Ajari ABK Berani Menangis dan Berteriak
SURABAYA, Jawa Pos – Kasus pelecehan seksual sering sulit diungkap. Terlebih apabila korbannya adalah anak berkebutuhan khusus (ABK). Kondisi itu diungkapkan Riska Timothy, terapis ABK dari Anak Terang. Mereka yang kesulitan berkomunikasi dan melawan rentan menjadi korban pelecehan seksual.
Riska menuturkan, yang sering mengalami pelecehan seksual biasanya ABK dengan cerebral palsy, autisme, down sindrom, dan mental retardasi. ”Kemungkinan pelaku pelecehan sengaja memilih korban ABK yang tidak bisa berteriak atau melawan,” katanya dalam seminar pencegahan pelecehan seksual pada individu special needs di PT BJTI kemarin (2/11).
Menangani pelecehan seksual pada ABK memang sulit. Sebab, mereka tidak mudah menceritakan kronologi pelecehan yang dialami. Kepada para orang tua yang memiliki ABK, Riska memaparkan beberapa hal yang bisa diidentifikasi pada anak yang telah mengalami pelecehan. ”Amati tingkah lakunya,” tuturnya.
Misalnya, ABK sering memasukkan benda seperti sedotan atau yang lain ke dalam vagina. ’’Ada korban pelecehan yang ketika kami terapi, tiba-tiba sering memegangi payudara,’’ jelasnya. Ada pula anak laki-laki yang tiba-tiba membuka celananya di depan umum. ’’Karena ada pelecehan, perilaku yang tidak biasa mereka lakukan mendadak mereka lakukan,’’ lanjutnya.
ABK yang dilecehkan secara seksual bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. ”Jumlah ABK laki-laki dan perempuan yang mengalami pelecehan seksual sama banyak. Hal itu diketahui dari para orang tua ABK yang berkonsultasi kepada kami,’’ ucapnya.
Untuk kasus pelecehan seksual pada ABK, menurut Riska, pelakunya dekat dengan lingkungan sang anak. Misalnya, saudara, paman, atau sepupu. ’’Ada juga keluarga yang cerita kepada kami, ABK dilecehkan tetangga atau penjual makanan yang sering ke rumah,’’ katanya.
Memberikan pemahaman kepada ABK berbeda dengan anak nondisabilitas. Pada ABK, pemberian edukasi harus dilakukan secara konsisten dan berulang-ulang. ’’Hingga mereka paham,’’ ungkapnya. Agar mudah paham, ABK perlu diperlihatkan secara visual. Misalnya, ketika orang tua mengajarkan anggota tubuh manusia, disediakan gambar. ’’Misalnya, ketika menjelaskan apa itu payudara dan fungsinya, sebaiknya menggunakan gambar,’’ ucapnya.
Dia mengungkapkan, pemberian simulasi juga penting. Yakni, simulasi saat anak dihadang orang asing yang akan melakukan pelecehan. ’’Anak diajari menangis atau berteriak,’’ jelasnya.
Simulasi tersebut diberikan terus-menerus hingga anak paham. ’’Bisa 3–4 jam dalam sehari,’’ ujarnya. Dia menyarankan agar yang memberikan simulasi berjenis kelamin sama dengan ABK. Contohnya, ibu mengajari ABK perempuan dan ayah mengajari ABK laki-laki.