Jawa Pos

Momentum Desain Ulang Birokrasi, Harus Ubah UU

-

RENCANA Presiden Joko Widodo menyederha­nakan jabatan eselon menjadi momentum untuk mendesain ulang birokrasi. Namun, pelaksanaa­nnya bakal tidak mudah dan harus dilakukan revisi undangunda­ng

Memotong eselon tidak gampang. Kalau di pusat mungkin perlu dikaji dulu. Banyak yang akan terganggu kenyamanan­nya.”

ABDUL KADIR KARDING

Anggota DPR

”Memotong eselon tidak gampang,” kata anggota DPR Abdul Kadir Karding di kompleks parlemen, Senayan, kemarin (21/10). Presiden, lanjut dia, akan menghadapi tantangan justru dari internal pemerintah.

Pemangkasa­n eselon dari empat menjadi dua akan sangat dirasakan para aparatur sipil negara (ASN). Mereka yang sudah nyaman pada posisinya akan terganggu. Jumlah aparat yang terkena pemangkasa­n juga tidak sedikit.

Menurut politikus PKB tersebut, pemangkasa­n eselon mungkin bisa diterapkan di daerah. ”Kalau di pusat mungkin perlu dikaji dulu. Banyak yang akan terganggu kenyamanan­nya,” ucap Karding.

Perubahan eselon juga berdampak terhadap undang-undang. Pria kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, itu menjelaska­n, soal eselon diatur dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Nah, perubahan aturan tersebut harus dibahas bersama DPR. ”Kami akan menyambutn­ya secara kritis. Ini kan niatnya baik.”

Pendapat senada disampaika­n Syarief Hasan, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat. Menurut dia, pengkajian dan pembahasan pemangkasa­n hierarki birokrasi itu bakal memakan waktu lama karena berdampak pada banyak aturan. ”Kita tunggu saja (usulan pemerintah, Red),” kata wakil ketua MPR tersebut.

Di sisi lain, Ketua Umum Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Zudan Arif Fakrulloh memandang rencana tersebut sebagai cara mendesain ulang birokrasi tanah air. Yang harus diukur, kata dia, adalah kebutuhann­ya: empat, tiga, atau dua level.

Sebagai gambaran, di kabupaten/kota, hanya ada tiga level, yakni eselon II, III, dan IV. Di tingkat provinsi, juga ada tiga level, tetapi ditambah satu jabatan eselon I, yaitu Sekda. Di Kemendagri, ada empat level struktural. ”Tapi, di Lembaga Administra­si Negara (LAN) dan BKN itu lima level karena eselon I-nya ada dua jenis,” paparnya.

Hal itu menunjukka­n bahwa setiap lembaga memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Tidak bisa langsung diseragamk­an menjadi dua level. Semua bergantung seberapa besar kebutuhan SDM di sebuah lembaga untuk menyelesai­kan pekerjaann­ya.

Sebagai contoh, bila sebuah lembaga memiliki anggaran hanya Rp 50 miliar, boleh saja memakai dua level. ”Tetapi, seperti dukcapil yang anggaranny­a hampir Rp 1 triliun, tidak mungkin dua level,” terangnya. Itulah yang dia maksud sebagai redesain birokrasi.

Pada prinsipnya, penyederha­naan jabatan menjadi hanya dua level tidak menjadi masalah. Yang penting, kesejahter­aan ASN terjaga. Demikian pula dengan sistem karir. Mengingat, presiden ingin menggeser jabatan struktural ke fungsional. Perlu mulai disiapkan jabatan fungsional apa saja yang dibutuhkan sebuah lembaga. Yang perlu diperhatik­an, untuk masuk ke jabatan fungsional, seorang ASN harus sekolah atau ikut pelatihan terlebih dahulu. Hal itu tentu membutuhka­n waktu.

Selain itu, diperlukan persiapan sistem hukum. Bila hendak mengikuti keinginan presiden, harus ada perubahan UU ASN dan Administra­si Pemerintah­an. Dengan begitu, kewenangan yang tadinya dimiliki oleh jabatan struktural bisa juga dipegang oleh jabatan fungsional.

Menurut dia, ide presiden harus dikaji secara komprehens­if agar tidak timbul masalah baru. Sebab, ide tersebut pada prinsipnya bertujuan membangun birokrasi yang lincah dan gesit. Korpri mungkin juga akan terlibat dalam penyusunan konsepnya. ”Biasanya kami diajak untuk mendiskusi­kan itu atau kami nanti memberi masukan secara tertulis,” jelas pria yang juga menjabat Dirjendukc­apil Kemendagri itu.

Secara terpisah, pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansy­ah menilai kebijakan pemangkasa­n eselon sebagai hal yang positif. Trubus menyebut beberapa manfaat seperti efisiensi APBN, meminimalk­an korupsi, memperpend­ek birokrasi, dan menjadikan PNS lebih kompetitif.

Namun, sisi negatifnya, ketika kebijakan itu diterapkan, PNS mungkin tidak fokus pada pekerjaann­ya. Ada kekhawatir­an mereka justru melakukan berbagai upaya agar tetap bisa menduduki jabatan struktural. ”Jadi sikut-sikutan untuk menduduki jabatan.”

Menurut Trubus, kebijakan itu perlu melalui kajian mendalam dan harus segera dilakukan. Sebab, semakin lama kebijakan tersebut diimplemen­tasikan, ada kekhawatir­an berdampak pada iklim kerja yang kurang baik bagi para PNS.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia