Menyamankan Serambi Timur Nusantara
Wakil ketua DPD 2004–2014, komisioner Ombudsman 2016–sekarang
PEMULIHAN kondisi sosial pasca kerusuhan 23 September 2019 terus dilakukan pemerintah (pusat dan daerah) bersama kelompokkelompok strategis masyarakat setempat
Itu ditandai dengan mulai kembalinyasejumlahpengungsikeWamena. Bupati Jayawijaya pun menjamin keamanan mereka. Pemda jugasudahmenyatakanakanmembantukepolisianuntukmembangun 30 pos pengamanan di Wamena.
Tetapi, tampaknya suasana kondusif belum juga terjadi hingga hari-hari ini. Jumat (25/10) lalu, misalnya, kelompok kriminal bersenjata (KKB) kembali melancarkan aksinya yang sangat brutal dan bengis di Kabupaten Intan Jaya (Sugapa), Papua.
Kerusuhan yang terjadi di Wamena dan aksi KKB seperti yang terjadi di Sugapa, termasuk di dalamnya serangan terhadap dua orang (Deri Ratu Padang dan Bunga Simon) yang sedang mengendarai motor di daerah Wouma, 12/10), merupakan fenomena baru dalam konflik di Papua. Jika jujur, diakui sebagai cenderung bernuansa rasialisme. Dan hari-hari ini pun, secara politis, suasananya menjadi kian panas terkait dengan komposisi kabinet jilid II Presiden Jokowi yang tidak satu pun orang asli Papua berposisi sebagai menteri. Hanya ada satu figur orang asli ras Melanesia yang diangkat sebagai wakil menteri.
Sementara Bahlil Lahadalia, meski yang bersangkutan adalah putra Papua Barat dan ditegaskan Presiden Jokowi sebagai representasi Papua, tidak diakui para tokoh asli Papua ras Melanesia. Bahkan, keberadaan Bahlil itu dianggap sebagai orang pendatang yang mengambil jatah jabatan politik (menteri) yang seyogianya menjadi porsi orang asli Papua. Itu bukan mustahil akan menjadikan kian kuatnya sentimen negatif terhadap para pendatang.
Rasa khawatir orang-orang asli Papua terhadap pendatang dan kondisi di Papua tersebut tentu saja tidak sekonyong-konyong terjadi. Tetapi lebih merupakan letupan dari ketegangan sosial yang sudah lama berlangsung. Setidaknya hasil penelitian LIPI (Cahyo Pamungkas dkk, 2017) sudah memberikan isyarat adanya potensi konflik yang setiap saat bisa terjadi.
Dalam penelitian itu, terungkap hampir 70 persen penduduk asli Papua menyatakan bahwa kondisi di daerahnya mengkhawatirkan dan sangat mengkhawatirkan. Sementara penduduk Papua nonasli (pendatang) merasakan sebaliknya. Yakni, 63 persen menyatakan merasa kondisi Papua baik dan baik sekali –yang tentu saja tercipta karena kehadiran aparat keamanan (TNI dan Polri) di wilayah itu. Sayang sekali, hasil penelitian LIPI tersebut agaknya luput dijadikan rujukan bagi para pengambil kebijakan, khususnya pimpinan aparat keamanan (Polri dan TNI).
Secara sosiohistoris, warga Papua yang asal usulnya sebagai pendatang dari daerah/pulau lain setidaknya terbagi menjadi tiga kategori utama. Pertama, kelompok abdi negara sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan anggota TNI-Polri.
Kedua, melalui program pemerintah, yaitu transmigrasi. Ketiga, kelompok perantau sukarela dengan motivasi yang bersifat ekonomi, mengadu nasib untuk mendapatkan sesuap nasi, untuk menyambung hidup demi diri dan keluarga. Mereka datang dari berbagai penjuru daerah di Nusantara seperti Sulawesi, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sumatera. Dan ketika sudah memiliki mata pencaharian yang dianggap berprospek, mereka menetap di tanah Papua, menganggap Papua sebagai bumi hunian abadi. Hanya sesekali pulang bersilaturahmi ke kampung halaman, sekadar kangen-kangenan bersama keluarga besar. Hal itu juga yang terjadi pada keluarga dekat saya hingga saat ini. Mereka semua hidup nyaman-nyaman saja berdampingan dan bahu-membahu dengan warga asli Papua.
Namun, ketika terjadi peristiwa 23 September 2019 itu, mungkin sebagian di antara kita merasa sangat terkejut. Betapa tidak, dan ini juga berdasar pengalaman saya bergaul erat, berkomunikasi, dan bekerja sama dengan orang-orang asli Papua sejak 1990-an: saudarasaudara kita itu sangat baik, santun, menghargai, dan bahkan melindungi orang-orang dari suku atau etnis yang berbeda.
Kehadiran aparat keamanan (anggota TNI dan Polri) yang kian bertambah belum dipandang sebagai sesuatu yang menyejukkan bagi kelompok-kelompok warga asli Papua tertentu. Kelompok dan jaringan separatis sudah pasti (akan) terus melakukan propaganda negatif tentang keberadaan aparat keamanan. Sekaligus mungkin mengembuskan isu-isu provokatif terkait dengan para warga bukan asli Papua. Pada saat yang sama, belum tentu tidak muncul kecemburuan sosial akibat capaian kehidupan sosial ekonomi warga pendatang (pedagang dan pebisnis) yang potretnya lebih baik daripada kehidupan umumnya warga asli Papua.
Kecenderungan fenomena seperti digambarkan di atas kemudian diperparah dengan ”ungkapan kebencian berwatak rasialisme” yang dilakukan oknum-oknum tertentu terhadap mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya pada minggu ketiga Agustus lalu, yang kemudian membangkitkan protes masif warga asli Papua. Ungkapan tak beradab itu tentu tak mudah hilang atau bahkan boleh jadi masih terus membekas di dalam benak orang-orang asli Papua. Makanya, potensi ”serangan balik” bernuansa ketegangan rasialisme seperti yang terjadi di Wamena itu tetap saja terbuka. Dan karena begitu sensitifnya masalah tersebut, konon merebaknya isu ”ungkapan penghinaan ras” dari seseorang di Wamena, kendati kemudian dianggap hoaks, begitu cepat beredar dan membakar emosi massa pada 23 September 2019 itu.
Pemerintah dan jajaran pengambil kebijakan lainnya tentu tak boleh menganggap remeh masalah Papua tersebut. Pemerintah tak cukup hanya mengedepankan pendekatan formal seremonial, tapi harus lebih pada strategi budaya.
Pertama, memastikan adanya sosialisasi akulturasi dengan tetap menonjolkan budaya lokal. Dalam konteks ini, sudah saatnya Bumi Cenderawasih menjadi destinasi wisata baru di kawasan timur Indonesia. Tidak seperti sekarang yang cenderung jadi daerah tertutup bagi wisatawan mancanegara. Tepatnya, sudah saatnya Bumi Cenderawasih didandani dengan identitas budayanya sendiri.
Kedua, diperlukan kebijakan afirmatif yang lebih spesifik ke arah terbukanya peluang orang-orang asli Papua dalam berbisnis. Baik dalam implementasi penanganan proyek-proyek pemerintah, pengembangan bisnis di sektor riil, maupun eksploitasi sumber daya alam yang sangat kaya di tanah Papua. Begitu juga porsi jabatan politik seperti menteri (bukan sekadar wakil menteri), orang asli Papua (ras Melanesia)-lah yang harus memiliki keutamaan hak.
Ketiga, perlunya implementasi peta jalan pembangunan di Papua yang tidak menciptakan marginalisasi terhadap warga asli Papua.
Apa yang mau dikatakan di sini adalah kehadiran negara dalam menciptakanrasaamandannyaman tidak semata-mata menghadirkan aparat keamanan, apalagi dengan kuantitasyangterusbertambahdari waktukewaktu.Namunharuslebih menghadirkan program-program strategis yang di satu pihak bisa menjadikanorang-orangasliPapua merasabanggaber-Indonesia.Dan pada saat yang sama menjadikan suasanabatindalambingkaikebinekaan abadi bersama para warga bangsa yang asal usul etnisnya dari luar Papua. Dengan begitu, akan terciptakehidupanyangamandan nyaman sebagai ”serambi depan” di timur Indonesia.