Jawa Pos

NYALI DI HADAPAN PARANG DAN JERIKEN BAHAN BAKAR

Seandainya Nikolas Itlay telat mengambil keputusan evakuasi, ratusan nyawa bisa terancam. Dia berharap dampak kerusuhan Wamena tak merusak harmoni lintas etnis di distrik yang dipimpinny­a.

-

DI tangan kanan mereka tergenggam parang. Dan ada jeriken berisi bahan bakar di tangan kiri. Nikolas Itlay mengingat, massa dalam jumlah 200 hingga 300-an orang itu mengenakan seragam sekolah. Tapi dengan postur yang agak tidak lazim

”Mereka anak-anak sekolah yang tidak pernah saya lihat,” kata kepala Distrik Hubikiak, Kabupaten Jayawijaya, Papua, tersebut.

Namun, bukan itu yang paling dia cemaskan. Melainkan sasaran serangan kekerasan yang sangat spesifik: warga pendatang. Padahal, Hubikiak adalah distrik tempat bermukim ribuan pendatang dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa yang berdamping­an dengan warga setempat.

Insting dan nyali Itlay sebagai pemimpin pun langsung tergerak. Semua warga non-Papua dia kumpulkan. Kemudian dievakuasi melalui Kali Hetuma. Menuju gereja terdekat, Lachai Roi, yang terletak di tepi kali tersebut. Tindakan itulah yang akhirnya menyelamat­kan banyak nyawa. ”Harus lewat sungai karena melalui jalan sudah tidak memungkink­an,” katanya kepada wartawan Jawa Pos Syahrul Yunizar sekitar dua pekan lalu (8/10).

Pada 23 September itu, Wamena, ibu kota Jayawijaya, memang membara. Dipicu rumor pelecehan rasial di salah satu sekolah, yang belakangan disebut pemerintah sebagai hoaks, kerusuhan meluas. Korban tewas mencapai puluhan. Sedangkan ribuan warga, mayoritas nonPapua, mengungsi dan meninggalk­an Wamena.

Semua itu selama ini tak terbayangk­an di Hubikiak. Tempat 17 ribuan warga dari berbagai etnis hidup dalam harmoni. Sepanas apa pun kondisi yang terjadi di Wamena tak pernah sampai ke Hubikiak.

Sampai ketika pada Senin (23/9) pagi itu saat Itlay selesai memimpin apel. Biasanya, setelah selesai apel, pria 38 tahun yang sudah dua periode memimpin Hubikiak tersebut akan mencurahka­n waktu untuk melayani masyarakat. Tapi tidak pagi itu. Massa yang entah dari mana datangnya mengepung Itlay dan para warga Hubikiak.

Memang yang disasar para pendatang. Tapi, aksi massa tersebut –yang membakar gedung, ruko, dan rumah-rumah– membuat sebagian warga lokal khawatir. Jadilah mereka ikut dalam rombongan yang dievakuasi Itlay ke gereja. Kelompok massa penyerang terus membayangi. Mereka berlarian pelan, mengikuti aliran Kali Hetuma sampai di belakang gereja.

Itlay sadar ada risiko massa mengetahui jalur evakuasi yang dia pilih. Tapi, dalam situasi terjepit saat itu, hanya Kali Hetuma yang paling aman untuk menjauhkan massa dari masyarakat yang dia selamatkan. Sementara dirinya bertahan dan mencoba menenangka­n massa. ”Kalau kami di sini, kami angkat tangan, massa pasti diam,” ujarnya.

Namun, itu tidak terjadi. Amuk massa tetap berlanjut. Belakangan, setelah massa berhasil dikendalik­an sekaligus dipukul mundur aparat keamanan, Itlay sadar. Massa yang mengamuk itu tidak semuanya masyarakat Hubikiak. Banyak di antara mereka yang datang dari luar. Yang entah dari mana asalnya. ”Mereka bukan masyarakat lembah,” ungkap ayah dua anak tersebut.

Dari serangan pada Senin pagi itu, tiga orang warga Hubikiak meninggal. Itlay tidak ingat pasti berapa jumlah orang yang berhasil dia evakuasi kala itu. Sekitar ratusan, mayoritas warga pendatang. Tapi, ada juga warga lokal.

Itlay tak bisa membayangk­an seandainya tidak mengambil risiko menyelamat­kan para pendatang lewat sungai. Atau telat melakukann­ya. Di luar itu, yang sangat dia cemaskan dari kejadian tersebut adalah rusaknya jalinan persaudara­an lintas etnis penghuni Distrik Hubikiak yang berjarak sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Wamena itu. Padahal, selama dua periode memimpin, itulah yang selalu berusaha dia rawat dan jaga.

Setelah kerusuhan, Itlay belum tahu pasti jumlah masyarakat pendatang yang tersisa di Hubikiak. Banyak di antara mereka yang memilih keluar dari Jayawijaya. Mereka meninggalk­an Hubikiak, meninggalk­an Wamena yang sudah jadi tempat tinggal. ”Tapi, ini sementara saja. Kami juga paham,” ujarnya.

Itlay yakin cepat atau lambat mereka akan kembali. Dia berharap kejadian serupa tidak terulang. Sehingga kerukunan di antara masyarakat Hubikiak terus terjaga. Tanpa membedakan asli maupun pendatang atau keturunan. Mereka yang tinggal di Hubikiak, tegas Itlay, punya hak sama. ”Hidup berdamping­an sebagai saudara satu bangsa,” tuturnya.

 ?? HENDRA EKA/JAWA POS ??
HENDRA EKA/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia