atau kehidupan tarekat dan spirituali­tas lainnya.

Zawawi dan Kamandobat adalah dua di antara nama-nama sastrawan Indonesia yang berlatar belakang pesantren. Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab kita sapa Gus Mus, Ahmad Tohari, Acep Zamzam Noor, Binhad Nurrohmat, Ahmad Faisal Imron, Raedu Basha, Husein Muhammad, Jamal D. Rahman, Badriyah Fayumi, dan Inayah Wahid adalah beberapa nama lain. Sastra santri terus bertumbuh, semoga.

Pembacaan karya sastra kini tak melulu di majelis eksklusif, begitu pun karya sastra dari pesantren. Modernitas telah menyediaka­n beragam wahana ekspresi. Musikalisa­si pun memberi warna. Internet memperluas bentangan sayap sastrawan. Sastra santri tak selalu merupakan hasil renungan di balik bilik zikir atau kesunyian uzlah, tapi bisa pula dari ingar bingar di media daring. Pun bisa dihadirkan dalam literasi digital lainnya. (*)

Candra Malik, budayawan

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia