Bahaya Laten Corruption by Design
Biarkan saja riuh bagi-bagi jabatan menteri. Urusan elite itu tak selalu relevan buat hajat rakyat. Kita simak saja pidato pelantikan periode kedua Joko Widodo (Jokowi) yang bertabur kata pembangunan, ekonomi, lapangan kerja, infrastruktur, produktif, inovasi, target… Bahkan, sebagai pemacu ”Indonesia Maju,” dilambungkan mimpi pendapatan per kapita Rp 27 juta per bulan pada 2045 (saat itu Jokowi berusia 84 tahun).
Kata-kata muluk seperti itu toh sudah pernah disampaikan berkali-kali. Kalau kata-kata yang diucapkan saja banyak yang tak terealisasi, apalagi yang tak dikatakan. Pidato inaugurasi periode kedua tersebut tak menggubris spirit demokrasi, hak asasi manusia (HAM), juga pemberantasan korupsi.
Padahal, ketiganya merupakan pilar berbangsa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab. Kurang Pancasilais, bila kemajuan pembangunan tak diiringi demokrasi, HAM, dan pemberantasan korupsi. Itulah yang terjadi pada zaman Orde Baru (Orba). Ketiganya dipasung atas nama stabilitas oleh aparat penguasa. Oligarki pun berkubang dalam gelimang korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
Mau program sehebat apa pun pembangunan, kalau tak disertai pemberantasan KKN, akan terulang demoralisasi Orba. Tandanya jelas, sudah berlaku undang-undang (UU) revisi yang mencabuti cakar dan gigi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi yang sempat ”mempertimbangkan” penerbitan perppu untuk mengoreksi kini seperti tak peduli. Padahal, belum kering kuburan anak-anak muda yang gugur dalam memprotes revisi UU buruk itu.
Perppu tersebut mesti terus ditagih. Sebab, revisi UU KPK ini terkesan sebagai corruption
by design, dirancang untuk memudahkan tindak korupsi. Penindakan dilonggarkan, seperti memberi ruang agar para kleptokrat hedonis dan ”kleptoporate” (korporat korup) berpesta menggarong negara.
Ini ironis, karena nyawa keuangan pemerintah makin tergantung ke rakyat. Target penyedotan pajak Rp 2.251,5 triliun dari kekuatan APBN Rp 2.540,4 triliun pada 2020. Karena menjadi ”peminta-minta” ke rakyat, semestinya pemerintah makin akuntabel dan demokratis. Bukan malah menyuburkan bahaya laten korupsi dengan memanipulasi kewenangannya membuat UU, ditambah kedegilan represif.
Cobalah kelakuan itu ditimbang dengan Pancasila. Senormalnya Pancasila lebih diterapkan pada diri penguasa, jangan hanya digunakan untuk menggebuk pihak yang tak disuka. (Hello… para pinisepuh di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, mengapa ukuran Pancasilais tidak digunakan untuk mengukur tingkah penguasa?)
Tak perlu kita terpaku pada bagi-bagi kursi. Lebih penting: lawan ”reformasi dikorupsi”. Terus tagih perppu revisi UU KPK. Biarin dianggap nyinyir.