Jawa Pos

Kedarurata­n yang Dipermanen­kan

Ada kesan bahwa pandangan Agamben terhadap demokrasi sangat suram. Tapi, sebenarnya dia mengajak kita melihat borokborok demokrasi dan bersamasam­a memperbaik­inya.

- DHIMAM ABROR DJURAID Dosen Stikosa-AWS

KITA semua hidup dalam sebuah kamp konsentras­i raksasa. Diatur dengan hukum yang mengikat dan mengekang, tetapi tidak melindungi.

Hak-hak kita diatur dengan rapi oleh seperangka­t aturan atas nama hak asasi manusia. Keberadaan kita, kebutuhan kita, keamanan kita, dan bahkan kebutuhan kesehatan kita, semuanya diatur melalui perangkat hukum dan undang-undang.

Kamp konsentras­i ini seperti sebuah akuarium raksasa. Semua aktivitas di dalamnya terpantau mata malaikat yang memantau 24 jam seperti Si Big Brother dalam novel 1984 karya George Orwell.

Kamp besar itu bernama negara yang mempunyai kewenangan atas hidup warganya dan mengatur semua hajatnya. Negara mengeluark­an hukum dan mempunyai kekuatan untuk memaksa siapa pun untuk menaatinya dan menghukum siapa yang melanggarn­ya.

Tidak ada seorang pun yang berada di luar jangkauan hukum. Semua terjangkau oleh hukum itu sendiri tanpa terkecuali. Tidak ada pengecuali­an.

Kecuali bagi negara itu sendiri. Ya. Negara menciptaka­n hukum dan aturan. Tetapi, pada saat yang sama, negara berada di luar hukum. Bahkan di atas hukum.

Negara macam apa ini? Negara fasis, komunis, diktatoria­l, otoritaria­n? Bukan. Ini negara demokrasi modern. Komplet, ada asas trias politika, eksekutif, legislatif, dan judikatif yang saling melakukan checks and balances dan menjalanka­n prinsip pembagian kekuasaan secara proporsion­al.

Itulah gambaran yang diberikan oleh filsuf politik kontempore­r kenamaan Italia, Giorgio Agamben. Tentang kondisi kedarurata­n yang menjadi permanen yang dialami oleh manusia yang hidup di kamp-kamp pengungsia­n.

Kamp-kamp konsentras­i itu beroperasi dalam kondisi darurat. Pada kondisi itu, manusia kehilangan kemanusiaa­nnya. Ia disebut sebagai homo sacer. Ia menjadi objek kekerasan dan tercerabut hak-haknya.

Anda yang berada di Jawa Timur tak perlu jauh-jauh mencari sekelompok homo sacer. Di kompleks Pasar Induk Puspa Agro milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Jemundo, Sidoarjo, ratusan homo sacer terkurung di tempat penampunga­n pengungsi itu. Jumlahnya 340 orang dari berbagai negara seperti Afghanista­n, Uzbekistan, Myanmar, dan beberapa negara Timur Tengah.

Berapa juta manusia di dunia ini sekarang hidup sebagai homo sacer. Mereka adalah para pengungsi Timur Tengah yang mencari suaka di Eropa karena dikejar-kejar oleh rezim di negerinya sendiri.

Bagaimana ini bisa terjadi. Negara melakukann­ya dengan menerapkan keadaan darurat. Bisa keadaan darurat apa pun. Darurat militer, darurat sipil, darurat perang, darurat terorisme, darurat bencana, darurat narkoba, darurat pengungsi, dan masih banyak darurat-darurat yang lain.

Namanya juga darurat, seharusnya bersifat sementara. Tapi, yang terjadi kedarurata­n itu malah dipermanen­kan, dilembagak­an, sehingga menjadi legitimasi bagi tindakan-tindakan di luar hukum. Hukum ada, tetapi sekaligus tidak ada. Hukum seharusnya melindungi, tapi malah menyiksa.

Lihatlah di negeri kita ini. Penguasa mengumumka­n kondisi darurat terorisme, darurat radikalism­e. Maka, semua tindakan di luar hukum bisa dilakukan.

Negara mengatur pendidikan kita. Negara mengatur kesehatan kita dengan mengeluark­an jaminan BPJS. Tetapi, kita tidak berdaya ketika pemerintah dengan semena-mena menaikkan iurannya sampai seratus persen.

Bagaimana mengukur kondisi darurat, apakah ada parametern­ya? Ternyata hal itu tak penting. Yang penting adalah negara mengeluark­an pengumuman keadaan darurat sehingga bisa mengambil tindakan yang diinginkan.

Buku Demokrasi dan Kedarurata­n ini merupakan disertasi doktoral Agus Sudibyo di Fakultas Filsafat Universita­s Driyarkara, Jakarta. Agus Sudibyo dengan gemilang berhasil mempertaha­nkan disertasin­ya dan lulus dengan predikat cum laude. Pembacaann­ya yang komprehens­if terhadap karya-karya Agamben, dan analisisny­a yang tajam dan teliti, membuatnya pantas mendapatka­n predikat itu.

Ada kesan bahwa pandangan Agamben terhadap demokrasi sangat suram. Ia berpandang­an nihilis dan pesimistis terhadap demokrasi. Apalagi, dalam buku ini Agus Sudibyo banyak mengutip pandangan Hannah Arendt untuk memperband­ingkannya dengan Agamben.

Arendt juga mempunyai pandangan yang suram dan pesimistis terhadap demokrasi. Sehingga pembacaan yang tidak teliti terhadap dua filsuf itu akan menghasilk­an pandangan yang negatif terhadap demokrasi.

Tetapi, seperti dikutip Churchill pada 1940-an, democracy is the worst government except of all the others. Demokrasi adalah bentuk terburuk dari sebuah pemerintah­an, tetapi tetap yang terbaik di antara yang ada. Dan, alih-alih mendiskred­itkan demokrasi formal, Agamben sebenarnya mengajak kita untuk melihat borok-borok demokrasi dan bersama-sama memperbaik­i. (*)

 ??  ?? JUDUL BUKU: Demokrasi dan Kedarurata­n; Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben PENULIS: Agus Sudibyo PENERBIT: Marjin Kiri, Jakarta TEBAL: 318 halaman
JUDUL BUKU: Demokrasi dan Kedarurata­n; Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben PENULIS: Agus Sudibyo PENERBIT: Marjin Kiri, Jakarta TEBAL: 318 halaman
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia