Ajang Sinau Bareng, Kenalkan Wayang Kulit untuk Remaja
Seni wayang kulit kini berimpitan dengan berbagai budaya dan seni lain. Di tengah impitan itu, para dalang muda yang tergabung dalam Padakawangi terus berupaya mengenalkan wayang kulit kepada generasi muda.
SHULHAN HADI, Jawa Pos, Banyuwangi
DIAKUI atau tidak, banyak di antara kita yang tidak mengenal wayang kulit dengan baik. Jangankan lakon (cerita), nama tokoh pun kita tahu secara serampangan. Padahal, oleh UNESCO, saat ini wayang ditetapkan sebagai warisan agung budaya dunia. Di Indonesia, Hari Wayang Nasional ditetapkan setiap 7 November.
Geliat yang dilakukan sejumlah dalang muda di Banyuwangi, tampaknya, menjadi sedikit oase di tengah keringnya pembumian budaya Nusantara. Bermula dari pertemanan dan seringnya
bertemu di lokasi pergelaran wayang kulit, sejumlah dalang muda yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan wayang kulit di Banyuwangi membentuk satu wadah untuk berkumpul.
Tepat pada 24 Mei lalu, komunitas yang mereka namai Paguyuban Dalang Kaneman Banyuwangi (Padakawangi) resmi berdiri. ’’Komunitas ini baru, isinya anak-anak muda,’’ terang Ki Windy Asagita Richy Sugiyanto, 29, yang juga ketua paguyuban.
Secara struktural, paguyuban itu tidak berada di bawah struktural Persatuan Pedalangan
Indonesia (Pepadi). Namun, paguyuban tersebut berdiri sendiri dan hanya diperuntukkan dalang muda atau pemerhati wayang kalangan muda di Banyuwangi. Sejumlah nama tercatat sebagai pengurus paguyuban itu. Di antaranya, Ki Galih
Kidung Wibowo, Ki Edo Sabda Crita, dan Ki Ichwan Dwi Purbo Carito yang tercatat sebagai pengurus harian.
’’Secara pribadi, kami berada di bawah naungan Pepadi, tapi Padakawangi ini bukan struktur Pepadi,’’ ungkap Windy.
Dari awal berdiri, komunitas tersebut berfokus melakukan
upgrading kemampuan dan bertukar pikiran di kalangan dalang muda. Setiap pekan mereka menggelar kopi darat secara bergantian.
Acara anjangsana itu diisi berbagai hal. Mulai geladi teknik olah gerakan wayang (sabetan), catur (dialog), dan pengolahan lakon. Semua dilakukan agar para dalang muda bisa bersinergi dan belajar bersama. ’’Supaya dalangdalang muda Banyuwangi bisa
srawung bareng, kenal lebih akrab, dan bisa sinau bareng tentang pedalangan,’’ jelas Windy.
Meskimerupakankomunitasyang berisidalangmuda,Windymenyebutkanbahwatidaksemuadalangberasal darilatarbelakangkeluargaseniman.
Saat ini pun aktivitas para anggota bermacam-macam.
Ada yang wiraswasta, guru, maupun masih bersekolah. Komunitas itu juga terbuka bagi siapa pun yang tertarik untuk belajar bersama mengenai dunia wayang dan pedalangan. ’’Tidak semua anggota dari keluarga seni,’’ ucapnya.
Dari situ, fenomena keengganan kalangan muda untuk menyaksikan wayang kulit pun akhirnya menjadi perhatian dan bahasan mereka. Terungkap, alasannya adalah faktor bahasa.
Para penonton yang berusia muda mengeluhkan bahasa yang sulit dimengerti. Hal itu pun disikapi dengan menyederhanakan bahasa sehingga lebih mudah dicerna penonton. Hal tersebut tentu dilakukan tanpa mengurangi unsur sastra pedalangan. ’’Bahasa kami bikin simple. Kami memperbanyak sabetan dan banyolan,’’ ujar Windy.