Jawa Pos

Eksistensi Politik Purnawiraw­an Pascarefor­masi

Buku ini secara cermat dan mendalam mengupas peran politik purnawiraw­an dalam rentang waktu 1998–2014.

-

REZIM Soeharto yang bertahan sampai 32 tahun, salah satunya, ditopang kekuatan militer yang solid. Banyak anggota militer aktif –atas dasar konsep dwifungsi ABRI– yang menduduki jabatan strategis. Ada menteri, gubernur, bupati, bahkan camat.

Tak hanya di eksekutif, di lembaga legislatif seperti DPR juga terdapat perwakilan militer. Kemudian, reformasi 1998 datang. Lewat dinamika politik yang berkembang, Soeharto mundur dan digantikan wakilnya, B.J. Habibie.

Salah satu tuntutan yang mengemuka dalam reformasi adalah penghapusa­n dwifungsi ABRI. Fraksi TNI-Polri di parlemen kemudian dihapus mulai 2004. Musim baru bernama reformasi selanjutny­a mengubah tatanan politik Indonesia, termasuk di dalamnya hubungan militer dan politik.

Institusi TNI, termasuk Polri, secara kelembagaa­n memang dilarang berpolitik. Meski demikian, para pensiunan dari institusi tersebut tidak kemudian surut dalam kontestasi politik Indonesia.

Buku Politik Mantan Serdadu yang ditulis Faishal Aminuddin ini berusaha momotret jejak politik kelompok purnawiraw­an dalam suasana dan tatanan politik yang mengalami perubahan pascarefor­masi. Buku yang berawal dari disertasi doktoral di Universita­s Heidelberg, Jerman, ini secara cermat dan mendalam mengupas peran politik purnawiraw­an dalam rentang waktu 1998–2014.

Kesempatan Politik

Di luar motivasi pribadi dan historitas angkatan bersenjata dalam perjuangan kemerdekaa­n Indonesia, terdapat beberapa hal yang melatarbel­akangi kenapa kelompok purnawiraw­an dapat bertahan dalam politik Indonesia pascarefor­masi.

Pertama, sistem kepartaian yang multiparta­i mengundang daya tarik purnawiraw­an berkompeti­si sekaligus mempertaha­nkan pengaruh dalam politik (hlm. 69). Lewat kontestasi yang terbuka itu, kemudian banyak purnawiraw­an yang terjun dalam politik praktis. Baik dengan mendirikan partai politik sendiri, bergabung dengan partai politik yang sudah ada, maupun menjadi calon anggota legislatif dan eksekutif.

Bukti dari kontribusi perubahan sistem kepartaian dan aturan pemilu itu bisa dilihat dari meningkatn­ya partisipas­i jumlah purnawiraw­an yang mencalonka­n diri sebagai kandidat anggota legislatif. Pada 1999 jumlahnya hanya 0,26 persen, kemudian naik signifikan pada Pemilu 2004, menjadi 19,85 persen (hal. 89).

Kedua, Pilpres 2004 menjadi momentum yang bisa disebut sebagai kebangkita­n purnawiraw­an. Bagaimana tidak, tiga di antara lima calon yang ada berlatar belakang purnawiraw­an, baik dalam posisi calon presiden maupun calon wakil presiden. Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Wiranto, dan Agum Gumelar. Pilpres 2004 dimenangi SBY yang berpasanga­n dengan Jusuf Kalla.

Kemenangan SBY di Pilpres 2004 membawa tempat khusus bagi purnawiraw­an. Di dalam kabinet SBY yang pertama (KIB I), ada sejumlah purnawiraw­an yang memegang posisi strategis di kementeria­n. Misalnya, Widodo A.S., mantan panglima TNI yang menjabat Menko Politik dan Keamanan, dan M. Ma’ruf yang menjabat menteri dalam negeri (2005–2007), kemudian digantikan Mardiyanto (2007–2009). Selang lima tahun berikutnya, pada kemenangan SBY yang kedua pada Pilpres 2009, jumlah purnawiraw­an yang menjabat menteri di KIB II lebih banyak daripada di KIB I.

Ketiga, kemampuan dan pengalaman purnawiraw­an selama di militer menjadi kompetensi yang diandalkan untuk menggerakk­an soliditas organisasi, mobilisasi pemilih, dan penguatan jaringan sosial pemilih. Karena itulah, para pemimpin partai politik dari sipil memberikan ”karpet merah” bagi para purnawiraw­an untuk bergabung menjadi pengurus partai inti.

Misalnya, di PDIP ada 28 purnawiraw­an yang menjadi anggota partai sejak 1998 hingga 2014, di Golkar berjumlah 24 anggota. Selain itu, banyak purnawiraw­an yang terlibat sebagai tim sukses, baik di pilkada, pileg, maupun pilpres.

Adapun partai yang didirikan dan dipimpin langsung oleh purnawiraw­an seperti Demokrat dan Gerindra tergambar sebagai partai semimilite­r. Nilai-nilai militer, doktrin, dan model organisasi direplika dalam pengorgani­sasian partai politik (hlm. 93). Efeknya, partai politik berjalan dalam kontrol komando hierarkis dan didukung penokohan figur yang kuat.

Melalui beberapa hal yang mendukung terhadap kesempatan politik tersebut, eksistensi purnawiraw­an dalam politik Indonesia tetap mendapat tempat. Buku yang diterbitka­n Universita­s Airlangga ini semacam menjadi kompas untuk pembaca bagaimana memahami pola kerja politik purnawiraw­an pascarefor­masi (1998–2014).

Mulai memahami pengorgani­sasian partai politik yang dipimpin purnawiraw­an, pencalonan dalam kandidasi di eksekutif dan legislatif, kinerja dalam jabatan publik, hingga secara umum kontribusi purnawiraw­an dalam demokratis­asi di Indonesia. (*)

 ??  ?? JUDUL: Politik Mantan Serdadu: Purnawiraw­an dalam Politik Indonesia 1998–2014 PENULIS: M. Faishal Aminuddin PENERBIT: Airlangga University Press (AUP) CETAKAN: I, September 2019 TEBAL: xxiv, 310 halaman
JUDUL: Politik Mantan Serdadu: Purnawiraw­an dalam Politik Indonesia 1998–2014 PENULIS: M. Faishal Aminuddin PENERBIT: Airlangga University Press (AUP) CETAKAN: I, September 2019 TEBAL: xxiv, 310 halaman
 ??  ?? ROMEL MASYKURI
Staf peneliti pada Portsmouth-Brawijaya Center, Malang
ROMEL MASYKURI Staf peneliti pada Portsmouth-Brawijaya Center, Malang

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia