Maksimal Tiga Sabetan, Lawan Berdasar Tempat Tinggal
Tiban, Tradisi yang Dipercaya Dapat Datangkan Hujan Kemarau tahun ini termasuk panjang. Ada sebuah tradisi di Trenggalek yang dipercaya dapat menurunkan hujan.
BAGI warga Trenggalek, tradisi tiban bukan hal yang asing. Apalagi tradisi tersebut ada sejak lama. Namun, terdapat ”bumbu-bumbu” agar tradisi nenek moyang itu tetap lestari di tangan generasi muda.
Kepala Desa (Kades) Jajar, Kecamatan Gandusari, Imam Mukaryanto Edi mengatakan, ”bumbu-bumbu” tradisi tiban itu tidak mengurangi esensi dari tradisinya. Penambahan tarian yang mengadopsi gerakan-gerakan pecutan menjadi acara pembukaan tradisi tersebut.
Selain itu, ada penambahan musik seperti gamelan. Penambahan ”bumbubumbu” tersebut justru membuat tradisi tiban menjadi lestari di Desa Jajar. ”Para tokoh masyarakat pun menyetujui ”bumbu-bumbu” tradisi tiban tersebut tidak mengurangi esensi dari tradisi tiban,” ungkap Imei, sapaan karib Imam Mukaryanto Edi.
Secara kebahasaan, tiban merupakan penggalan dari dua kata bahasa Jawa, yakni niti (mencari) dan banyu (air). Dalam bahasa Indonesia, tiban diyakini sebagai mencari air.
Menurut Imei, hingga kini, dirinya belum menemukan bukti sejarah dari kemunculan tradisi tiban. Hanya, tradisi lisan yang turun-temurun dari para tetua Desa Jajar yang hingga kini menjadi acuan tunggal untuk mendeskripsikan tahun kemunculan tradisi tiban. Diperkirakan, tradisi tiban di Desa Jajar muncul sekitar awal abad ke-19. Konon, ada dua anak yang menggembala kerbau di dekat sumber. Kedua penggembala awalnya bermain dengan saling menyabetkan cemeti. Namun, siapa sangka, tak lama, tetesan hujan pun mulai membasahi kulit dua anak tersebut. ”Anak-anak itu hanya bermain saling pecut, tapi tiba-tiba turun hujan. Semenjak itu, nenek moyang mengait-kaitkan sampai muncul istilah tiban,” ungkap pria berkacamata itu.
Tradisi tiban, ujar Imei, mulai berkembang di sebagian wilayah di Trenggalek. Setiap September, beberapa wilayah di Trenggalek mulai menggelar tradisi tiban karena pada bulanbulan itu merupakan puncak musim kering yang biasa melanda Bumi Menak Sopal. Tradisi tiban tersebut diselenggarakan setiap Minggu, bakda duhur. ”Pernah setelah pergelaran tiban langsung turun hujan. Ada juga 3–4 minggu kemudian baru turun hujan. Namun, intinya, jika Sang Pencipta menghendaki turunnya hujan, turunlah hujan,” katanya.
Ada beberapa aturan-aturan yang menjadi hukum adat dalam melaksanakan tiban. Imei menerangkan,
Yakni, tim selatan dengan utara.
Jadi, tambah dia, penentuan lawan tidak ditinjau dari umur, tetapi lokasi tempat tinggal peserta tiban, masuk wilayah selatan atau utara. Namun, aturan itu tidak saklek diterapkan ketika ada peserta tiban dari luar desa atau kota.
”Pergelaran tiban biasanya di tempat yang lapang. Itu menjadi pusat pemisah antara peserta yang masuk wilayah selatan dan utara,” ucapnya.
Aturanparapesertatiban,khususnyadiDesaJajar,sabetan cemeti dibatasi hanya tiga kali pecutan. Setiap sebelum memecutlawan,adaistilahngewer.Yakni,menyentuhcemeti lawansaatdipinggangsebelummengambiljarakdanmenyabet lawannya.Ngeweritumerupakantandauntuksalingmenerima setiap pecutan yang dilayangkan dan tidak ada dendam antara kedua peserta.
”Esensi dari tradisi tiban, selain meminta pertolongan kepada Sang Pencipta untuk menurunkan hujan, menambah paseduluran (persaudaraan, Red),” katanya.
Cemeti untuk tiban berbahan dasar lidi aren. Dibuat dengan memintalnya sampai berukuran 2,5 meter. Alasan khusus pembuatan cemeti menggunakan lidi aren karena wilayah Desa Jajar dulu minim rotan, tapi melimpah pelepah aren.
Alhasil, warga pun memanfaatkan pelepah aren tersebut untuk dibuat cemeti. ”Dulu dikenal ilmu penatasan yang mampu mematahkan pegangan cemeti lawan dengan sekali pecutan,” ujarnya.