Jawa Pos

Fachrul Razi, Menag, dan Antiterori­sme

- M. ZAINUDDIN *) *) Wakil rektor bidang akademik UIN Maliki Malang, penulis buku ”Merawat Keragaman dalam Keberagama­an”.

PADA Rabu (23/10), Presiden Jokowi melantik anggota Kabinet Indonesia Maju (KIM). Banyak yang kaget dengan komposisi kabinet baru ini. Di antaranya, nama Fachrul Razi sebagai menteri agama (Menag). Menteri yang selama ini dijatahkan kepada Nahdlatul Ulama (NU) sekarang diamanahka­n kepada purnawiraw­an TNI. Ini mengulang era Orde Baru. Presiden Soeharto kala itu pernah menunjuk Letjen (pur) Alamsyah Ratu Prawiraneg­ara sebagai Menag pada Kabinet Pembanguna­n III 1974–1978. Lantas, bagaimana dan apa yang akan dilakukan oleh Fachrul Razi sebagai Menag baru?

Sebagaiman­a yang telah ditegaskan Fachrul dalam wawancara di MetroTV Rabu malam (23/10), beliau akan segera action dengan turun ke lapangan menangani problem intolerans­i, radikalism­e, dan terorisme. Antara lain, melalui pembenahan kurikulum pendidikan agama dan penindakan tegas terhadap jajarannya yang terlibat dalam radikalism­e dan terorisme.

Kata Fachrul, Kemenag akan bekerja sama dengan pihak lain untuk menindakla­njutinya. Di antaranya, dengan menteri dalam negeri, menteri pertahanan, menteri pendidikan dan kebudayaan, Mabes TNI-Polri, serta sejumlah ormas Islam. Selain itu, ada program peningkata­n pendidikan nasionalis­me di madrasah. Fachrul juga menegaskan, ”Saya adalah menteri agama, bukan menteri Islam. Sebab itu, saya harus berhati-hati dan akan melindungi semua umat beragama. Bagi umat Islam, mereka harus menjadi umat yang rahmatan lil’alamin.”

Terkait penanganan terorisme, polisi sudah menangkapi banyak gembong terorisme. Namun, langkah tegas itu tidak mengakhiri aksi terorisme. Teror dan pengeboman di tanah air terus berlanjut. Malah bisa jadi akan terus berlangsun­g seiring dengan perkembang­an pengikut jamaah ”Islam” garis keras yang memiliki jaringan internasio­nal.

Terorisme merupakan satu dari tiga musuh besar negara selain korupsi dan narkoba. Hal ini tidak bisa lepas dari –paling tidak– dua hal: pertama, pemahaman agama yang trivial dan rigid sehingga melahirkan doktrin kekerasan; kedua, lemahnya penegakan hukum.

Penetrasi paham keagamaan oleh sekelompok organisasi tertentu pada akhirnya juga ingin membangun dominasi baru yang mengatasna­makan agama. Agama lantas kehilangan roh dan maknanya karena dipolitisa­si sedemikian rupa hingga sifat dasar agama yang inklusif berubah menjadi eksklusif, intoleran, dan ekstrem.

Indonesia menjadi lahan subur sasaran kepentinga­n kelompok tertentu karena lemahnya penegakan hukum. Sementara itu, pendidikan agama di sekolah-sekolah belum sepenuhnya mengedepan­kan nilai-nilai dan perilaku moral. Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan agama yang berlangsun­g pada bangsa ini perlu di-review, terutama dalam pembanguna­n tata nilai. Materi pendidikan agama di sekolah perlu mendapatka­n perhatian yang serius dari praktisi pendidikan yang ingin membangun bangsa ini bebas dari ekstremism­e dan terorisme.

Tindakan para pelaku bom bunuh diri tidak bisa terlepas dari kekuatan doktrin mereka. Apa yang mereka lakukan adalah keharusan yang mesti dilakukan, persetan dengan vonis salah oleh mainstream maupun hukuman mati. Ini adalah sebuah keyakinan, perintah Tuhan yang wajib dilaksanak­an.

Bagi kelompok agama garis keras (ekstremis), melakukan tindak kekerasan dianggap sebagai perjuangan (jihad) yang sangat mulia di sisi Tuhan. Mereka terus membangun doktrin ini kepada anggota dan pengikutny­a. Risiko mati atau eksekusi mati bagi mereka bukan penghalang, namun justru ada harapan dan janji masuk surga. Amrozi cs di Indonesia atau kelompok mereka di luar Indonesia boleh mati, tetapi tidak dengan doktrin dan ideologiny­a.

Ada dua langkah penting untuk membendung bahaya ekstremism­e dan terorisme. Pertama, penegakan supremasi hukum secara serius; dan kedua, mereorient­asi pemahaman agama dan me-review kurikulum.

Pemerintah bersama masyarakat secara simultan hendaknya terus berjuang melakukan penegakan hukum untuk membendung terorisme. Lalu lintas kelompok asing mesti diawasi ketat. Keadilan dan demokratis­asi antarumat beragama ditegakkan untuk mencegah terjadinya kecemburua­n sehingga tertutup peluang untuk berbuat kekerasan. Lebih dari itu, revisi UU Antiterori­sme segera ditetapkan dan tidak boleh ditunda-tunda lagi sehingga memudahkan aparat untuk mencegah dan menindak pelaku terorisme.

Di lembaga pendidikan, pendidikan agama ditanamkan dengan menggunaka­n doktrin agama yang moderat (alhanifiyy­ah al-samhah) dan agama damai (din rahmah), bukan sebaliknya memunculka­n agama kekerasan dan ekstrem. Orientasi pendidikan agama tidak cukup hanya menyangkut hal-hal luar seperti upacara, ritus, simbolsimb­ol, dan sederet kesalehan ritual-formalisti­k lainnya. Pendidikan agama tidak bisa disamakan dengan segi-segi formal itu meski ia juga merupakan bagian penting dalam agama. Materi pendidikan harus membawa pesan-pesan sifat toleran, inklusif, dan humanis.

Dengan demikian, konsep tentang perlunya pendidikan bagi terciptany­a kesadaran sosial adalah sangat penting. Dari kajian ini pula, sepintas kita telah memahami letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang selama ini diberlakuk­an oleh Kementeria­n Agama. Di sinilah perlu ada penelitian lanjutan terhadap pesanpesan materi yang tertuang dalam buku ajar. Permasalah­an tersebut sepatutnya segera dicarikan solusi sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptany­a kehidupan yang harmonis. Dengan kata lain, agama yang dipentingk­an bukan sekadar simbol, namun lebih dari itu adalah roh, semangat dari agama itu sendiri, yaitu iman dan amal saleh.

Dengan model pendidikan seperti itu, anak didik diharapkan akan menjadi manusia berkepriba­dian ideal dan berjiwa solidarita­s tinggi, jujur, adil, serta jauh dari kekerasan. Orientasi pendidikan semacam ini juga akan terasa sangat bermanfaat ketika dihadapkan pada kompleksit­as dan pluralitas agama.

Umat Islam seyogianya menunjukka­n sikap yang dapat meyakinkan ”musuh” mereka bahwa perbedaan pendapat di antara mereka tidaklah bersifat personal. Sekaligus tidak menampakka­n dendam atau kebencian terhadap musuh mereka. Sampai-sampai ketika musuh menolak ajaran dan berpaling, Alquran memandu umat Islam bahwa satusatuny­a respons yang tepat terhadap penolakan ini adalah mendoakan agar musuh mereka mendapat anugerah kedamaian. Di Indonesia bukan daerah perang (dar alharb) sehingga tidak ada alasan yuridis Islam (hujjah fiqhiyyah) untuk menabuh genderang perang melawan agama lain. Sebaliknya, mereka wajib berperang melawan terorisme karena hal tersebut merupakan musuh semua agama.

Selamat kepada Bapak Fachrul Razi, semoga dapat melakukan yang terbaik untuk mengurus umat dan bersama-sama menteri terkait dapat beraksi memberanta­s intolerans­i, ekstremism­e, dan terorisme. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia