Sembilan Ronin Era Figital
PURI Kira Jepang diserang 47 prajurit Musashi tengah malam 14 Desember 1702. Aksi penyerangan dipimpin Lord Oishi Kuranosuke. Sebuah serbuan balas dendam atas kematian Lord Asano Takumi. Mereka membawa potongan kepala Kira Yoshioda ke Kuil Sengakuji.
Lord Oishi Kuranosuke, sebelum menyerbu kediaman Kira, meminta bantuan Seno Magozaemon. Dia adalah Musashi kepercayaan Oishi lain. ”Tolong jaga Karu istriku. Dia sedang mengandung anakku.” ”Amanah tuan akan saya tunaikan”, jawab Magoza.
Musashi yang setia itu, pada malam gelap gulita di musim salju, membopong bayi perempuan belum genap setahun. Orok bernama Oishi Kane itu ditinggal mati ibunya karena sakit. Karu, sebelum wafat, berwasiat kepada Magoza. ”Rawatlah bayiku sampai dewasa. Jodohkan anakku dengan keluarga pedagang. Jangan sampai dia hidup susah karena bersuami berkasta kesatria.”
Magoza merawat anak perempuan itu melewati masa kanak-kanak dan remaja. Ia menyamar sebagai rakyat biasa bernama Kariya Moge. Bersama Oishi Kane, anak angkatnya, Magoza menumpang di rumah Yugiri, seorang geisha di Shimabara. Yugiri mengajari Kane tata krama, menulis, dan musik. Keterampilan dasar bagi seorang wanita penghibur.
Kane, saat berumur 16 tahun, memesona hati seorang pemuda bernama Suichiro. Dia anak saudagar kain, Chaya Shirojiro. Pedagang kaya yang sangat berpengaruh di Kyoto. Mereka bertemu pada pertunjukan teater boneka di Takemoto. Dengan berat hati Putri Kane menerima pinangan keluarga saudagar itu.
Bagi Chaya Shirojiro, Lord Oishi Kuranosuke, adalah seorang Bushido sejati. Magoza dan para penggawa Klan Asano mengantar Kane pada malam puncak pesta pernikahan. Magoza lega menyaksikan anak asuhnya mendapat suami seorang pedagang.
Sesuai wasiat mendiang ibu Kane, veteran pendekar itu menyelinap keluar dari kerumunan pesta. Si Ronin, samurai tak bertuan itu, mendatangi sebuah kuil Shinto tak jauh dari rumah saudagar kaya. Dia mengenakan kimono yang dijahit sendiri oleh Kane.
Di dekat altar pemujaan dia membuka pedang pendek (katana) yang dibungkus kertas bertulisan sumpah prasetya. Sembari menyalakan dupa, sang Ronin berdoa. ”Aku telah memenuhi tugas besar yang Tuan Oishi percayakan kepadaku. Kini perkenankan aku bersatu kembali dengan
Tuan di alam ketiga. Aku ingin bereinkarnasi bersama Tuan.”
Pendekar tua itu menghunus katana. Menusuk perut bagian kiri dalam-dalam, lalu menggerakkannya ke kanan. Sang Ronin menjalankan seppuku. Ritual terakhir sesudah menyelesaikan
mission impossible. Magoza, sebagai prajurit Bushido, membuktikan bahwa dirinya bukan pengecut yang takut mati.
***
Heroisme Ronin yang setia tersebut dikisahkan untuk sembilan anak muda berusia 16 tahun di perbukitan terpencil di tenggara Yogyakarta. Sembilan pemuda generasi figital (hidup di dunia fisik sekaligus digital) dengan segala kerumitan kepribadiannya itu sedang menjalani hari ke-4 latihan kepanduan tingkat dasar (LKTD). LKTD khusus untuk siswa yang pernah tidak naik kelas.
Hari pertama, mereka menjalani perigrinasi (berziarah jalan kaki) sejauh 15 km. Perjalanan siang hari pada suhu 37 derajat Celsius yang menakar tapal batas kemampuan fisik dan mental. Jarak tempuh memang dekat. Kendati demikian, mereka harus melewati jalur pegunungan karst yang terjal dan mendaki. Pula menggendong ransel berat mengangkut peranti survival. Mereka tak boleh membawa bekal uang dan peranti komunikasi. Sepanjang jalan mereka juga harus bekerja dan mencari makan siang sendiri.
Sesampai di lokasi tujuan, mereka mendirikan bivak di alam terbuka untuk ngaso malam hari. Mereka, sesudah mandi sore hari, menjalani
lectio divina. Baca buku rohani untuk transendensi (memaknai) pengalaman manusiawi mereka sepanjang hari yang tidak gampang. Buku yang mereka baca adalah tulisan James Martin S.J.,
Spiritualitas Jesuit dalam Keseharian (2012). Usai makan malam, peserta melakukan orasio. Satu per satu berbagi cerita pengalaman diterangi dengan hasil membaca buku rohani. Sebelum tidur, seluruh peserta melakukan meditasi pribadi. Mereka bisa berdamai dengan diri sendiri: sabar, syukur, dan sederhana.
Peserta belajar menghayati dan menghidupi 10 butir kepanduan: Energi mengikuti imajinasi; Kita semua sama; Bilang A kerjakan A; Satu bicara yang lain mendengarkan; Totalitas tidak setengah hati; Proaktif dan berinisiatif; Kreatif dan antisipatif; Mengedepankan rasa ketimbang logika; Mau walaupun sukar, mau karena sukar; dan Kita hanya bisa memberikan yang kita miliki. Sepuluh butir kepanduan itu dipadatkan menjadi satu kata ”KESETIAAN”. Agar mudah dioperasionalkan.
Sepanjang hari kedua, sejak pagi hingga sore, mereka turun tangan membersihkan sampah di tempat mereka berkemah. Itu merupakan kegiatan utama peserta. Diawali dengan meditasi dan makan pagi, diselingi istirahat makan siang dan bacaan rohani. Malamnya diadakan pengendapan dengan orasi dan meditasi. Pada hari kedua, kesembilan peserta benar-benar sudah menghayati dan mempraktikkan 10 butir kepanduan. Mereka bisa berdamai dengan sesama: mengasihi, memberi, dan memaafkan.
Seorang peserta, pecandu games online, menceritakan pengalamannya begini. ”Kalau kamu tahu jalan itu buruk mengapa kamu tetap mengambilnya? Kekuatan jahat itu menjebak manusia dalam bentuk tiga karakter. Anak manja yang lemah saat ditegasi dan kuat jika diberi hati. Kekasih palsu yang merahasiakan godaan, keraguraguan, dan keputusan. Komandan palsu yang menyerang titik lemah saat musuh lengah.” Penggila
games itu sedang mendedah bacaan yang mengesan baginya. Bacaan yang membuatnya sadar nyaris kehilangan segala-galanya karena roh jahat yang membuatnya kecanduan games.
Pada hari ketiga, peserta perigrinasi ke perbukitan karst tenggara Yogyakarta. Aktivitasnya sama: berziarah, kerja tangan, dan olah batin. Mereka bersembilan bertemu dengan seorang janda beranak enam yang menghibahkan berhektare-hektare ladangnya untuk tempat ziarah pada 2006. Tiga tahun kemudian tempat itu dibangun sebagai taman doa. Pembangunan hampir selesai pada 2012. Janda miskin itu mendapat cobaan berat. Tempat ziarahnya diprotes keras kaum intoleran yang berafiliasi pada gerakan radikalisme. Pintu masuk gang ditutup penentang dengan batu tujuh truk.
Janda miskin dengan keenam anaknya tetap tawaduk dan setia. Mereka percaya pada penyelenggaraan Ilahi. Providentia Dei merupakan nilai yang diperoleh peserta LKTD saat berziarah, bekerja, dan berdoa di perbukitan kapur itu. Di tempat itulah mereka menamakan diri Sembilan Ronin. Prajurit muda yang setia pada penyelenggaraan Ilahi.
Pada hari kelima, saat pulang ke Jogja dengan jalan kaki, Sembilan Ronin itu sudah bisa berdamai dengan Tuhan: surrender. Mereka memulai dengan kesabaran. Mengakhirinya dengan kepasrahan. Kelak mereka akan menjadi martir yang berani hidup bagi kemuliaan Tuhan dan kebaikan bangsanya.