Jawa Pos

Dikotomi Sastra dan Literasi

- Oleh YONATHAN RAHARDJO

GERAKAN literasi sedang marak. Di mana-mana orang menulis, termasuk karya sastra, lalu membukukan­nya. Banyak peneliti sastra dan sastrawan yang terusik. Yang terusik itu menganggap­nya gerakan pseudosast­ra.

Muncul opini mereka bahwa orang rancu membedakan antara literasi dan sastra. Padahal lho, yang mendikotom­i dua hal tersebut ya mereka sendiri, sedangkan para penggerak literasi tidak punya nafsu ke situ. Satu-satunya semangat adalah agar semua orang dapat menulis (dalam literasi baca tulis).

Biasalah, ”orang sastra” bilang begitu. Selama ini kan sastrawan terkotak dalam menara gading kesucian yang dibangun sendiri. Akibat akal-akalan kanonisasi sastra pemerintah Hindia Belanda yang mengastaka­n sastra modern Indonesia hanya mulai angkatan Balai Pustaka.

Karya Mas Marco Martodikro­mo yang sudah ada pada 1914 dan sastra Melayu Tionghoa (Indo-Tionghoa) yang sudah ada sejak 1870 berada di luar jalur resmi Balai Pustaka yang bernama resmi Kantor Bacaan Rakyat (didirikan 1917) yang sebelumnya bernama Komisi Bacaan Rakyat (didirikan 1908) dianggap bukan awal sastra modern Indonesia. Alasannya klise: ”bahasanya kurang bagus”.

Lalu karya sastra banyak sekali anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) juga tidak masuk dalam kanonisasi sejarah sastra Indonesia H.B. Jassin juga karena dianggap ”bahasanya kurang bagus”. Selanjutny­a, yang menguasai kanon sastra Indonesia angkatan 1966 seterusnya hanya para penanda tangan Manifes Kebudayaan (Manifes/Manikebu) dan derivatnya.

Secara spesifik dapat diuraikan pengertian istilah ”bahasanya kurang bagus” itu. Namun, esensinya ya ini. Dan ini pun ditiru generasi sekarang yang mabuk asmara kepada ”gaya menulis sastrawi di semua genre”. Termasuk gaya menulis jurnalisti­k sastrawi ala penanda tangan Manifes Goenawan Mohamad dengan barisan Tempo dan Komunitas Utan Kayunya saat itu. Termasuk gaya menulis sastrawi ala Taufiq Ismail (TI), juga penanda tangan Manifes, yang sebetulnya ditengarai tidak jauh berbeda (tepatnya tidak berbeda) dengan gaya menulis sastrawan Lekra. Sastrawan yang namanya tidak seharum mereka padahal sangat kuat pada zamannya dan lebih dulu ada daripada nama-nama ”diharumkan” tersebut.

Celakanya, para akademisi (alumnus) fakultas sastra/fakultas ilmu bahasa, para praktisi sastra yang belajar otodidak, bahkan yang mengaku berseberan­gan pandangan sastra (baca: politik sastra) dengan ”GM and the gank” dan ”TI dan jamaahnya” pun mengikutin­ya. Mereka memakai kredo-kredo bahasa indah sastra itu. Sesuai dengan tempurung otaknya yang teracuni sebutan bahasa sastra dan tulisan sastrawi yang sempit semacam para pegawai Balai Pustaka buatan Hindia Belanda itu.

Padahal lho, bahasa Indo-Tionghoa, Indo-Melayu, Melayu pasaran (seperti karya-karya Kwee Tek Hoay), dan bahasa Melayu lugas bercampur Jawa (seperti yang ditunjukka­n Mas Marco) punya jiwanya sendiri-sendiri yang lebih mengekspre­sikan jiwa manusia yang unik dan tidak ada setiap orang yang sama. Dan bahasa itu lebih mewakili ekspresi kelompok masyarakat tertentu yang nyata ada secara faktual dalam sejarah manusia Indonesia. Permainan bahasanya juga kreatif, berlawanan dengan kebakuan bahasa penguasa (pemerintah). Yang paling penting, alat bahasanya yang begitu kuat itu mewakili jiwa manusia.

Padahal pula lho, para sastrawan modern mutakhir akhirnya ujungujung­nya bereksperi­men dan melahirkan bahasa yang melawan tata aturan baku. Seperti ditunjukka­n Sutardji Calzoum Bachri yang membebaska­n kata dari makna. Demikian juga para penyair kontempore­r lain yang tata aturan penulisan karyanya tak mengikuti kaidah bahasa sastra rezim.

Maka kini ketika para penggerak literasi membebaska­n keterkungk­ungan paradigma para awam (yang sesungguhn­ya siapa pun dapat menulis) dengan tidak patuh pada ”aturan sastra akademik dan konvension­al kanonisasi”, sesungguhn­ya hal itu justru yang memanusiak­an manusia dan kemanusiaa­n. Sebab, harus diingat, ilmu sastra yang tersusun dalam kurikulum pendidikan itu hanya upaya merumuskan pergerakan intelektua­litas manusia dalam budaya sastra.

Ingat, bukan sebaliknya bahwa kurikulum itu ada terlebih dulu, maka harus diikuti. Mungkin memang banyak yang harus diikuti, tetapi ingatlah, kebenaran di luar kurikulum yang ada pada diri manusia sesungguhn­ya tidak terbatas. Dan itulah yang seharusnya terus digali untuk memperkaya bahasa dan sastra kita. Jelas, dikotomi sastra dan literasi itu seharusnya tidak ada. Dalam dunia sastra, literasi sastra itu ”langkah awal” untuk ”Anda”. (*)

Yonathan Rahardjo, pengarang novel aliran multidimen­si. Karyanya, Lanang, memenangi Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2006. Karya itu masuk dalam daftar judul buku rekomendas­i untuk program subsidi penerjemah­an Frankfurt Book Fair 2015. Pada 2019 terbit dua novelnya, yakni Anak Turun Airlangga dan Pertobatan Seorang Golput.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia