Jawa Pos

Joker, Mengapa Sakit Jiwa?

- FATHUR ROZI *) *Wartawan Jawa Pos

DIA menjuluki diri sebagai Joker. Julukan itu memang mampu bercerita banyak tentang siapa sosok Arthur Fleck. Tokoh utama film yang mengeksplo­rasi emosi penonton. Warga dunia. Julukan itu tidak hanya menunjukka­n pekerjaann­ya: melawak. Arthur juga menampilka­n fenomena nan getir: kegagalan Kota Ghotam sebagai lokus hidupnya.

Sejak kecil, Arthur disuapi empedu. Hidup di antara para borjuis yang bersulang madu. Dipeluk ibunya, Peni Fleck, yang terus berdelusi sebagai ”selir” wali kota. Mimpi yang tak pernah berakhir sekaligus tak akan terwujud. Arthur kecil cuma bernaung di bawah khayalan mewah.

”Namaku Happy. Aku dilahirkan untuk menyebarka­n senyum dan sukacita. Tapi, tak semenit pun aku merasa bahagia.” Begitulah gerutu Arthur. Seperti itu pula takdirnya. Dan, ternyata belum seberapa.

Arthur juga divonis sakit jiwa. Hal terburuk dari sakit jiwa, keluh dia, adalah orang tetap menganggap dirinya tidak sakit jiwa. Jadi, siapa yang sakit jiwa? Jangan-jangan orang-orang kaya dan terkenal di Gotham itulah yang gila. Mereka yang menganggap kejujuran sebagai kejahatan. Kebenaran sebagai lelucon.

Batin Arthur terluka. Tujuan hidupnya hampa. Karena itulah, di awal film produksi Warner Bros tersebut, sudah muncul sebuah ungkapan fundamenta­l. ”Kuharap kematianku lebih masuk akal dari hidupku.” Itulah ekspresi mendasar manusia yang muncul di awal film Joker. Film yang mengundang beragam komentar, analisis, kritik, sekaligus apresiasi.

Dalam ungkapan itu, Arthur gamang memutuskan. Hatinya bergolak. Memeluk kehidupan atau merengkuh kematian saja. Hadapannya gelap. Dan, yang pasti, galau bagaimana mengisi ruang di antara keduanya. Bentang antara maut dan hayat.

Padahal, rentang itulah perjalanan sejati manusia. Mereka yang merasa lebih dekat dengan kematian akan berbuat baik. Sebaik-baiknya. Bahkan, tidak cukup sebanyak-banyaknya. Jika terlena dalam petualanga­n dunia, manusia memuaskan diri dalam selimut nafsu. Seolah tidak akan mati. Dia menahbiska­n diri sebagai Joker.

Bukankah pilihan

Joker yang ”sakit jiwa” itu sangat rasional.

Tegas memikirkan mati lebih dulu daripada hidup. Kitab suci pun menyebutka­n bahwa mati secara berulang lebih dulu daripada hidup. Itu alarm bagi manusia. Ingat akan kematian sesungguhn­ya

”lebih waras” daripada terpesona kehidupan dunia. Yang serbamaya dan serbafana.

Arthur mungkin hanya tidak tahu ke mana harus bertanya. Pencipta hidup dan mati tidak dia kenal. Jadi, dia merasa tidak tahu apakah dalam hidupnya menduduki eksistensi. Merasa tidak ada, tapi faktanya ada.

Eksistensi itu kemudian muncul berupa kegemaran menebar keonaran. Menyuburka­n disharmoni. Kota Gotham yang terbakar begitu indah di matanya. Semua dilakukan dengan dingin. Tanpa penyesalan. Seakan hatinya telah mati.

”Aku mengira hidupku adalah tragedi. Tapi, ternyata hidupku adalah komedi.” Arthur menganggap hidup di dunia ini tak lebih dari sekadar permainan. Hanyalah senda gurau. Parodi. Sebelum kehidupan sejati setelah mati. Akhirat.

Semula, dia juga berpikir akan menyesal dengan semua tindakan disharmoni­nya. Tapi, ternyata tokoh yang diperankan Joaquin Phoenix tersebut justru puas kelas dewa. Arthur sang pelawak teperdaya diri sendiri. Seakanakan tidak ada lagi yang bisa menyakiti. Saat melampiask­an murka begitu rupa. Padahal, kian Joker menuruti amarahnya, semakin dia tidak merasa aman. Pesonanya menjadi gelap gulita.

Joker tak ubahnya anak-anak dalam kehidupan. Jika diperlakuk­an baik merasa bahagia, lalu merespons dengan kebaikan. Tapi, ketika dijahati, dia membalas dengan sadis. Tergambar nyata saat menghabisi Randal yang memberinya pistol. Setelah itu, melepas Gary yang di persepsiny­a selalu bersikap baik.

Tapi, benarkah Joker sungguh-sungguh menemukan kenikmatan saat berbuat jahat? Tidak. Dia menyembuny­ikan siksaan. Seperti manusia yang diciptakan dari tanah. Apakah dia menemukan kenikmatan ketika hidup-hidup dikubur di dalam tanah. Seperti juga iblis yang tercipta dari api dan akan dilemparka­n ke dalam api yang menggelega­k. Hanya ada kesengsara­an. Penyesalan.

Rasanya Joker begitu berhasrat masuk neraka. Seperti Kota Gotham yang kehilangan jalannya. Tokoh Joker dalam lima karakter pemerannya lahir dari sebuah peradaban yang mendewakan kekuasaan sebagai tujuan utama. Menjadi penguasa merupakan titik kulminasi segala capaian profesi. Orang kaya, figur populer, dan profesiona­l apa pun ingin berkuasa. Seperti Thomas Wayne dan Murray Frankline. Keduanya sama-sama ambisius. Ambisi berkuasa itulah yang pada hakikatnya merupakan sumber keonaran. Biang keladi disharmoni. Sumber sakit jiwa.

Bagaimana bisa seorang Joker yang divonis sakit jiwa mampu berfilosof­i. Tentang pilihan antara kehidupan dan kematian. Tentang bagaimana mengisi hidup di dunia ini yang tak ubahnya komedi. Tentang hakikat kebahagiaa­n.

Benarkah dia ”gila”? Mungkin Joker versi sutradara Todd Philips ini cuma butuh lawan sekaligus kawan. Seorang Superman, misalnya. Superhero penjelajah cakrawala dunia yang lebih luas. Yang pernah membuktika­n bahwa alam semesta berisi bintang-bintang, tata surya, dan miliaran atau mungkin triliunan galaksi. Yang ajaib, semuanya serba teratur. Harmonis. Jauh dari secuil titik seperti Kota Ghotam.

Superman teranugera­hi kekuatan yang melebihi logika sains. Percaya ada satu rahasia kekuatan, tetapi sekaligus yakin ada pemilik kekuatan lain yang tidak terukur. Yang imanen sekaligus transenden.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia