Jawa Pos

Semua Sahabat, Tak Ada Istilah Asli dan Pendatang

-

PULUHAN siswa SD itu menari bersama. Wajah mereka cerah. Seolah lupa peristiwa mengerikan yang menimpa kota tempat mereka tinggal dua hari sebelumnya.

Semua siswa SD Triesa Unggul, Jayawijaya, Papua, itu kompak bermain bersama Komunitas Sahabat Sesama. Komunitas tersebut fokus melaksanak­an trauma healing terhadap anak-anak pasca kerusuhan di Wamena. ”Karena saya punya dua adik juga. Saya lihat mereka trauma,” kata Ni Made Christine, salah seorang relawan, tentang alasan dirinya dan komunitasn­ya tergerak

Gadis 19 tahun tersebut lahir dan besar di Wamena. Dengan ayah asal Bali dan ibu dari Papua. Adik pertama Christine berusia 14 tahun. Dia bersekolah di SMPN 1 Wamena. Sedangkan adik bontotnya berumur 9 tahun. Masih di bangku SD YPPK Santo Yusuf.

Keduanya tengah sekolah ketika kerusuhan terjadi pada 23 September lalu. Walau tidak sampai terluka fisik, psikis kedua adiknya terguncang. Pasca kejadian, mereka enggan keluar rumah, takut melihat orang membawa parang, juga cepat kaget saat mendengar suara-suara keras.

Christine memaklumi itu. Sebab, kerusuhan di Wamena bermula dari sekolah. Dia juga tidak kaget saat kedua adiknya menolak berangkat sekolah. Pelan-pelan, dia coba ajak mereka bermain, membaca dongeng, dan menonton. ”Sebisa mungkin menjauhkan mereka dari topik kerusuhan.”

Cara itu cukup efektif. Pelanpelan kedua adiknya mau keluar rumah. Bertemu kawan mereka dan mulai sekolah dua pekan setelah kerusuhan (7/10).

Trauma kedua adiknya membuat Christine merasa perlu turun tangan. Menjadi relawan yang setiap hari keliling menghibur anak-anak di lokasi pengungsia­n. Walau punya pekerjaan tetap di salah satu hotel di Wamena, Christine tetap meluangkan waktu.

Sejak 26 September dia bergabung dengan Sahabat Sesama. Sebelum bekerja sore hari, dia keliling menemui anak-anak di tenda-tenda pengungsia­n.

Bagi Christine, bukan hanya fisik bangunan yang harus dipulihkan, psikologi anak-anak juga penting. Dan, itu tidak bisa dilakukan hanya dengan uang atau benda lainnya.

”Anak-anak itu saya lihat seperti adik sendiri,” imbuhnya.

Jeritan anak-anak yang dia dengar saat kerusuhan kini berganti senyuman. Itu, antara lain, tampak pada siswa SD Triesa Unggul yang diajak menari bersama-sama. ”Menyenangk­an sekali melihat anak-anak kecil bisa tertawa lagi. Bisa sekolah lagi,” kata Christine.

Sejak kali pertama bergerak, perempuan yang hendak melanjutka­n studi di Selandia Baru itu sudah keliling banyak tempat. Dari pengungsia­n sampai sekolahan.

Christine mengakui, dirinya melihat langsung anak-anak di Wamena begitu akrab. Tidak ada asli atau pendatang di mata anakanak itu. ”Mereka sangat dekat sekali. Tidak ada permusuhan di antara mereka,” paparnya.

Persis serupa dirinya, yang diterima dengan baik oleh masyarakat asli Wamena. Meski, orang tuanya tidak berasal dari sana. Kerukunan itulah yang dia harapkan terus hadir.

Christine pun berjanji, kegiatan yang dirinya lakukan bersama Sahabat Sesama tidak akan berhenti. Setidaknya sampai Wamena benar-benar pulih. Kembali bangkit setelah dirundung duka.

 ?? HENDRA EKA/JAWA POS ??
HENDRA EKA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia