Sedih karena Assad ketimbang Baghdadi
Nasib sisa-sisa anggota ISIS di Syria makin tak tentu. Khalifahnya sudah tiada. Rezim Bashar Al Assad kian dekat. Berikut laporan BUD WICHERS, jurnalis dan fotografer Belanda yang melaporkan secara eksklusif untuk Jawa Pos.
AKHIRNYA, saya kembali lagi ke sini. Kamp Roj di timur laut Syria hari ini (Senin, 28/10, Red). Sejak 2011 saya sudah mengunjungi semua kamp penahanan anggota ISIS. Namun, kali ini berbeda.
Hiruk pikuk suara di tempat berkumpulnya sisa pendukung ISIS tak lagi ada. Dalam beberapa kali kunjungan saya sebelumnya, anak-anak masih bebas bermain di luar kemah. Kini mereka menghabiskan lebih banyak waktu di dalam kemah itu.
Saya berdiri di depan kompleks penampungan sambil merasakan kemuraman eks anggota ISIS. Tak lama, beberapa perempuan datang menghampiri. Mereka penasaran dengan wajah baru yang tiba-tiba muncul tempat terpencil ini.
Saat saya bilang bahwa saya tinggal di Indonesia, raut mereka tak lagi kaku. ”Banyak gadis Indonesia yang bergabung dengan ISIS. Mungkin karena di sana adalah negara muslim terbesar di dunia,” ujar perempuan beraksen Prancis.
Perempuan tersebut, sebut saja Ummi Nur, punya ingatan baik terhadap simpatisan ISIS dari Indonesia atau Malaysia. Simpatisan ISIS dari Asia disebut paling santun di antara anggota lain. Seperti mereka, juga banyak simpatisan ISIS dari Indonesia yang terjebak di tempat pengungsian sekaligus penahanan.
Yang berbeda, hampir semua warga Indonesia jebolan ISIS itu berlindung di kamp Al Hol. Dua kamp itu terpisah jarak ratusan kilometer. ”Tapi, tak penting di mana kami berada. Semua sedang ketakutan,” ujar perempuan dari Austria, sebut saja Ummi Rahma.
Kabar tewasnya khalifah Abu Bakar Al Baghdadi tentu membuat moral mereka turun. Tapi, itu bukan alasan utama. Mereka lebih takut dengan perjanjian Sochi yang baru terjadi. Perjanjian antara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin tersebut membuat mereka resah.
Itu berarti bahwa Turki bakal mengizinkan tentara Rusia dan rezim Bashar Al Assad untuk bersama-sama menjaga wilayah timur laur Syria. Termasuk, mengelola penjara dan kamp penampungan ISIS. ”Kalau rezim (Assad, Red) ke sini, kami bisa dieksekusi atau hilang tanpa kabar,” ungkap Ummi Rahma.
Saat kabar kematian Baghdadi sampai di kamp, banyak perempuan simpatisan ISIS yang menangis. Sampai sekarang, sebagian besar masih menganggap pria dari Iraq itu sebagai utusan Tuhan untuk kebangkitan Islam.
”ISIS pasti akan balas dendam kepada Trump (Presiden AS Donald Trump, Red). Dialah yang pengecut,” ujar salah satu perempuan penghuni kamp. Setelah mengucapkan pesan itu, dia langsung berbalik dan pergi.
Tentu tak semua orang berpendapat seperti itu. Banyak juga yang bepura-pura menangis. Dalam hati, mereka lega. Meski tak berani berkata di depan umum, banyak yang menyalahkan Baghdadi atas takdir nahas mereka.
”Saya tahu dunia marah dengan kami. Tapi, jangan ikut menghukum anak-anak kami,” ujar perempuan dengan aksen Jerman.
Kebanyakan perempuan simpatisan ISIS masih ingin menyediakan masa depan cerah untuk anak mereka. Namun, negara asal mereka masih berpikir seribu kali untuk menerima mereka kembali. ”Kebanyakan suami kami sudah meninggal di perang. Dan kami segera mati jika Assad sampai sini,” ungkap Ummi Nur.