Jawa Pos

Mulanya Kecewa, Gundala kok Mati Duluan

Gemar membaca komik sampai punya persewaan di masa kecil, Andy Wijaya telah menaikkan level hobinya. Dia turut berperan mengangkat superhero lokal dalam Bumilangit. Sebuah perusahaan yang menjadi wadah seniman untuk membangkit­kan lagi komik Indonesia.

- DEBORA DANISA SITANGGANG, Jakarta, Jawa Pos

JAGAT Sinema Bumilangit membuka mata banyak orang bahwa Indonesia juga punya sederet jagoan. Banyak tangan yang berjibaku di balik kesuksesan film pembukanya, Gundala, dan instalasi

film selanjutny­a yang disiapkan tentang kisah Sri Asih. Salah satunya Andy Wijaya, commercial entertainm­ent manager Bumilangit Entertainm­ent Corpora

Berbicara soal Gundala dan kawan-kawan, Andy tidak cuma membicarak­an dari segi promosi pasar. Lebih dari itu, dia adalah penggemar superhero yang tersambar petir tersebut sejak kanak-kanak. ”Tapi, pertama kali baca Gundala, saya nggak langsung suka,” ungkap dia saat ditemui di kantornya, Bumilangit Corpora, di Jakarta Selatan.

Judul pertama yang dia baca adalah Gundala Sampai Ajal. Dalam cerita itu, Gundala mati. Andy mengernyit heran karena jagoan kok mati dulu. Apa serunya? ”Ternyata, begitu di akhir cerita, itu cuma dalam komik yang dibaca anakanak. Jadi, seperti komik dalam komik,” lanjut Andy. Dia baru benar-benar kepincut Gundala setelah membaca komik Gundala lain yang dipinjam kakaknya dari persewaan komik.

Andy bisa dibilang sebagai salah satu kolektor komik Indonesia yang cukup terkenal. Kantornya di bilangan Kebayoran Lama adalah tempat dia menyimpan kurang lebih 24 ribu komik kesayangan. Belum termasuk sisa komik koleksi lainnya yang disimpan di rumah. Kalau ditotal, seluruhnya bisa mencapai 50 ribu komik.

Puluhan ribu komik itu dia koleksi sejak 2004. Tapi, kebiasaan membeli komik sebenarnya dia lakukan sejak SD. Begitu dia menggemari Gundala, langsung terpikir olehnya untuk membeli banyak komik. Andy minta uang kepada orang tuanya. ”Saya minta 5 ribu rupiah waktu itu. Tapi, pasti ibu saya bilang, ’Buat apa minta duit banyak banget?’ Akhirnya, saya bilang, saya mau buka persewaan komik,” tuturnya. Gara-gara alasan itu, ibunya setuju untuk memberinya uang. Senang karena anaknya mulai punya ide untuk berbisnis. Uang Rp 5 ribu itu langsung Andy belikan komik semua. Perburuan komik pertama Andy dimulai. Dia membeli komik ke Supermarke­t Gloria di Tamansari, Jakarta Barat. Harga per komik saat itu Rp 200. Andy dapat 25 jilid. Kumpulan komik yang pertama dia sewakan berkisar komik-komik satuan. Sebagian besar karya Hans Christian Andersen.

Seiring perjalanan, dia menemukan tempat lain untuk berbelanja komik yang lebih murah.

Di Jembatan Lima, ada pedagang buku gerobakan yang menjual per komik Rp 150. Wah, lebih murah, pikir Andy. Selama beberapa bulan Andy berlanggan­an di situ. Apalagi, si abang penjual buku cukup baik dan punya komik seri yang lumayan lengkap. Koleksi persewaan Andy pun mulai didominasi komikkomik Indonesia seperti Gundala.

Perburuann­ya terus berlanjut. Andy mencari tahu alamat penerbit komik-komik itu dari tulisan di sampul belakang. Alamatnya Pasar Baru. Mainlah dia ke sana. Ternyata, Andy mendapati surga yang selama ini dicari-cari. ”Hampir semua penerbit di situ. Ibarat hobi, terus lihat ada di situ semua, satu paket, seneng banget,” ucap dia. Harga komik pun lebih murah, hanya Rp 125 per jilid karena langsung dari penerbit. Sejak itu, dia tidak pernah lagi beli komik ke abang pedagang kaki lima.

Banyak tempat yang Andy jelajahi untuk mengumpulk­an komik-komiknya. Selain mendapatka­n komik dari penerbit di Pasar Baru, dia menjajaki Taman Bacaan Doyok, Senen, hingga Prinsen Park Lokasari. Untuk komik-komik bekas di taman bacaan, Andy bahkan bisa membelinya Rp 75–Rp 100 saja per jilid. Usaha persewaan Andy berlanjut hingga dirinya duduk di STM (sekolah teknik menengah). Harga sewanya Rp 25 per jilid. Selama buka persewaan, Andy sering kehilangan komik karena tidak dikembalik­an oleh temanteman­nya yang menyewa. Beberapa komik bekas yang dia beli juga sudah agak rusak. Karena itu, ketika akhirnya dia berhenti membuka persewaan, sebagian komik tersebut dijual lagi kepada tukang loak.

Hanya sebagian yang masih dia simpan. Sekitar 200 jilid karya-karya komikus Indonesia. Sebagian pun akhirnya rusak karena kena banjir atau ketumpahan air saat dibaca sampai ketiduran. ”Tapi, memang waktu kecil saya cuma bikin persewaan. Nggak mengoleksi,” jelas Andy.

Keinginan mengoleksi baru muncul ketika komik-komik itu bisa dibilang sudah sangat langka. Sebagai penggemar komik Indonesia, Andy mengikuti perkembang­an komik dari zaman ke zaman. Menurut dia, 1980-an awal adalah masa jaya-jayanya komik. Meski tidak banyak cerita baru yang muncul. Lalu, mendekati 1980-an akhir, penerbit hanya mencetak ulang cerita-cerita lama. Hasmi, pencipta Gundala, kali terakhir menulis kisah superhero itu pada 1982.

Tahun 1990-an bisa dibilang sebagai masa akhir komik Indonesia. Setelah krisis moneter 1998, penerbit tidak lagi mengeluark­an komik Indonesia. Selain pasar lesu, memang sudah tidak ada lagi cerita baru. Tapi, justru di saat seperti itulah nilai komik-komik lama Indonesia naik. Bahkan meroket.

Andy memulai lagi perburuan komiknya kembali ke Jakarta pada 2004, setelah sebelumnya bekerja di Singapura. Kali ini benar-benar untuk mengoleksi. Andy pergi ke Pasar Baru, mencoba peruntunga­n berburu komik lagi setelah sekian lama. Masih ada yang menjual. Tapi, harganya sudah tinggi. Satu jilid Rp 25 ribu. Andy berniat membeli 20 jilid. Tipis-tipis semua. Istrinya kebetulan ikut dan langsung mengomel waktu tahu harga totalnya sampai Rp 500 ribu. ”Hah, mahal amat? Buku bekas gini doang,” kata Andy, menirukan ucapan istrinya waktu itu.

Mereka bergeser ke Senen dan menemukan komik-komik bekas seharga Rp 1.500 per jilid. ”Istri saya langsung senang. Dia bantuin saya cari. Ada sampai 300 komik waktu itu saya beli,” kenangnya.

Di tahun yang sama, dia bergabung dengan Bumilangit, perusahaan yang menjadi wadah para seniman untuk membangkit­kan lagi komikkomik Indonesia. Awalnya, Bumilangit hanya mewadahi Gundala. Namun, Andy mengusulka­n agar karakter jagoan lain juga masuk jagat itu. ”Karya-karya R.A. Kosasih, Mandala, Si Buta dari Gua Hantu. Tahun 2012 itu kami paling gencar akuisisi karakter,” ungkap dia.

Saat ini mereka juga merambah platform yang lebih modern seperti Webtoon untuk mengenalka­n karakter jagoan asli Indonesia. Andy melihat dunia komik lokal mulai bangkit dengan hadirnya para komikus muda. Di antara tokoh yang muncul adalah Garudayana dan Nusantaran­ger. ”Banyak talenta kita yang bekerja di luar. Tapi, mereka sangat senang diajak project komik lokal karena bangga,” tutur Andy.

 ?? DEBORA DANISA SITANGGANG/JAWA POS ?? HASIL PERBURUAN: Andy Wijaya di antara koleksi komik yang disimpan di kantornya, Bumilangit Corpora, di Jakarta Selatan. Total koleksi komiknya sekitar 50 ribu jilid yang dikumpulka­n sejak 2004.
DEBORA DANISA SITANGGANG/JAWA POS HASIL PERBURUAN: Andy Wijaya di antara koleksi komik yang disimpan di kantornya, Bumilangit Corpora, di Jakarta Selatan. Total koleksi komiknya sekitar 50 ribu jilid yang dikumpulka­n sejak 2004.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia